Selasa, 06 Desember 2011

Saya dan Kota Itu. Dulu...

Saya dulu senang menonton hujan. Duduk-duduk di tangga rumah, hanya memandang gamang ke tengah hujan. Memandang dengan tatapan kosong namun dengan kepala penuh pikiran. Pikiran berloncatan dari satu hal ke yang lain. Hidup, perasaan, keluarga, Tuhan, teman, negara, apa saja yang bisa terpikirkan. Tidak peduli air hujan mulai bertemperasan membasahi pakaian. Saya siap duduk diam berjam-jam. Tidak perlu ditemani kopi. Cukup hujan. Dan saat hujan mulai reda. Saya merasa lebih bijak beberapa saat. 2 menit mungkin.

Saya dulu senang keluar rumah saat malam cerah. Hanya untuk memandangi bintang. Entah itu di tepi aspal depan rumah saya. Atau atap rumah jika sedang bersama teman saya. Hanya memandang dalam diam. Tidak menghitung, tidak pula mencari-cari satu dari mereka yang tiba-tiba jatuh. Hanya memandang dan lagi-lagi berfikir. Bukan flashback. Hanya berandai andai. Saya akan berhenti jika saya mulai takut. Takut menjadi titik kecil di jagad raya. Pengamatan bintang saya selalu berakhir dengan bergidik memikirkan betapa saya hanya debu kecil alam semesta. Di hari-hari ketika saya lebih pemberani, saya akan berhenti saat bus pengantar karyawan tambang yang shift malam akan melintas. Saya selalu benci diganggu suara kendaraan.

Saya dulu senang berjalan telanjang kaki di pagi hari. Bukan di rumput. Tapi di aspal yang basah karena embun. Siapa bilang embun hanya milik rerumputan? Saya akan berjalan pelan-pelan. Hingga jalan berujung pada tikungan ke kanan. Lalu berbalik. Memandang lama ke arah bukit yang perlahan-lahan ditinggalkan oleh kabutnya. Berpisah diam-diam. Putih, kemudian hijau. Kali ini saya memandang dengan sungguh-sungguh. Tidak berpikir. Membiarkan mata memegang kendali. Saya akan berjalan pulang kembali ke rumah saat bukit tersebut disinari matahari. Perlahan oranye, sedikit keemasan. Saya pulang, saatnya mandi dan ke sekolah.

Saya dulu sering ke tepi danau di subuh yang telah disepakati. Bersama dua orang sahabat. Setelah semalaman menyusun rencana. Bawa kopi, bawa cangkir, bawa air panas. Kami akan berangkat sebelum matahari terbit. Duduk bersila di semacam dermaga. Memandang ke tengah danau, dan berbagi impian. Saya ingin jadi ini, saya ingin jadi itu. Kadang berbaring jika kayu dermaga tidak terlalu basah. Tertawa-tawa bersama. Melihat desa kecil di seberang danau. Melihat lampu-lampu mereka yang perlahan padam. Saat sinar matahari pertama mulai muncul, jika air danau tidak terlalu dingin, kami akan berenang sebentar sebelum pulang. 3 orang berjalan pulang dengan basah kuyup membawa cangkir dan termos.

Saya dulu akan ke halaman rumah di siang yang cerah. Mengangkat sebuah kursi rotan kecil. Mencari tempat yang teduh di bawah bayangan pohon jambu putih, lalu duduk. Memandang ke langit yang biru cerah. Kadang-kadang ada awan yang lewat, berupa-rupa bentuk. Saya hanya akan memandang. Sesekali tersenyum. Saya lupa disaat-saat tersebut memikirkan apa. Mungkin hanya bermimpi bisa terbang. Mungkin hanya mereka-reka bentuk awan. Sesekali ditemani buku. Sesekali memungut bunga jambu putih yang gugur. Warnanya pink cerah. Saat bayangan pohon jambu mulai memanjang dan warna langit semakin memuda, itu tandanya saya harus berhenti. Masuk ke rumah dan mandi.

Saya dulu akan berjalan ke belakang rumah saya di sore hari. Sore yang mending, cerah, tidak masalah. Lagi-lagi bersama dua orang sahabat. Duduk menghadap ke sawah dan danau. Duduk di atas drum yang ditidurkan di atas batang-batang padi tua. Dinaungi entah pohon apa yang jika dilihat dari kejauhan bentuknya menyerupai bebek. Dan pohon bebeklah namanya bagi kami. Bercanda-canda. Memandangi ketinting-ketinting saling silang mengantar petani dari dan ke kebun. Sesekali sampan membelah air danau. Kami bersenang-senang dengan sederhana. Hanya tertawa-tawa lepas mengingat kebodohan diri sendiri atau membangun imajinasi yang sama lucunya.

Saya dulu mudah mendapatkan waktu untuk diri sendiri. Merasa sendiri. Hari ini tidak. Saya tidak tahu harus kemana jika ingin merasa sendiri. Semua tempat terasa ramai. Saya sedikit terhibur oleh angkutan umum. Sesekali saya bisa merasakan benar-benar sendiri di angkutan umum. Cukup duduk, menengok ke luar jendela, dan mengamati. Kadang rasanya saya benar-benar sendiri. Walaupun rasanya masih salah.

Saya hanya bisa merasa sendiri di kota itu. Kota kecil yang indah luar biasa itu. Kota dengan danau yang sangat jernih itu. Kota dengan tempat-tempat ajaib. Kota yang saat saya akan ke sana saya selalu menggunakan kata "pulang". Padahal saya tidak lagi punya rumah di sana. Karena pulang artinya kembali ke tempat yang kau inginkan.

Ini bukan melankoli dan romantisme terhadap seseorang di kota itu. Ini melankoli dan romantisme terhadap "kota itu" itu sendiri. Hari ini saya terpikir untuk membagi kota ini dengan dia. Dia yang mulai menularkan melankoli dan romantisme yang hampir sama walaupun masih kalah. Mungkin suatu hari saya dan dia akan kesana. Menemukan diri masing masing baru kemudian menemukan satu sama lain. Kota itu dan dia harus bersekutu terlebih dahulu. Seperti saya yang telah menjatuhkan cinta pada kota itu. Pada hujannya, pada bukitnya, pada danaunya, pada bintangnya. Mungkin suatu hari.

Saya rindu tempat ini...
Foto ini diambil dari penataanruang.net

1 komentar:

  1. "Bawa aku pulang rindu, segera"
    Pulang - Float

    Ah, saya tiba2 rindu rumah juga.

    BalasHapus