Sabtu, 31 Desember 2011

Selamat 2 Tahun Si Sotoy!!!

It's December 31st 2011. New years eve for mostly people in the world even we're not celebrate it in a same time. The year change slowly, hour by hour. I believe that everyone may noticed it, you cannot ignore the sound of the fireworks and of course, its beautiful light. But I know that not everyone celebrate this such a big events. There still some people, or family, who thinks that this night is just like another before. Another nights without food, another without proper house, or another without both food and house. But a new year always brings a same thing for almost (I said almost, because I cannot make sure that "everyone"...) every people in the world: HOPE. A hope to have a better life. A hope to have a better job. A hope to have a good marriage. A hope to have a better country. A hope to have a house, food, or both. But who am I dare to crush your happiness? Don't bother this paragraph, you have rights to party all night long. Bring it on!!!

Memang malam ini adalah new years eve, tapi malam ini berarti lebih untuk saya. Hari ini, blog ini genap berusia 2 tahun! Yeay!! Saya ingat pertama kali saya membuat blog ini tepat 2 tahun lalu, tanggal 31 Desember 2009. Postingan pertama saya saat itu adalah finally...finally.... Sejak postingan pertama itu saya ngepost jarang banget. Hehehe. Pada dasarnya saya waktu itu hanya semangat membuat blog karena keren aja kelihatannya kalo punya blog. Keren dari mana saya juga gak ngerti. Intinya saya harus punya blog sebelum tahun 2010. Di tahun 2010 saya hanya memposting 6 tulisan, karena saya malas nulis di blog. Harus nyalakan laptop, connect internet *yang tidak selalu berhasil* , log in blog *yang seringnya saya ga ingat passwordnya*, lalu menulis *yang seringnya saya mati ide duluan sebelum selesai nulis*. Intinya waktu itu saya super malas buat ngepost. Enakan nulis diary, tinggal ngambil buku, pulpen, nulis deh. Simple.

Beberapa bulan lalu saya menemukan blog milik bang alit yaitu aka  shitlicious.com. Setelah saya baca ternyata lucu banget! Saya ga bisa berhenti ketawa sampai-sampai saya diusir dari kamar kakak saya karena saya kelewat berisik. Besoknya, blog itu saya baca lagi dan bertemulah saya dengan postingan ini Kawan, Lihatlah Gue Dari NOL... Dan saya terkesima dengan perjuangan Bang Alit yang beneran dari nol sampe berhasil menerbitkan buku Shitlicious. Sejak saat itu, bertekadlah saya untuk rutin menulis di blog ini. Apa hubungannya saya semangat nulis lagi dengan Blog bang alit yang serba lucu? Saya juga nggak tau. Tapi dari yang saya liat, blog bang alit semakin kesini semakin "berisi" tidak hanya haha-hihi. Semakin kesini, postingan-postingan Bang Alit memberi pesan-pesan moral yang dalem. Saya paling suka kalo Bang Alit nulis tentang kesederhanaan. Kesannya ngena banget.

Saya semakin semangat nulis setelah tahu kalo ternyata kita bisa melihat jumlah pengunjung yang melihat blog kita. Ya, saya emang gaptek. Hehehe. Dan setelah saya ngecek jumlah pengunjung blog ini...ternyata dikit banget. Huuu... Sejak saat itu juga saya terpacu untuk meningkatkan jumlah pengunjung blog ini. Caranya ya dengan sering meng-update tulisan di blog ini. Dan memang terbukti, setelah saya rajin ngepost, grafik pengunjung blog ini juga meningkat. Horeee...

Yah, statistiknya lg error, harusnya mulai Mei 2010, bukan 2009, harap maklum.

Saya semakin semangat buat ngeblog begitu tahu kalalu blog ini dibaca oleh lumayan banyak orang. Saya ingin blog ini nantinya juga bakal menginspirasi orang lain untuk melakukan hal-hal yang baik. Walaupun saya tau, jalan saya masih super panjang. *eh jadi curhat ala tali kasih gini*.

Tapi sebenarnya kesenangan utama dari ngeblog adalah saat membaca ulang. Untuk saya yang menulis blog berdasarkan pengalaman pribadi saya, rasanya selalu menyenangkan untuk membaca kembali tulisan saya.

Terima kasih banyak untuk semua yang pernah membaca blog ini, you guys aren't just a blue dots that build this blog's statistic, you're the best motivator that keep me writing 'till today. Thanks a lot guys!!

Jumat, 30 Desember 2011

Kemah Menulis 2011, Hari Keenam, Hari Terakhir!! :')

30 November 2011...

Pagi itu bangun dengan kepala nyut-nyutan, hasil begadang semalam. Kamar lumayan kalang kabut karena hari itu harus ke kantor Mien R. Uno Foundation yang sedikit lebih jauh, jadinya harus berangkat lebih pagi. Saya lalu menyeduh kopi, berusaha menghilangkan sakit kepala. Lalu memutuskan dengan cepat untuk tidak mandi menghemat air. Harus peduli lingkungan bukan. Toh, kemarin sorenya saya sudah mandi. Hahaha.

Berangkatlah saya dan teman-teman ke sana. Dengan naik bus yang super padat penumpang. Berdiri pun padat empet-empetan. Tapi seperti pepatah lama karangan saya sendiri. It's no matter how you traveling, it's about who you travelling with. Jadi mau naik apa juga, semenderita apa juga, asalkan bersama orang-orang yang kalian senangi, rasanya akan tetap menyenangkan, sort of. Hehehe. Tapi memang hari itu perjalanan rasanya tidak begitu berat buat saya walaupun harus menggantung karena tidak dapat tempat duduk. Tetap seru karena sambil ngobrol dan bercanda dengan Ka Vando, Bang Ayos, dan teman-teman yang lain.

Di kantor Mien R. Uno Foundation kami kemudian diajak untuk berwirausaha. Kami dipertemukan dengan beberapa pengusaha muda yang sedang merintis usahanya. Yang pertama adalah dua orang pengusaha muda yang berjualan jagung yang dikemas dalam cup dan dijual berkeliling. Dua orang mas-mas ini *saya lupa namanya* benar-benar menginspirasi saya dari perjuangan mereka merintis usaha. Mereka benar-benar berjuang dari nol, dengan modal seadanya. Tapi, ada hal yang kurang mengena bagi kami. Yaitu, saat ditanyakan mengenai rencana kedepan dalam pengembangan bisnis mereka. Dengan santainya mereka menjawab: "Kalian tahu pohon? Nah, pohon itu tanpa diapa-apakan pasti akan tumbuh. Kami juga seperti itu."

Bagi teman-teman yang telah termotivasi dari beberapa sesi sebelumnya, tenatu saja kurang puas dgn jawaban tersebut. Kenapa? Karena kesannya kurang memotivasi kami yang bahkan belum memulai usaha. Saya cukup mengerti apa yang dimaksud dari kedua pengusaha tersebut bahwa mereka memilih "go with the flow", nggak ngoyo untuk mencari keuntungan. Tapi mungkin dapat ddijelaskan dengan mencari perumpamaan lain. Selain pohon maksudnya. Pengusaha kedua adalah wirasastawan muda yang menjalankan usaha penjualan sepeda lipat, atau folding bike. Pandai melihat pasar dan didukung modal yang mumpuni, si pengusaha kedua ini dapat menuai keuntungan yang lumayan. Kali ini dilengkapi pula dengan rencana kedepannya. Pengusaha ketiga adalah pengusaha konveksi. Saya jujur kurang mendengarkan penjelasan Mbak pengusaha yang ketiga ini. Soalnya saya ngantuk berat, kopi yang diminum tadi pagi rupanya kurang mempan. Selesai materi di kantor Mien R. Uno Foundation, kami kembali ke apartemen. Bersiap untuk acara penutupan di J.W. Marriott.

Sorenya, berangkatlah kami ke J. W. Marriott. Kali ini saya mandi dong. Horeee.. Di sana kami sempat mendengar kuliah singkat dari Prof. Arief Rachman, salah satu tokoh pendidikan di Indonesia. Lalu berbincang dengan Pak Nanan Sukarna yang kemarin belum sempat bertemu di Mabes Polri karena harus ke Aceh. Acara dimulai dengan beberapa sambutan. Lalu kuliah singkat oleh Pak Dahlan Iskan, yang saat ini menjabat sebagai Menteri BUMN. Beliau memaparkan perkembangan masyarakat ekonomi menengah yang turut menyokong ekonomi Indonesia dan diharapkan nantinya akan membantu pertumbuhan ekonomi kita. Juga ada pembacaan naskah essay yang memenangkan juara pertama yang malam itu dilakukan oleh Mira Lesmana. Saat essay Dhiora tersebut dibacakan, saya yang cengeng hampir nangis, untunglah Pak Toriq Hadad duduk di depan saya. Saya jadi malu buat nangis. Heheh.

Acara pun resmi selesai. Saya tanpa sadar flashback ke beberapa hari sebelumnya. Saya merngingat-ingat diri saya sebelum mengikuti acara ini. Rasanya ada yang berbeda. Tiba-tiba saja saya yang serba pesimis dengan Indonesia merasa tidak se-pesimis dulu lagi. Sebelumnya, saya memang menuliskan tentang membangun rasa optimis untuk mengubah Indonesia. Tapi selama ini saya pun tidak se-optimis itu. Apalagi setelah mempelajari hukum, melihat bahwa yang terjadi di masyarakat benar-benar jauh dari yang dicita-citakan dari hukum itu sendiri. Rasa optimis kadang dikalahkan oleh keinginan untuk realistis. Melihat sesuatu apa adanya, tidak berharap banyak.

Tetapi setelah mengikuti kegiatan ini selama enam hari, saya sadar bahwa masih banyak orang-orang yang peduli dengan Indonesia. Bukan hanya peduli, tapi benar-benar melakukan sesuatu untuk negara ini. Saya merasa beruntung bisa menemukan lagi rasa cinta saya kepada Indonesia melalui acara ini. Sayapun berpikir, jika sekolah-sekolah atau universitas-universitas mengubah proses orientasi siswa/mahasiswa baru dengan kegiatan semacam ini, tidak persis, cukup disesuaikan, maka pastilah akan jauh lebih baik dan bermanfaat. Dibandingkan ospek-ospek yang tidak jarang memakan korban.

Malam itu saya senang sekaligus sedih. Senang karena telah mendapatkan ilmu yang melimpah. Sedih karena harus berpisah dengan teman-teman yang baru mulai saya kenal dengan baik. Kekhawatiran awal saya mengenai kegiatan ini, pesereta-peserta lain, akhirnya tidak terbukti. Kegiatannya benar-benar menarik dan jauh dari membosankan. Peserta-pesertanya menyenangkan dan sama sekali saya tidak merasa tersingkirkan mengngat saya berasal dari luar Jawa. Rupanya saya yang telah terjebak dengan stereotip bahwa teman-teman yang dari Jawa sering diskriminatif terhadap kami sesama penduduk Indonesia namun berasal dari luar Jawa. Memang saya pernah mengalaminya beberapa kali, tapi saya seharusnya tidak lantas melakukan generalisasi terhadap tea-teman lainnya. Maaf yaaa... :')

Banyak hal yang tidak dapat saya jelaskan secara eksplisit disini. Yang jelas, pengalaman ini benar-benar berkesan bagi saya. Buktinya, hari ini, sebulan dari acara tersebut, saya masih dengan semangatnya menulis tentang event ini. Sebenarnya ada beberapa alasan mengapa saya menulis pengalaman mengikuti Kemah Menulis hingga enam postingan. Saya berpengalaman, saat saya ingin mencari tahu mengenai kemah menulis yang diadakan tahun lalu, sulit sekali memperoleh informasi yang dapat menjelaskan kegiatan ini. Apakah kegiatan ini membosankan? Mengingat namanya adalah Kemah Menulis, sangat identik dengan kesan serius dan formal. Hari ini belajar membuat essay, besok latihan menyempurnakan EYD. Tidak heran teman saya bertanya "Kamu kenapa? Capek karena seminggu tidak melihat matahari?" mengira kegiatan yang saya ikuti melulu dilakukan di dalam ruangan. Bukannya tidak menarik, hanya kurang menarik bagi sebagian besar kaum muda yang inginnya sesuatu yang lebih interaktif dan atraktif. Maka, saya berharap, dengan saya menulis sedikit mendetail mengenai acara ini, akan lebih menarik bagi siapapun yang ingin tahu kegiatan dari Kemah Menulis ini. Syukur-syukur bisa termotivasi untuk mengikuti kompetisi essay yang sama tahun depan.

Hal lain yang memotivasi diri saya untuk menuliskan cerita ini hingga enam seri, adalah saya ingin mendisiplinkan diri saya untuk menulis. Dan saya akui rasanya sulit. Maka saya berinisiatif untuk memulainya dengan menuliskan salah satu pengalaman yang paling berkesan bagi saya, yaitu Kemah Menulis ini. Setidaknya, dengan menuliskan hal-hal yang saya sukai, saya lebih mudah mendisiplinkan diri.

Hari itu tanggal telah berganti menjadi tanggal 1 Desember. Sekitar pukul setengah 3 subuh. Saya berdiri di depan lobi apartemen ditemani beberapa teman. Seingat saya Rini, Raisa, Mbak Mita, dan Sisil, lalu ada Teguh, Dhiora, Bayu, dan Mas Bimo yang sudah susah-susah mencarikan Taxi. Maaf kalau ada yang terlupa. Saya pun berangkat ke bandara, siap meninggalkan Jakarta dengan penerbangan pukul 4 subuh. Minggu yang sungguh berarti bagi saya. 6 hari yang memperkaya wawasan, 6 hari yang menata ulang perasaan saya. Kepada diri saya, kepada orang-orang di sekitar saya, kepada negara ini. Selama ini menurut saya kalimat "I Love Indonesia" is a big bullshit, but since that day, I do love this country. Even I still wont say "I Love Indonesia", I am now trying to show Indonesia that I mean it. Dan apa yang lebih indah dari cinta yang ditunjukkan?

NB: Thanks for reading this such a shallow blog. I do hope you enjoy it!

Kamis, 29 Desember 2011

Kemah Menulis 2011, Hari Kelima B)

Sebulan yang lalu, tanggal 29 November, Jakarta tidak se-hujan Makassar hari ini. Hanya sedikit mendung, tapi seingat saya tidak hujan. Pagi-pagi sekali saya sudah bangun. Sebagai salah satu penghuni nomaden yang tidur berpindah-pindah, malamnya saya tidur di kamar Mbak Monic kalo tidak salah. Atau di depan TV, saya sudah lupa. Sangking seringnya pindah-pindah kamar.*curcol* *abaikan*

Hari itu, kami dijadwalkan untuk berkunjung ke kantor General Electric. General Electric adalah sebuah perusahaan yang didirikan oleh Thomas Alfa Edison pada tahun 1878. Ya, Thomas Alva Edison, dan sekali lagi ya, tahun 1878. And still exist until today. Wow. Menurut agenda, seluruh materi sejak pagi hingga sore akan diadakan di kantor GE. Yang ada di pikiran saya, pasti bakalan membosankan. Nah, sekali lagi saya bermain-main dengan kata "pasti".

Kelompok saya memutuskan untuk menggunakan Bus TransJakarta lagi kali ini. Lagi-lagi kami asyik ngobrol sampai-sampai kami tersesat  salah halte. Hehehe, yang lain ternyata sudah tiba duluan dari kami. Materi pertama lebih ke pengenalan tentang GE, lalu dilanjutkan dengan materi "Leading the Winning Team" oleh salah satu pegawai GE *yang saya lupa namanya*. Sangking terkesimanya saya dengan materi tersebut, saya hampir tidak mencatat apa-apa. Tapi ada satu quotes yang saya ingat dan saya tulis dalam bahasa Inggris.
"Don't fool yourself by taking over all the tasks that your team cannot deliver" 
Berapa kali saat kita memimpin sebuah tim kita mengambil alih tugas yang tidak dapat dikerjakan oleh anggota tim? Sering. Karena tujuan utama kita adalah tercapainya target. Padahal, dengan mengambil alih tugas-tugas tersebut kita tidak memimpin tim kita sama sekali. Saat ada masalah, kata si bapak yang saya lupa namanya, pemimpin bertugas untuk memotivasi, menyebarkan semangat bekerja di antara anggota tim. Itu teorinya. Praktiknya silahkan diterapkan sesuai kondisi masing masing. Hehe.

Lalu berikutnya materi diisi oleh perwakilan perusahaan yang merupakan kostumer dari GE. Yang pertama adalah seorang Meneer warga negara Belanda, bernama Sebastiaan Saureen, yang merupakan Founder *kalau saya tidak salah* dari perusahaan asing bernama Navigat. Navigat adalah sebuah perusahaan penghasil listrik tenaga biomass. Navigat memproduksi listrik dari pengolahan sampah yang menghasilkan gas-gas tertentu seperti gas  metana. Jadi, sampah yang kita buang sehari-hari berhasil diubah menjadi energi listrik, yang nantinya akan dijual kembali ke kita, yang senang hati membeli melalui PLN. Hahaha. Jangan salahkan Navigat, carilah jalan keluar. Selain Navigat, juga ada perwakilan dari Perusahaan Gas Negara (PNG) yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Indonesia. Baik perwakilan Navigat maupun PNG memberi paparan mengenai perusahaan mereka ditambah sedikit materi mengenai enterpreneurship dan leadership.

Materi berikutnya disampaikan oleh Bapak Handry Santriago yang merupakan CEO General Electric Indonesia. Lagi-lagi kali ini saya tidak berhasil mencatat apapun. Karena sesi sore hari itu bersama Pak Handry benar-benar jauh dari kesan serius seperti materi-materi sebelumnya. Rasanya seperti ngobrol-ngobrol, yang anehnya, setiap kalimatnya bermakna. Well, sedikit sulit untuk digambarkan secara mendetail. Saya sibuk terpesona sepertinya. Hahaha. Saya ingat Pak Handry banyak memotivasi kami. Bahwa kami harus memiliki semangat bersaing. Saya jadi ingat sewaktu saya mengikuti World Model United Nation awal tahun ini saya sempat mengamati beberapa rekan dari India. Dari pengamatan saya, dibandingkan mahasiswa dari negara lain, mahasiswa-mahasiswa India tergolong super aktif, cenderung maksa dalam berargumentasi. Kesannya seperti ga mau kalah.

Tetapi, setelah bincang-bincang dengan Pak Handry mengenai daya saing, barulah saya paham. Di India, yang penduduknya sekitar 6 kali lipat penduduk Indonesia, tapi dengan luas wilayah yang hanya sekitar sepertiga dari Indonesia, kalau tidak kuat bersaing, mau makan apa? Kasarnya begitu. Bayangkan, kalau di negara kita saja rasanya lapangan kerja masih belum mencukupi, bagaimana rasanya mencari kerja di India? Silahkan anda bayangkan sendiri. Makanya, mereka memodali diri habis-habisan, dengan pendidikan dan modal Bahasa Inggris yang mumpuni walaupun masih ngondek dan penuh huruf "d". Tapi toh mereka memiliki daya saing yang kuat, dan terbukti mereka tersebar di seluruh belahan dunia. Bekerja di perusahaan-perusahaan atau membuka usaha hampir di tiap negara.

Obrolan dengan Pak Handry rasanya ringan tapi penuh makna. Saya juga teringat peringatan Pak Handry tentang globalisasi. Memang bukan berita baru, tapi lagi-lagi saya yang baru tersadar benar. Saat nanti arus globalisasi benar-benar berjalan, bangsa Indonesia, jika tidak mulai memperkuat daya saing sejak jauh-jauh hari, kita hanya akan jadi penonton. Jadi konsumer. Main congklak dengan papan congklak plastik bertuliskan "made in china". Menjadi orang asing di negara sendiri. Jabatan-jabatan strategis di perusahaan diisi oleh tenaga kerja asing, semisal China dan India, yang sudah lebih dahulu mempersiapkan diri. Saya jadi ngeri sendiri.

Sesi hari itu yang awalnya saya pikir akan super membosankan, mengingat kami hanya akan berdiam di satu tempat tidak mondar-mandir dengan Kopaja atau bus TransJakarta. Tidak ada museum untuk dilihat-lihat. Tapi ternyata lagi-lagi saya kena tulah kata "pasti" *untung saja* dan mendapati bahwa ternyata materi hari itu benar-benar menyenangkan. Apalagi saya dapat kursi kantor beroda yang nyaman. Hahaha.

Malam harinya kami dibolehkan berkunjung ke kantor Mas Didin, yaitu ID-SIRTII (Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure) atau Tim Insiden Keamanan Internet dan Infrastruktur Indonesia. Dari namanya bisa nebak nggak tim ini bergerak di bidang apa? Semacam.. um.. melindungi.. Indonesia. Hahaha. Yak, kurang lebig seperti itu. Saat bapak-bapak berseragam dan memegang sempritan di perempatan-perempatan jalan melindungi kita dari sifat pelit kejahatan, ID-SIRTII melindungi kita dari serangan-serangan di Internet. Lagi-lagi mulut saya menganga terkesima. Saya tidak menyangka ada tim macam beginian di Indonesia. Pernah nonton Die Hard 4? Yah, tim ini melindungi Indonesia dari serangan-serangan seperti di Die Hard itu. Dan ya, suatu negara bisa dilumpuhkan dari serangan hacker. Bukan hacker macam "situs ini kami ambil alih, hahaha", tapi hacker yang menyerang sistem-sistem vital negara. Perbankan misalnya. Maka berterimakasihlah kepada tim ini, yang memantau sistem internet Indonesia agar tidak dijatuhkan oleh hacker 24 jam. Ya. 24 jam.


Setelah kunjungan ke ID-SIRTII, kami lalu kembali ke aparteman. Tapi, malam itu, tidak seperti malam-malam sebelumnya*dramatisasi berlebihan*. Beberapa dari kami secara mencurigakan "tidak mengantuk" dan akhirnya memutuskan untuk menunggu rasa kantuk datang dengan melakukan kegiatan khas wanita, yaitu....main gaple. Enggak, boong ding. heheh. Kami akhirnya ngobrol ngalor ngidul dan kepo, sampai pukul setengah 2. Hahaha. Padahal besoknya harus bangun pagi. That's such a perfect day for me. Met fabulous people, cool things (apple berjejer-jejer), nice food, good stalking conversation, good day!! hahaha


Oh iya, yang mau tau lebih jauh tentang GE bisa klik disini  dan yang mau tau lebih jauh tentang ID-SIRTII bisa klik disini. Sampai jumpa di hari keenam!! Cheers B)

Rabu, 28 Desember 2011

Kemah Menulis 2011, Hari Keempat!

Postingan mengenai Kemah Menulis Hari Keempat ini seharusnya saya post semalam, tapi karena saya harus ke fisioterapi dulu, akhirnya saya telat nulis. Ditambah lagi sinyal modem hancur-hancuran, tertundalah hingga hari ini. Jadi hari ini saya harus memposting 2 kali. Huuuuu.....

Hari keempat, tiga hari menjelang akhir kegiatan, saya mulai kena sindrom "tidak ingin semua ini berakhir". Halah, lebay. Sebenarnya hanya perasaan sedih, saya baru mulai mengenal teman-teman lebih jauh disaat kegiatan semakin mendekati akhir. Heheh

Hari keempat saya sangat bersemangat. Hari ini kami akan mengunjungi Kantor KPK dan Mabes Polri. Sebagai mahasiswa fakultas hukum, mengunjungi dua instansi ini rasanya sedikit berbeda. Sedikit lebih bersemangat karena akan bertemu orang-orang di instansi yang selama ini berputar-putar dalam topik diskusi, objek kritisi, hingga anekdot-anekdot kampus. Saya menyiapkan pertanyaan yang lumayan banyak sebenarnya.

Kunjungan pertama adalah ke kantor KPK. Berangkatlah kami ke sana secara berkelompok. Kelompok saya ditemani mentor memilih untuk naik transportasi umum. Mengingat kami ingin menghemat uang saku yang dierikan. Berangkatlah kami dengan naik angkot lalu bus Transjakarta. Entah kenapa, mungkin karena keasyikan ngobrol, akhirnya kami salah turun halte, bukan tersesat loh. Hehehe. Untunglah tidak sampai terlambat.

Di kantor KPK kami bertemu dengan Pak Busyro, ketua KPK saat itu. Pak Busyro menjelaskan serba-serbi penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia. Saya gregetan sekali ingin bertanya, sayang tidak dapat giliran. Nasiiib...nasib. Hari itu saya ingin menanyakan fungsi pengawasan KPK atas peradilan Tipikor di daerah. Sabagai salah satu anggota Tim Perekaman kerja sama antara KPK dengan Unhas, saya dan teman-teman ingin mengetahui sejauh mana rekaman sidang kasus korupsi yang kami rekam ditindaklanjuti oleh KPK. Apakah berkeping-keping salinan rekaman kasus korupsi yang kami kirimkan benar-benar diperiksa? Apakah kejanggalan-kejanggalan yang kami lihat juga tertangkap oleh KPK? Yang lebih penting lagi, apakah ada tindak lanjut atas kejanggalan-kejanggalan tersebut? Saya benar-benar penasaran.

Sebagai gambaran, salah satu sidang korupsi yang kami rekam berakhir dengan putusan bebas bagi terdakwa. Saya setuju dengan putusan tersebut, karena saya dan teman-teman mendapati, si terdakwa bukanlah orang yang harus bertanggung jawab atas tindak pidana korupsi yang merugikan negara hingga milyaran rupiah tersebut. Kami tidak berpendapat dengan terka-menerka, karena proses persidangan pun menunjukkan demikian. Baik keterangan saksi maupun keterangan ahli yang melakukan audit administrasi, keduanya berujung ke satu nama, yang bukan nama terdakwa. Setelah sidang tersebut kami lalu berharap ada tindak lanjut dari pihak kejaksaan atau kepolisisan. Tapi ternyata tidak. Maka berharaplah kami pada KPK, yang menerima salinan rekaman persidangan kami. Ternyata, tidak ada kabar juga.

Hari itu saya ingin bertanya mengenai hal tersebut kepada Pak Busyro. Karena saya sedikit percaya bahwa titik terang pemberantasan korupsi masih ada. Apakah berada di tangan KPK? Hari ini saya ragu, mudah-mudahan besok saya teryakinkan. Selain itu saya sebenarnya ingin berterimakasih kepada KPK, walaupun harus mengorbankan kuliah sehari dalam seminggu untuk stand by di Pengadilan Negeri, tapi saya makmur. Uang makan yang lumayan bisa ditabung. Heheh. Walaupun saat di-audit akhir tahun harus uring-uringan.

Dari KPK kami bertolak ke Mabes Polri. Kami akan mendapatkan materi mengenai Deradikalisasi dan Penegakan HAM. Saya sebenarnya sangat tertarik dengan masalah penegakan HAM, mengingat pematerinya merupakan aktivis dari KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Tapi sayangnya, rupanya materi hari itu lebih menekankan pada deradikalisasi dalam tindak pidana terorisme. Hari itu banyak dijelaskan mengenai latar belakang terorisme, bentuk-bentuk tindakan teror, sejarah, penanganan, lengkap dengan video-video para teroris. Saya lebih merasa didoktrin mengikuti sesi tersebut. Seperti mindset saya tentang teror dan terorisme harus disesuaikan dengan standar negara. Yah, mungkin hanya penyakit paranoid saya yang berlebihan. Saya sebenarnya mengharapkan dialog yang lebih interaktif. Saya akhirnya lebih terhibur menonton teman yang sedang tidur dibandingkan mendengarkan sejarah teror.

Saya lebih terhibur lagi berkeliling Museum Polri. Saya lama mencermati peralatan yang digunakan polisi di TKP. Entah itu di TKP pembunuhan, narkoba, dll. Melihat peralatan polisi di TKP narkoba saya tertawa sendiri. Ada perlengkapan yang digunakan untuk mengetes apakah obat atau zat yang dicurigai benar merupakan narkoba. Alat tersebut semacam tube yang nantinya jika zat mencurigakan tsb dimasukkan ke situ dan dicampurkan dengan zat tertentu, akan berubah warna jika memang mengandung zat-zat adiktif berbahaya. Saya tidak tahu polisi kita sudah dilengkapi dengan alat tersebut. Dalam penangkapan-penangkapan pelaku tindak pidana narkotika yang saya lihat di TV. Biasanya, si polisi hanya akan mencari narkoba di saku si pelaku, setelah ditemukan, si pelaku lalu dihadiahi bogem mentah. Bagaimana kalau yang di saku pelaku itu bukan narkoba? Kalau ternyata puyer? Hahaha.. Saya familier dengan alat tersebut bukan dari program macam Buser atau TKP yang produk dalam negeri. Saya familier karena sering menonton Fox Crime. Polisi-polisi Amerika dalam program TV Cops biasanya akan melakukan tes tersebut saat menangkap pelaku narkotika di TKP.

Di museum ini saya juga menccari profil Pak Hoegeng. Nah, Pak Hoegeng ini adalah salah satu dari tiga polisi jujur, yang tidak dapat disuap, yang dikisahkan dalam anekdot yang dilontarkan almarhum Gus Dur. Yang duanya lagi siapa? Patung polisi dan polisi tidur. Hahaha. Dalam perjalanan ke Mabes, di Kopaja, saya dan Ka Vando sempat bercerita tentang orang-orang yang "bersih" dalam penegakan hukum. Berbincanglah kami tentang Pak Hoegeng yang seorang polisi, Pak Yap Thian Hien yang seorang pengacara, dan Baharuddin Lopa yang seorang Jaksa.. Asumsi saya, profil atau paling tidak gambar Pak Hoegeng akan mudah ditemukan. Ternyata tidak. Profil singkat Pak Hoegeng hanya tercantum dalam semacam Hall of Fame bersama sejumlah polisi yang terkenal di Indonesia. Saya cukup tersenyum, mungkin saya yang berlebihan memandang sosok Pak Hoegeng.


Ini dia foto pak Hoegeng semasa muda dgn seragam kepolisisan.

Pulang dari Mabes Polri kami lagi-lagi memilih untuk menggunakan Bus TransJakarta. Kali ini rombongan kami lebih besar. Karena kami memilih untuk pulang bersama dengan dua kelompok lain. Lucunya, karena sempat berdesak-desakan saat akan naik ke Bus, rombongan kami sempat tepecah. Berangkatlah Bang Ayos, Dhiora, dan Dion lebih dulu dari kami. Usut punya usut ternyata merek akhirnya turun di Monas dan naik taksi kembali ke apatemen. Eciye…yang quality time bertiga. Hahaha.. Hecticnya Jakarta sore itu akhirnya kami tutup dengan rame-rame makan es krim di Alfamart apartemen. Ck, anak komplek sejati. Hihihi.

Sesi malam diisi dengan materi “Mengapa Menulis?” yang dibawakan oleh Mbak Mardiyah. Saya semangat lagi nih, mengingat saya suka menulis, tapi sebatas konsumsi pribadi alias nulis diary. Hehe. Mbak Mardiyah malam itu mengajarkan tentang pentingnya “angle” dalam menulis. Angle kurang lebih adalah sudut atau sisi yang ingin diangkat oleh si penulis. Karena sebuah peristiwa atau hal mamiliki banyak angle yang dapat ditelaah. Kami lalu diajari cara membuat angle yaitu dengan membuat pertanyaan. Kami lalu diberi PR, buat tulisan tentang kegiatan ini, dua paragraph, dan harus jelas angle nya. Otak saya muter. Saya harus mengangkat angle apa? Di tulisan saya kemudian, yang ada saya curhat tentang perasaan saya. Huuuu…

Materi menulis membuka mata saya akan pentingnya mengangkat satu sudut dari sebuah cerita. Jika ingin menceritakan semuanya, tulisan terkadang akan kurang menarik. Tiap topic *yang banyak itu* nantinya akan terkesan menggantung. Angle akan membantu kita untuk keep on track pada hal yang sebenarnya menjadi perhatian utama kita.


Hari keempat ini saya lumayan senang. Mengunjungi instansi-instansi yang belum tentu bisa saya kunjungi sehari-hari. Saya lebih senang lagi karena hari ini saya dan kawan-kawan lain semakin akrab. Sama-sama berpeluh mengantri di halte Bus TransJakarta rupanya berhasil mengakrabkan kami. Hal yang mungkin akan sulit didapatkan jika kita bepergian dengan bus yang telah disediakan oleh panitia. :)

Di hari keempat juga kamera saya mulai terisi. Terima kasih kepada Bang Moses yang telah menjadi partner in crime saya dalam mengambil gambar dimana-mana. Hehehe..

Selasa, 27 Desember 2011

Kemah Menulis 2011, Hari Ketiga!! :)

Nah, sampailah kita di hari ketiga *kita siapa juga ga tau* Kemah Menulis. Semalam saya mikir, apa seharusnya Kemah Menjadi Indonesia yah? Ah, sudahlah *tapi masih kepikiran*.

Di hari ketiga ini, kami dijadwalkan untuk berkunjung ke Villa Hutan Jati (VHJ) yang merupakan sebuah proyek yang bergerak di bidang pemberdayaan lahan kritis yang diprakarsai oleh Pak Boedi Krisnawan Suhargo. Awalnya saya tidak begitu antusias. Di pikiran saya, ah paling ke hutan jatinya trus dijelasan budidaya jati caranya gimana. Gimana mau antusias, di kampus dan di kampung bapak saya jati bertebaran dimana-mana. heheh.

Kami tiba di lokasi VHJ sekitar pukul 11. Matahari terik bersinar. Kami lalu disambut oleh Pak Boedi dan staffnya, berbincang sebentar sambil ngopi, ngeteh, dan makan singkong rebus, lalu kami diajak berkeliling. Antusiasme saya meningkat setelah dijelaskan bahwa dulunya, lahan ini keseluruhannya adalah bekas tambang batu, pasir, dan tanah merah. Seperti halnya lahan bekas tambang seperti itu, tanah tersebut tandus dan sulit ditumbuhi tanaman lagi. Disaat orang lain masih melihat itu sebagai sebuah kerusakan lingkungan yang patut disayangkan, Pak Boedi malah telah berpikir jauh ke depan. Lahan tersebut masih dapat dikonservasi untuk mengembalikan fungsinya dan disamping itu, berpeluang mendatangkan keuntungan bagi masyarakat sekitar. Selain itu, melalui proyek ini, masyarakat sekitar akan termotivasi untuk kembali bertani.

Ada salah satu tempat di kawasan VHJ yang kami lalui saat berkeliling yang tanahnya benar-benar tandus. Saya jadi teringat dengan kota tampat saya dilahirkan yang juga merupakan lokasinya pertambangan. Tanah seperti itu banyak ditemui disana. Seingat saya, banyak yang telah dihijaukan kembali, walaupun masih belum banyak melibatkan masyarakat karena sistem kontraknya berupa kontrak karya. Sistem kontrak karya membuat perusahaan menguasai seluruh lahan yang tercantum dalam kontrak sehingga masyarakat tidak boleh menggunakannya tanpa seizin perusahaan.

Sambil makan siang bersama, Pak Boedi berbagi pemikiran dan pengalaman dengan kami. Di sinilah rasa nasionalisme saya benar-benar tertampar. Sebelumnya, sejak saya mengetahui saya menjadi 20 besar kompetisi ini, perasaan saya hanya bangga dan bersyukur. Tapi, setelah mendengarkan kuliah singkat dari Pak Boedi, perasaan saya hanya satu: malu. Iya saya malu. Saya malu karena berbangga dengan hanya menulis, tidak berbuat. Bukan mengecilkan arti menulis, tapi lebih ke "kamu baru nulis nasionalisme aja sudah bangga, memangnya kamu sudah berbuat apa?" Kurang lebih seperti itu.

Ada kata-kata Pak Boedi yang tidak bisa saya lupakan, katanya: "Kalian yang masih muda seharusnya khawatir, 20 tahun 30 tahun lagi bumi ini seperti apa. Kalau saya paling 10 tahun lagi bakalan meninggal, 10 tahun lagi perubahan lingkungan tidak akan terlalu drastis. Tapi bagaimana 20-30 tahun mendatang?" Ya, bagaimana 20-30 tahun mendatang? Krisis pangan? Krisis air? Kerusakan lingkungan yang makin parah? Apakah kita mau hidup dengan kondisi demikian? Membesarkan anak dengan lingkungan demikian? Saya jelas tidak mau. Saya yakin kebanyakan dari kita pasti tidak mau.

Hari itu saya berpikir kembali apa yang telah saya lakukan untuk Indonesia dan untuk lingkungan. Saya berpikir dan berpikir, mengingat, dan satu-satunya yang bisa saya ingat adalah: mengajar anak-anak SD di tempat saya KKN beberapa bulan lalu. Saya malu. Benar-benar malu.

Malam harinya kami menuju ke rumah bapak Bambang Darmono untuk berbincang-bincang sekaligus makan malam *asyik*. Pak Bambang Darmono adalah purnawirawan TNI yang saat ini menjabat sebagai Kepala Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B). Sesuai dengan kapasitasnya, Pak Bambang menjelaskan kepada kami mengenai gambaran kondisi Papua saat ini. Sebagai orang Indonesia yang juga berasal dari pulau yang terletak di sebelah timur Pulau Jawa  Indonesia, awalnya saya cukup merasa senasib dengan kawan-kawan saya di Papua. Tetapi, lagi-lagi saya tersadar, saya jauh lebih beruntung. Saya tidak mendapat tanggapan yang bersifat diskriminasi. Suku saya tidak ditempeli stereotip bersifat buruk. Suku saya, sejauh ini, masih menjadi tuan rumah di tanah sendiri. Dan bagi kawan-kawan kita di Papua, hal-hal tersebut masih mereka alami sehari-hari.


Bagi saya, Papua hari ini masih menjadi ironi. Bahwa propinsi dengan sumber daya alam terkaya, penduduknya masih jauh dari perasaan makmur, sejahtera, aman, dan setara.


Pengalaman di hari ketiga benar-benar berkesan buat saya. Hari itu keseluruhan persepsi saya mengenai nasionalisme benar-benar dirombak besar-besaran. Hari itu saya berpikir untuk melakukan sesuatu untuk Indonesia. Entah apa. Tapi di hari itu saya mulai bercita-cita. Semakin berkesan karena miniatur Kapal Phinisi yang saya bawa menjadi souvenir yang diberikan kepada Pak Bambang. Semoga berkesan. 


Oh iya, lebih berkesan lagi karena sempat diajak bernyanyi oleh Mas Jay Widjajanto, pendiri sekaligus pelatih kelompok paduan suara The Indonesia Choir. Mas Jay juga sempat menanyakan hal-hal yang bersifat Indonesia seperti: Rasuna Said berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Sungguh, hari itu saya tidak tahu. Tapi hari ini saya tahu, jawabannya: Perempuan, bernama lengkap Hajjah Rangkayo Rasuna Said, orator dan pejuang kemerdekaan RI. Pertanyaan lain dari Mas Jay adalah apa kepanjangan dari GSSJ pada nama pahlawan Dr. G.S.S.J. Sam Ratulangi. Sebagai orang Sulawesi saya jadi malu tidak tahu kepanjangan nama pahlawan nasional dari pulau saya sendiri. Nama Sam Ratulangi diawali singkatan GSSJ saja saya tidak tahu. Karena pertanyaan nyentil itu saya akhirnya mencari tahu dan menemukan bahwa GSSJ adalah singkatan dari Gerungan Saul Samuel Jozias, menurut http://thearoengbinangproject.com dan Gerungan Saul Samuel Jacob dari http://www.tokohindonesia.com. Saya semakin setres, bukti bahwa kita tidak familiar dengan pahlawan sendiri, nama lengkap pahlawan nasional pun muncul 2 versi. Situs lain lebih banyak menuliskan versi Gerungan Saul Samuel Jacob, maka kemungkinan besar itulah yang benar. Tapi saya belum memastikan. Sam Ratulangi terkenal dengan padangan hidup:
“Si tou timou tumou tou” yang berarti: “Manusia hidup untuk memanusiakan manusia”

Ditanya hal-hal demikian membuat saya tertawa miris di dalam hati. Kenapa selama ini saya sibuk-sibuk membaca tokoh-tokoh asing dan tidak memperkaya pengetahuan saya dengan tokoh-tokoh negeri sendri. Kurang pesona? Tidak juga. Kurang sumber? Huuu...dapat salam dari Om Gugel. hahaha. Menurut saya hanya kurang kemasan. Informasi tentu ada, tapi masih belum dikemas baik. Atau saya yang masih belum menemukan? Entahlah. Ah, yang belum mengenal Jay Widjajanto, *seperti saya waktu itu* pasti akan lebih familiar dengan Bang Zaitun si pemimpin orkes melayu di film Sang Pemimpi. Yep, dialah Jay Widjajanto.

Hari ketiga saya dan teman-teman kembali ke apartemen dengan perasaan lelah, badan acem, dan ngantuk luar biasa. Tapi tidak berhenti di situ saja, kami *atau saya paling tidak* pulang dengan persepsi baru, cita-cita baru, dan rasa cinta yang meluap-luap pada negara dan bangsa ini.


Sebuah tugu dengan motto VHJ: Bersama Sembuhkan Bumi
Gambar ini diambil dari situs resmi VHJ
Yang ingin tahu lebih jauh mengenai VHJ bisa klik disini  

Minggu, 25 Desember 2011

Kemah Menulis 2011, Hari Kedua :)


Tanggal 26 Desember. Tepat 7 tahun lalu tsunami menerjang Aceh dan sekitarnya. Saya tidak mengajak anda untuk menanggapinya dengan cara tententu. Doa, flashback, ucapan belasungkawa, perasaan sedih, apapun itu, adalah hak prerogatif tiap-tiap orang. Dan saya tidak ingin mendikte perasaan orang lain. Oh iya, tepat hari ini juga ternyata Dhiora ulang tahun. Selamat Ulang Tahuuun...

Tanggal 26 sebulan yang lalu saya bangun pagi dengan kepala pening. Tidur saya kurang nyenyak karena masih dalam tahap menyesuaikan diri, plus saya sulit tidur dengan lampu menyala. Tapi saya bangun dengan semangat. Pukul 4. Karena masih terbawa zona waktu Makassar yang saat itu sudah pukul 5. Lalu saya mandi dengan riang.

Hari itu, menurut jadwal, adalah hari city games. Dengan catatan: menggunakan transportasi umum. Saya penasaran sekaligus semangat tapi sedikit paranoid. Penyakit lama. Ternyata kami dibagi dalam kelompok yang masing-masing terdiri dari 5 orang. Yang berarti akan ada 4 kelompok. Setelah kelompok dibacakan, ternyata saya sekelompok dengan Rini, Gustin, Eka, dan Didik. Mentor untuk kelompok saya adalah Ka Fando. Hmm... okke. Setelah berbincang-bincang dan saling mengenal, games dimulai.

Kelompok kami akhirnya diberangkatkan ke lokasi yang telah ditentukan dengan berbekal sebuah amplop berisi petunjuk, uang 20.000, dan amplop merah yang harus dibuka saat kita tidak dapat memecahkan clue hingga pukul 12. Di mobil kami sempat bercanda-canda, gimana caranya 5 orang wara-wiri sana sini dengan uang yang hanya 20.000. Karena sebelumnya dompet dan uang harus dikumpulkan di tiap-tiap mentor. Tiba-tiba orang yang paling dirindukan adalah: dukun pengganda uang. hahaha.

Akhirnya games benar-benar dimulai. Pertama kami harus memecahkan clue yang ada di dalam ampolp. Tidak terlalu sulit bagi kami untuk dipechakan. Dan saya yakin begitu pula halnya dengan kelompok lain. Mencari clue kedua sedikit lebih sulit karena membutuhkan ketelitian dan kesabaran. Saya yakin kami sebenarnya teliti, tapi kami memang tidak sabar. Sangking bergerilya dengan semangatnya mencari clue, si Didik sempat ditegur sama manager food court. hahaha, yang sabar ya Dik. Akhirnya clue kedua kami dapatkan dengan kombinasi usaha dan ketidaksanggupan mbak-mbak penjaga food court menahan bibir. hahaha.

Di clue ketiga kami juga tidak mendapatkan hambatan, walaupun Didik *lagi-lagi Didik* sempat tengsin berat karena nanya "cakep" ke orang yang salah. Hahaha, sabar lagi ya Dik... Clue berikutnya mengharuskan kami membuat semacam poster dan ber-orasi di jembatan Busway. Poster pun dibuat dengan buru-buru sambil ngemper di luar Mall *dengan izin satpam* dan berangkatlah kami ke jembatan terdekat. Agak canggung juga harus orasi dengan hanya berlima, di depan umum pula. Tapi, akhirnya, mangsa yang empuk pun datang. Segerombolan remaja tanggung!! Setelah meminta waktu mereka, orasi kecil-kecilan itupun terlaksana. Salah satu dari penonton kami di akhir orasi sempat bertanya sambil bercanda"kak, ga ada minumnya nih?". Yaelah, yang orasi aja pada haus. Hahaha..

Setelah orasi datanglah seorang bapak membawakan kami clue berikutnya. Dan...saudara saudara...clue inilah yang kemudian menyesatkan kelompok saya. Dengan clue yang menyebutkan tentang "patung diponegoro", berputarlah otak kami berpikir dimana letak patung diponegoro. Didik, sebagai satu-satunya lelaki, mulai bertanya ke orang-orang di sekitar kami. Hasilnya nihil, tidak ada yang tahu. Kami pun berinisiatif bertanya ke polisi di seberang jalan. Daaaan...kata Pak Polisi dan seorang pria bertato, "oh, kalo Patung Diponegoro mah di sono dek, deket taman Suropati." Umm...oke, kata si bapak ke sana cuma sekali naik bus. Cukup lah dengan uang 20.ooo, masih ada sisa lagi. Dan berangkatlah kami dengan tanpa perasaan curiga. Tanpa perasaan curiga bahwa yang sebenarnya dimaksud adalah Patung Diponegoro di MONAS.

Di Taman Suropatilah kami berpusing-pusing ria. Mencari arah barat daya, mencari pohon kelapa merah putih, dan mencari sesuatu yang konon adalah harta karun. Sialnya, di arah barat daya patung itu benar-benar pohon kelapa! Kebetulan yang lagi-lagi meyakinkan kami bahwa kami tidak tersesat. Kami sempat bertanya-tanya, apakah kelompok lain juga mendapatkan clue yang sama susahnya dengan kami. Tidak ada sedikitpun keinginan untuk membuka amplop merah yang kami punya. Karena kami bersepakat, petunjuk penggunaan amplop merah tersebut adalah "jika kalian belum berhasil memecahkan sandi hingga pukul 12, amplop ini harus dibuka". Dalam pengertian kami, sandi yang dimaksud adalah sandi di clue pertama. Jadi, karena kami telah memecahkan clue pertama, tidak ada alasan untuk membuka amplop merah.

Kami mencari harta karun tersebut dengan mengelilingi Taman Suropati. Secara harafiah. Benar-benar berjalan berkeliling. Saya kemana, Rini kemana, Didik kemana, Eka dan Gustin kemana. Berpencar, lalu berkumpul kembali. Berpencar lagi, berkumpul lagi. Masih dengan perasaan sesat bahwa kami tidak tersesat. Akhirnya, setelah sejam lebih tidak mendapatkan "harta karun" kami memutuskan untuk membuka si amplop merah dan berharap isinya uang yang lumayan banyak biar bisa langsung balik ke apartemen. Dan, setelah membuka si amplop merah...jeng jeeeeeng... muncullah secarik kertas dengan tulisan "kami tunggu kalian di Monas" bersama uang 25.000. Yaaaah...ternyata kita salah patung teman teman!!

Berangkatlah kami ke Monas masih dengan semangat membara sambil menertawai diri sendiri. Naiklah kami ke bus dgn nomor yang sama dengan yang kami tumpangi saat menuju ke Taman Suropati. Dengan asumsi, saat menuju ke sini bus tersebut melalui Monas, jadi baliknya juga pasti lewat Monas. Dan, akhirnya saya disadarkan bahwa tidak boleh bermain-main dengan kata "pasti". Busnya tidak lewat Monas!! Huuu... Berjibakulah kami menuju Monas, menunggu bus setengah jam, berjalan kaki di terik matahari pukul 3, lari-larian ngejar bus, daaaan... lagi-lagi tidak lewat Monas. Hem... ga jodoh ni saya dengan Monas. Akhirnya kami memutuskan balik ke apartemen. Jalan kaki lagi. Hahaha. Di saat-saat seperti itu, memang paling mudah menertawai kesialan diri dibandingkan mengumpat.

Menulis pengalaman tersebut hari ini, saya jadi berpikir apa yang membuat kami tidak terlalu banyak mengeluh hari itu? Padahal setelah diingat-ingat hari itu kelompok kami apes se apes-apesnya. Mungkin karena kami ingin menjaga perasaan satu sama lain dan menghargai perjuangan masing-masing. Saya pribadi malu kalau harus mengeluh di usia sedewasa ini *ck, sok dewasa*. Tapi hari itu, benar-benar tidak ada tendensi untuk saling menyalahkan. Semuanya menerima dan menjalani games tersebut dengan senang hati dan besar hati. Ck, hari itu saya benar-benar belajar untuk sabar.

Di sesi malam diadakanlah evaluasi atas pelaksanaan game. Well, harusnya sih diadakan setelah games, tapi berhubung kelompok saya mainnya kejauhan, hehe, berantakanlah susunan acara hari itu. Evaluasi games memberikan penjelasan maksud dari diadakannya games city hunter tadi siang. Ternyata game city hunter dimaksudkan untuk mengajari kami tentang kepemimpinan. Dimana di event-event lain kepemimpinan diajarkan secara teori, kali ini kami mendapatkan pelajaran mengenai kepemimpinan langsung di lapangan. Bekerja sama, mendengarkan pendapat, berdiskusi, membagi tugas, menyusun strategi, dilakukan scara langsung melalui games. Saya juga mencermati bahwa dalam pembagian kelompok, kami tidak diinstruksikan untuk memilih ketua kelompok. Kenapa? Spekulasi saya, agar tidak ada yang merasa memimpin dan dipimpin. Agar masing-masing orang menemukan karakter kepemimpinan di diri masing-masing. Agar masing-masing orang mulai menjadi pemimpin dengan memimpin diri sendiri. Itu menurut saya, entah bagaimana pendapat teman-teman yang lain. Rangkaian acara games hari itu di rupanya diselenggarakan oleh panitia bekerja sama dengan kakak-kakak dari INTI, Perhimpunan Indonesia Tionghoa. Wah, saya salut dengan seluruh rangkaian games hari itu. Baik games maupun evaluasinya benar-benar memberi saya banyak pengetahuan tentang kepemimpinan.

Sesi malam itu kemudian dilanjutkan dengan materi kepemimpinan *yang sebenarnya* yang dibawakan oleh Mas Kurnia. Nah, materi ini salah satu favorit saya. Selain mempelajari tentang kepemimpinan yang baik, kami juga diberi kesempatan untuk membaca karakter masing-masing. Yah, saya paling suka yang gini-ginian. hihihi. Setelah mengerjakan semua yang diinstruksikan Mas Kurnia, terbentuklah sebuah grafik yang menggambarkan kepribadian masing-masing orang. Dan, beruntunglah Mas Bimo yang kepribadiannya dibaca saat itu. Ternyata kepribadian Mas Bimo menurut tes tersebut bagus loh! *kenapa kesannya saya kaget ya? ah, sudahlah* heheh. Karakter saya sendiri adalah... "I" sejati. Tipe orang yang hobinya senang-senang *seingat saya*. Ketiga grafik saya menunjukkan demikian. Ketiga grafik saya bahkan hampir identik. Kata Mas Kurnia grafik saya lumayan bagus, tapi saya cenderung keras kepala.

Hari kedua saya mulai merasa nyaman mengikuti kegiatan ini. Apalagi setelah lebih mengenal teman-teman yang lain. Tidak menyelesaikan game tidak lantas membuat saya sakit hati, saya lebih menganggap hal tersebut sebagai pembelajaran yang kocak. Apalagi pulangnya rame-rame ditraktir makan sama Mas Bimo di warung sebelah apartemen. Sengsara membawa nikmat kan! Di hari kedua saya belajar banyak. Bahwa pemimpin tidak berarti harus memimpin suatu organisasi. Memimpin diri sendiri pun tidak kalah pentingnya.

Memimpin diri sendiri menurut saya berarti memaksimalkan potensi diri dalam melakukan sesuatu. Pemimpin tidak dilihat dari jumlah pengikutnya, tapi jumlah perbuatannya yang berguna bagi orang lain. Selama ini saya mendapatkan persepsi yang berbeda mengenai pemimpin. Persepsi bahwa pemimpin itu harus benar-benar mendahulukan kepentingan umum baru kepentingan peribadi. Semacam pertanyaan "saat kegiatan organisasi yg kamu pimpin bentrok dengan kuliah, mana yang kamu pilih?" yang menurut saya mempertanyakan kepemimpinan dan loyalitas secara dangkal. Kepemimpinan yang dapat saya pelajari dari materi Mas Kurnia adalah kepemimpinan efekstif-efisien yang menitik beratkan pada kualitas personal yang harus dimiliki. Sehingga pemimpin dapat berhasil memimpin baik dirinya, maupun orang lain. Yah, jadi muter-muter gini.

Di akhir hari kedua saya kembali ke kamar dengan perasaan sangat bersyukur untuk seluruh kegiatan di hari itu. Untuk semua pelajaran dan pengalaman. Saya juga salut dengan teman-teman kelompok saya. Didik, yang saat kami para wanita duduk beristirahat, masih semangat bertanya sana sini, masih kekeuh berjalan berkeliling taman mencari pohon kelapa. Rini, yang saya tahu semalam kurang tidur karena mengikuti kegiatan kampus, masih semangat dan tidak mengeluh dalam menjalani games yang melelahkan itu. Eka, yang walaupun memakai rok dan mungkin merasa sedikit kesulitan naik-turun bus yang jalan tapi tidak pernah mengeluh dan protes kepada kami. Gustin yang tidak banyak berbicara tapi dengan semangatnya berkeliling food court dan mencari-cari petunjuk di bawah bangku tanpa ragu-ragu. Saya bangga bisa menjadi teman kelompok mereka. Dari mereka saya belajar tidak kalah banyaknya.

inilah dia si patung Pangeran Diponegoro tercinta. Saksi bisu perjuangan kelompok kami.

Kemah Menulis 2011, Hari Pertama :)

Hari ini tanggal 25 Desember. It's a Christmas Day. A holy day for Christian people. But i'm not gonna write more about that. Not because I don't like Christmas, I enjoy it very much. Especially Christmas's atmosphere in TV. You know what I mean. Hari ini sebenarnya saya mau cerita banyak tentang kegiatan saya di tanggal yang sama sebulan yang lalu.

Well, di tanggal yang sama tepat sebulan yang lalu, saya bangun pagi-pagi sekali. Di luar kebiasaan. Tapi saya memang selalu bangun lebih cepat saat akan bepergian. Bukan untuk bangun untuk siap-siap sebenarnya, hanya karena susah tidur, too much excitement. heheh. Saya bangun, mandi, dan buru-buru packing. Semalam saya belum packing. Bad habit. -__-"

Hari itu saya akan berangkat ke Jakarta. Saya diundang untuk mengikuti Kemah Menulis 2011 yang diadakan oleh Tempo Institute setelah saya dinyatakan lolos 20 besar dalam Lomba Essay yang mereka selenggarakan. Saya akan berangkat dengan pesawat pukul 9.45. Berarti saya harus ke bandara paling tidak pukul setengah 9. Setelah mengecek semua barang bawaan (satu ransel, satu tas selempang, dan satu tas tenteng) saya siap berangkat. Diantar Mamak, ponakan, dan kakak laki-laki saya yang kebetulan sedang di Makassar, berangkatlah saya ke bandara. Setelah salim Mamak cepat-cepat *untuk menghindari efek drama-air mata-* masuklah saya ke bandara, check-in, lalu menuju gate, yang sayangnya sempat berpindah dan membuat saya ngos-ngosan mondar-mandir ngangkat tas. Rasanya aneh, bepergian sendiri dengan pesawat setelah, ummm... 9 tahun? Seingat saya terakhir kali saya bepergian dengan pesawat sendirian waktu saya kelas 5 SD. Itupun saya naik pesawat baling-baling yang kapasitasnya sekitar 20 orang. Mendung dan full turbulence. Dan saya berhasil melewatinya *walaupun sempat muntah* dengan selamat. Jadi seharusnya mengulang pengalaman yang sama di umur yang lebih tua would't be more frightening. Tapi saya tetap parno. Ugh.

Pesawatnya penuh, menurut petugas yang sobekin boarding pass. Ck, padahal saya sudah siap menjalankan trik minta pindah tempat duduk. Soalnya saya harus duduk di tengah. Huuu... Setelah duduk di kursi, saya lumayan senang, dua kursi di sebelah saya kosong. Sampai.... The Dynamic Duo datang. Dua bersaudara nenek-nenek, yang hobi ngobrol. Untungnya tidak hobi ke WC, dan lebih untungnya lagi minta saya duduk di kursi dekat lorong. Saya sempat setres karena si nenek bersaudara tidak henti-hentinya bertelepon meski sudah dilarang pramugari. Dan pramugara yang cakep-cakep. hihihi. Di pesawat saya berusaha tidur, tapi si nini bersaudara sibuk ngobrol dan tidak mau menutup jendela. Saya berusaha tidur pakai kacamata hitam dan tidak berhasil, ck.

Sampai di Jakarta sudah sekitar pukul setengah 12 waktu sana. Lebih lambat dari perkiraan saya, yaitu pukul 11. Sebelumnya saya sudah janjian dengan Mas Lukman yang juga berangkat dari Palembang dengan pesawat dan telah berada di bandara sejak pukul 9. Dan ujung-ujungnya harus menunggu 3 jam *maaf yaaaa*. Sejak semula saya sudah merencanakan untuk tidak menyimpan tas di bagasi untuk menghemat waktu. Dengan terseok seok saya pun mencari Mas Lukman *lebay*. Setelah bertemu, lalu membeli tiket Damri, daaaaan....menunggu. Lumayan lama. Hahaha

Setelah ber-damri, ber-angkot, dan berjalan kaki, sampailah kami di Salemba Residence, tempat kami diharuskan berkumpul. Telat. Kata resepsionis rombongan Tempo sudah berangkat beberapa menit lalu. Yaaaaah.... kita ketinggalan acara pertama yaitu kunjungan ke kantor Tempo. Tapi ternyata bukan hanya saya dan Mas Lukman yang ketinggalan, saat menunggu Mas Bimo di lobby, datanglah Teguh, Rizky dan Rini, yang semuanya dari Jakarta. Kami lalu berkenalan, dan Teguh rupanya mengira saya laki-laki. Mengacu pada nama saya yang menurut dia ke-cowok-an. Huuuu... Kenapa mereka terlambat? Katanya karena sejak beberapa jam sebelumnya Jakarta hujan lebat. Yah...lumayan lah, ada yang senasib. heheh.

Setelah Mas Bimo datang membawa wahyu, eh kunci maksudnya, naiklah kami ke unit masing -masing. Saya dan Rini yang ga tau mau ngapa-ngapain, akhirnya cerita-cerita sampai capek sambil makan makanan yg disediakan panitia. Rini lalu pergi tidur dan saya yang lagi jetlag *sok penerbangan lintas daerah waktu, hihi* malah tidak bisa tidur. Akhirnya saya nonton sambil ngiri dengan teman-teman yang berhasil datang tepat waktu.

Hampir jam 5 *atau lewat jam 5* pulanglah teman-teman yang lain dari kantor Tempo. Duh, saya makin iri karena mereka sudah saling mengenal. Lalu berkenalanlah saya dengan Mba Mitha, Mba Monic, Eka, Gustin, Tristi, Sisil, Agnes, dan Raisa. Wow, yang ada di pikiran saya saat itu. What am I doing here? Kelihatannya mereka semua orang-orang serius. Yang senang diskusi dan debat yang panas. Yang kalo ngomong pake kata-kata seperti "kompehensif", "konstelasi", "inheren", dll. Padahal saya hanya mahasiswa luar biasa standar. Banyakan ga serius daripada seriusnya. Hahaha. Tapi setelah bincang-bincang sekilas, ketakuatan saya tepatahkan. Semuanya asyik asyik! Cihuuuy... >_<

Setelah beres-beres dan bersih bersih (yang buat saya berarti hanya cuci muka, tidak mandi, hehe) kami lalu ke Aula, makan malam dan materi. Akhirnya saya berkesempatan untuk bertemu peserta lainnya. Materi malam itu dibawakan oleh Mbak Mardiyah, Mbak Monica, dan Mas Didin. Seingat saya *yang paling saya ingat maksudnya* waktu itu Mbak Mardiyah mengatakan kalau sebenarnya awalnya ada keraguan untuk mengadakan kompetisi ini di tahun 2011. Fiuh, untunglah diadakan, kalau tidak, we're not gonna experienced this such a great event! Nah, harus bersyukur kan walaupun ga dapat juara. hehehe. Dan saya akhirnya mengerti dari mana frasa "menjadi Indonesia" itu diambil. Dan saya akhirnya mengerti apa maksud dari kompetisi ini. Nantilah saya jelaskan lebih jauh.

Hal lain yang berkesan dari sesi malam itu adalah saat perkenalan. Kami diharuskan menulis cir-ciri diri di selembar kertas. Saya bingung, mau narsis atau realistis, karena hasilnya pasti beda jauh, hahaha. Akhirnya saya nulis secukupnya. Dan dikumpullah tulisan itu oleh Mas Bram, dan dibagikanlah secara acak. Yang dapat kertas saya Gustin, habis baca kertas saya dia langsung noleh dan saya tertawa. Hehe, ketahuan banget deh. Dan saya dapat kertas Mas Lukman, beruntung kan! Hehe. Karena permainan itu saya akhirnya mengenal peserta yang lain. Ada Didik, Ofa, Udin, Dhiora, Dion, Yasin, Bayu, Teguh, Rizki, Elton, dan Mas Lukman yang sudah saya kenal sebelumnya. Selain peserta saya juga akhirnya mengenal alumni, Bang Ayos, Bang Moses, Bang Sidiq, Ka Fando dan Kaka Raisa *hahaha..becanda Sa, becanda*. Dan mengenal para panitia, Mbak Maya, Mbak Icha, Mbak Etha, Mas Bimo dan Mas Bram.

Sampai selesainya kegiatan di hari itu saya masih bertanya-tanya. Kebiasaan saya adalah Expect the best, prepare the worst. Jadi setiap kali saya akan mengharapkan yang terbaik, saya sudah harus bersiap untuk yang terburuk. Malam itu saya bertanya-tanya, apakah beberapa hari ke depan akan se-menyenangkan hari ini? Apakah saya yang notabene satu-satunya peserta dari Indonesia Timur akan berbaur dengan mudah? Apakah pemikiran saya sudah cukup tinggi untuk mengejar peserta-peserta lain? Apakah nantinya saya akan kerasan? Apakah nantinya pertanyaan saya akan cukup berbobot untuk ditanyakan kepada narasumber? Apakah apakah dan lebih banyak lagi apakah.

Ini bukan pertama kalinya saya mengikuti kegiatan yang sifatnya nasional. Dan dalam beberapa kegiatan sebelumnya, saya masih merasakan ketimpangan pergaulan antara kami yang non-Jawa dan mereka yang berasal dari Jawa. Sebelum berangkat saya sudah memikirkan hal tersebut masak-masak. And as always, I should prepare for the worst, even I don't know exactly how. hehe. Tetapi setelah menjalani hari pertama, kekhawatiran saya berangsur menurun. Walaupun belum sempat berbicara lebih jauh dengan peserta lainnya, rasanya saya punya feeling baik kali ini.

Nah, itu untuk hari pertama. Untuk hari-hari berikutnya, akan saya kerjakan sesuai tanggalnya. Jadi dalam beberapa hari ke depan, jika Tuhan dan sinyal mengizinkan, saya akan ngepost tiap hari untuk menceritakan hari-hari saya mengikuti Kemah Menulis. Jadi konsepnya seperti flashback ke sebulan yang lalu. hehehe.

Kesan saya untuk hari pertama adalah: wow, finally i'm here, meet new people, meet famous people, meet REAL people, i really have no idea about this event, but i have a good feeling that this event will be aaaaawwweeeesssoooomeee!!

Rabu, 21 Desember 2011

Lagu, Buku, Nikmati Hidup :)



Buat saya, buku hampir seperti lagu. Bukan dari cara menikmatinya. Karena jelas-jelas buku harus dibaca dan lagu harus didengarkan. Tapi buat saya ada siklus yang sama, baik dalam membaca maupun dalam mendengarkan lagu. Saya mendengarkan lagu berdasarkan mood. Tapi bukan mood yang temponya cepat. Misalnya waktu pagi dan lagi senang trus saya dengar lagu-lagu yang ngebeat dan ceria. Trus sorenya saya lagi sedih dan langsung dengar lagu-lagu sedih. Bukan, bukan mood sesaat seperti itu. Mungkin lebih tepat kalo dibilang sesuai periode hidup. Ck, jadi absurd gini.

Intinya, saya mendengar lagu sesuai dengan periode dalam hidup saya. Ada masanya, saya akan mendengar lagu indie dalam negeri macam Efek Rumah Kaca atau Monkey to Millionaire selama sebulan lebih. Tidak mendengar lagu lain. Mau lagi sedih atau lagi senang, saya tidak peduli. Bahkan saya bisa saja naik sepeda sambil dengar lagu melankolianya Efek Rumah Kaca. hahaha. Beberapa bulan berikutnya, saya akan mendengar lagu-lagu barat yang saya susun dalam playlist terus menerus. Biasanya terdiri dari lagu-lagu Bon Iver, Florence and The Machine, Thom Yorke, OK Go, Death Cab for Cutie, The Killers, dll. Mau dalam mood apapun, selama saya belum bosan, saya akan mendengar lagu-lagu mereka terus menerus.


Saat ini saya sedang keranjingan dengar lagu-lagu Frau, Float, dan Mocca. For no reason. Bukan karena saya baru dengar. Tahun lalu saya dibagi lagu-lagu Frau oleh teman saya, Opu. Tapi karena memang momennya belum pas, atau periode hidup saya sedang tidak sesuai, saya sama sekali ga suka sama lagu Frau. Baru sebulan lalu tiba-tiba saya ingin dengar lagu Frau, dan lagi-lagi saya meminta ke Opu, karena lagu-lagu yang dulu sudah terlanjur saya hapus. Dan akhirnya, isi playlist saya sekarang adalah lagu dari 3 musisi tersebut. Yang saya ulang ulang dan terus ulang ulang sampai saya bosan.

Begitu pula dengan membaca buku. Lagi-lagi sesuai periode hidup. Misalnya ada masa saya benar-benar malas menyentuh novel. Jadi kerjaan saya hanya baca komik setiap hari. Tiap hari saya ke tempat rental dan menyewa sekitar 7-10 komik. Tidak peduli kata teman saya novel ini atau novel itu ceritanya menarik sekali. Saya tidak terpengaruh. Lalu, datanglah masa-masa saya malas membaca komik. Saya berpindah ke novel-novel terjemahan dengan cerita spionase. Lalu berpindah ke novel-novel terjemahan dengan cerita romantis. dan saya akan membaca ber-buku-buku novel dengan cerita demikian.

Kata beberapa teman, kebiasaan saya itu bentuk inkonsistensi. Well, i dont know. Sejauh ini saya lumayan menikmati.

Tapi, ada hal yang baru saya sadari tentang kegiatan baca-mambaca saya. Sudah hampir setahun saya berhenti membeli buku. Kenapa? karena saya keranjingan menyewa di tempat rental. Menurut saya lebih menguntungkan menyewa buku daripada membeli. Mengingat uang jajan saya tidak banyak. Tapi, beberapa minggu belakangan tiba-tiba saya ingin sekali membeli buku. Dan berangkatlah saya membeli buku. Dan saya terkejut betapa saya merasa luar biasa senang. Ternyata setelah setahun belakangan tidak pernah membeli buku, saya hampir lupa raanya memiliki buku baru. Saya hampir wangi buku baru. Kalau menyewa buku, biasanya saya akan mendapatkan beragam aroma dari buku. Mulai dari bau buku tua, bau buku yang pernah basah, sampai bau parfum yang bikin kepala pusing. Tapi buku baru, selalu memberi aroma kertas yang khas. hehehe.

Saat ini saya baru saja menyelesaikan buku yang saya beli 2 malam lalu. Judulnya Saga no Gabai Baachan atau yang dalam bahasa Indonesia Nenek Hebat Dari Saga. Buku ini terjemahan dari buku berbahasa Jepang. Buku ini, terus terang, memiliki sampul yang jauh dari menarik. Hahaha. Tapi setelah membaca sinopsis di belakangnya, saya langsung jatuh hati. Tapi pada dasarnya saya senang membaca buku-buku yang diterjemahkan dari bahasa Jepang. Mulai dari Totto-chan, Botchan, hingga Saga no Gabai Baachan ini. Bagaimana dengan Musashi? Saya belum memiliki kemauan yang cukup kuat untuk membaca buku super tebal itu, padahal sudah bertahun-tahun mendekam di rak buku kakak saya. hahaha.

Kembali ke buku Saga no Gabai Baachan karangan Yosichi Shimada, selama membaca buku ini, hampir setiap cerita saya tercekat dan hampir nagis. Bukan karena sedi, tapi lebih karena terharu. Buku ini bercerita tentang seorang anak yang harus tinggal bersama neneknya pasca Perang Dunia ke II. Dengan kondisi yang sangat miskin, si nenek bisa hidup berbahagia mengurus cucunya. Banyak hal-hal ajaib yang dilakukan si nenek untuk bertahan hidup. Banyak juga hal-hal yang lebih ajaib yang dilakukan orang-orang sekitar si nenek untuk membantu.

Buku ini mengajarkan saya banyak hal dalam 245 halaman. Padahal, kata-kata dalam buku ini jauh dari kesan "berat" dan menggurui. Ada beberapa kutipan kata-kata si nenek yang sangat saya suka. Misalnya,
Tertawalah saat oang terjatuh
Tertawalah saat diri sendiri terjatuh
Bagaimanapun semua orang memang lucu

Sampai mati, manusia harus punya mimpi!
Kalaupun tidak terkabul,
Bagaimanapun, itu kan cuma mimpi.

Dari dua kutipan di atas saya manrik pelajaran bahwa, hidup itu untuk dinikmati. Kadang saya terlalu serius memandang hidup sampai-sampai saya lupa bahwa di hidup ini banyak sekali hal-hal menyenangkan. Kita selalu punya pilihan untuk menanggapi hal-hal yang terjadi di sekeliling kita. Seperti halnya saat kita terjatuh. Kita memiliki pilihan untuk marah atau merutuki diri. Tapi kita juga selalu punya pilihan untuk menertawai diri. Dan si nenek memilih untuk tertawa dan menjalani hidup dengan rasa bahagia dan penuh syukur.

Sungguh buku ini mengajarkan saya banyak hal, Bahwa bahagia bukan perkara berapa banyak uang di kantong saya, tapi bagaimana saya merasa tenang memiliki berapa-pun uang di kantong saya. Saya sedikit menyesal baru membaca buku ini sekarang, padahal saya sudah melihat buku ini dari beberapa bulan yang lalu. Sayangnya pada saat itu saya sedang dalam periode hidup pelit membeli buku baru. hahahaha. Saya merekomendasikan buku ini untuk siapa saja yang malas membaca buku-buku tebal dan "berat". Untuk semua umur.

ini dia gambar sampul depan buku Saga no Gabai Baachan

Minggu, 18 Desember 2011


Hey Mom, it will be a Mother Day in 4 days ahead. I bet you didn't know that. I bet you even didn't remember today's date. Well, Mother's Day isn't something to celebrate in our family, rite? We only celebrate Idul Fitri and Idul Adha. Sometimes if we remember, we also celebrate some birthday. Dad's Birthday, Mine, Yours or the other family member. Last year, we buy you a chocolate cake. This year, i forgot to plan anything. I'm such a terrible kid. And just like years before, there also no gift in Mother's Day. I always feel that i should give you something, but then, i remember that our family didn't give gifts even in birthday. Our family didn't show our feeling explicitly. We didn't say sorry, we didn't say love, we show it. But somehow, what you did could interpret way differently then what you mean. Then I decide to write something.
Maybe, someday, i could put my ego aside and say this to you...

I wanna say thank you for my breakfast. and lunch and dinner. i'm such a jerk for being very picky for my food. even i know you've spend your time to serve it.
I wanna say thank you for all my clean clothes. I'm such a jerk in the days where i found that the clothes that i want to wear haven't washed yet.
I wanna say thank you for bring me my homework that i forgot at home to school.
I wanna say thank you for not mad at me when i dropped from my bicycle and get injured. Dad did.
I wanna say thank you for let me stay at home and skipped school even you know I was pretending that i was sick.
I wanna say thank you for buy me Bobo magazine for years even you know you should do saving for my sibling's school cost.
I wanna say thank you for let me go swimming all day long and get my skin tanned because of that.
I wanna say thank you for buy me candies to makes me feel better when I got chickenpox.
I wanna say thank you for three birthday parties.
I wanna say thank you for let me join extracurricular as much as i want.
i wanna say thank you for let me play in the rain when the other parents forbid their kid to do the same.
I wanna say thank you for let me buy book instead dolls.
I wanna say thank you for all prayer that you whisper for my succeed.
I wanna say thank you for let me spend your money in my bank account.
I wanna say thank you for bring me to the dentist when i got toothache.
I wanna say thank you for all tea in every morning and afternoon.
I wanna say thank you for capturing a lot of pictures when i was a kid and still collect it until now.
I wanna say thank you for let me go diving, climbing mountain, and hiking when the other parents would never think twice to say "No".
I wanna say thank you for not asking me when will I graduate.
I wanna say thank you for all Mom.

I know those things in the list below are just a small parts of your kindness. And i'm too stupid too remember the rest. Thank you very very very much Mom. You are my best and always be.

Selasa, 13 Desember 2011

Sim Salabim Pemilu Raya :)

Hari ini saya ke kampus dengan perasaan biasa-biasa saja. Tidak ada firasat apapun, tidak ada hal istimewa. Sampai di kampus pun masih dengan perasaan biasa-biasa saja. Pas sampai di daerah gazebo, saya heran melihat banyaknya sampah kertas yang sepertinya bekas terbakar. Banyak kursi yang berserakan juga. Saya masih ga ngeh. Sampai di gazebo, ngobrol-ngobrol dengan teman-teman, dan seorang teman berkata. "ih, kyo kemarin tidak ikut Pemilu Raya..."

JDEEERRR!!! *backsound suara petir*

Ternyata kemarin, tanggal 12 Desember, adalah hari Pemilu Raya. Saya tidak tahu menahu. Tempe menempe.

Kenapa pemilu raya jadi se-penting itu buat saya? dan kenapa tidak tahu bahwa kemarin adalah hari pemilu raya se fenomenal itu buat saya? Bukan karena saya tidak mau ketinggalan antri nyoblos atau nyentang di bilik suara. Juga bukan karena saya mau jadi tim sukses salah satu kandidat (atau satu-satunya kandidat). Dan yang pasti bukan karena saya mau ngobyek pengadaan barang kelengkapan pemilu. hahaha

Saya hanya kaget kenapa tidak ada angin tidak ada hujan, tidak ada poster tidak ada pamflet, tidak ada tag-tag foto calon BEM dan DPM di fb, tidak ada desas-desus kubu-kubuan, dan tidak ada debat kandidat, tiba-tiba bim salabim ada pemilu? Ah...mungkin ada... saya saja yang jarang ngampus, pikir saya. Ah...pasti ada... hanya mata saya saja yang rabun dan tidak mampu beli kaca mata yang luput memperhatikan. Saya hanya ketawa miris.

Menurut laporan teman-teman saya, kandidat presiden BEM hanya 1 pasang. Jadi kalo mau ada debat kandidat pun, mau debat sama siapa, kata mereka. Sama rakyat, kata suara sok tahu di kepala saya. Tapi setidaknya harus ada pemaparan visi-misi dong. Saya tidak tahu ada atau tidak. Saya terakhir ke kampus Selasa minggu lalu, mungkin pemaparan visi misi dilakukan waktu saya ga ngampus, pikir saya. Tapi Selasa minggu lalu-pun saya tidak mendengar ada desas-desus mengenai pemilu raya, apalagi pengumuman resmi nama kandidat yang berhasil diluluskan oleh Panitia Pemilihan Umum (PPU). Jadi otomatis tidak ada kabar mengenai calon presiden BEM apalagi pemaparan visi misi, debat terbuka, masa kampanye, dan seterusnya, dan seterusnya. Umm....oke.

Seingat saya, dari yang diceritakan senior-senior jaman saya maba dulu, Pemilu Raya di Fakultas Hukum memang jarang berjalan aman sentosa damai sejahtera. Selalu saja ada se su a tu yang terjadi dalam praktik politik kecil-kecilan itu. Saya tidak mau mengambil contoh dari apa yang terjadi sebelum saya jadi mahasiswa Fakultas Hukum. Karena saya tidak bisa mempertanggungjawabkan kebenarannya. Bisa saja saya dikibulin senor saya. Jadi korban doktrin.

Tapi saya ingat dengan jelas, saya dikader oleh 2 pengurusan BEM. Pengkaderan tahap pertama saya dilakukan dalam kepengurusan BEM yang dipimpin oleh seorang Caretaker (jangan tanya saya kenapa bukan Presiden). Sedangkan pengkaderan tahap kedua dan ketiga saya dilakukan di bawah kepengurusan Periode BEM yang baru (kali ini dipimpin oleh seorang Presiden). Presiden BEM yang terpilih melalui Pemilu Raya di tahun pertama saya sebagai Mahasiswa. Saya tidak ikut memilih, saya memilih pergi liburan karena mengira saya, yang waktu itu masih berstatus Mahasiswa Baru yang belum lengkap pengkaderan, belum anggota KEMA belum boleh memilih. Seingat saya konstitusi Keluarga Mahasiswa (KEMA) mengatakan demikian. Ternyata ada yang lebih berkuasa dari Konstitusi. Maba boleh memilih. Sim salabim.

Pada Pemilu Raya di tahun kedua saya sebagai mahasiswa saya mulai ngeh permainan politik Pemilu Raya. Salah satu senior saya yang cukup saya kenal baik menjadi salah satu kandidat presiden BEM. Beberapa teman saya jadi tim sukses. Saya juga diajak untuk jadi tim sukses di angkatan saya. Saya diajak rapat beberapa kali. Saya hanya datang sekali. Selain saya kurang ngerti mereka ngomong apa (karena tidak datang rapat dari awal) saya juga tidak begitu ngeh kenapa kita penting sekali berstrategi ini itu. Ini hanya Pemilu Raya,
pemilu mahasiswa, toh tinggal ikut agenda PPU. Deklarasi pencalonan, paparkan visi-misi, debat kandidat, kampanye lewat media sosial, dan biarkan konstituen menentukan pilihannya. Saya memang orang yang bodoh ber-politik. heuheuheu.

Akhirnya di hari-H malah kacau. Kalo saya tidak salah ingat pemilu raya diadakan 2 hari. Hari kedua situasi panas. Untuk angkatan 2008, angkatan saya, terdapat perbedaan persepsi mengenai daftar pemilih tetap (dpt). Hal ini berawal dari status KEMA bagi angkatan 2008. Apakah hanya mahasiswa dengan pengkaderan yang lengkap yang menjadi anggota KEMA atau cukup mengikuti pengkaderan tahap 1 saja sudah dianggap anggota KEMA. Hal ini terkait dengan pasal dalam konstitusi KEMA yang (pada saat itu) mengatakan:
"anggota KEMA FH-UH adalah Mahasiswa FH-UH yang: (1) telah melulusi seluruh rangkaian Pengkaderan Mahasiswa Hukum (Tahap I, II, dan III); atau (2) Telah melulusi rangkaian pengkaderan dalam satu kepengurusan BEM." Seingat saya begitu bunyinya mengingat saya tidak punya naskah aslinya. hehe
Bagi angkatan saya yang dikader oleh 2 kepengurusan BEM, kami sangat diuntungkan oleh ayat (2) pasal ini. Dan pada akhirnya inilah yang menjadi masalah. Salah satu kubu memperbolehkan seluruh angkatan 2008 memilih, dengan dalil pasal tersebut, sedangkan kubu lain melarang dengan alasan sebaliknya. Sebaliknya yang seperti apa saya tidak tahu. Hahaha.

Intinya karena angkatan saya pemilu raya jadi kacau. Kertas yang berisi DPT dibakar oleh simpatisan salah satu kubu. Beberapa teman saya yang ingin memilih dihalang-halangi, motor-motor dibunyikan dengan gas digeber habis-habisan. Maksudnya apa saya juga ga tau. Mungkin kebawa suasana geng motor. DPT yang dibakar akhirnya diprint ulang. Saat akan diambil untuk dibakar lagi, salah satu dosen saya yang jago karate dengan kerennya menumpukan tangan pada kertas DPT dan berkata "siapa yang berani ambil sini maju." Yang awalnya mau merebut jadi takut kena jurus. Cewek-cewek terkesima dengan mata berbinar-binar. Sampai sekarang adegan itu masih saya ingat dengan jelas. Mirip film kungfu jaman nenek saya masih main lompat tali. hahaha. Hari itu benar-benar drama. Drama politik.

Akhirnya senior saya berhasil memenangkan Pemilu Raya. Tapi kandidat yang satunya juga merasa menang. Dan masa itu diceritakan sebagai masa dimana terdapat dualisme kepemimpinan BEM di FH-UH. Menurut saya penggunaan kata "dualisme" merugikan diri sendiri. Saat salah satu kubu menyatakan telah terjadi dualisme kepemimpinan, artinya secara tidak langsung ia mengakui bahwa ada kepemimpinan lain diluar kubunya. Jika ingin meng-klaim diri sebagai satu-satunya kubu yang menang, jangan pakai kata "dualisme" sekalian. Ah...tapi saya kan hanya orang sok tahu. hehehe. Dan pada akhirnya, BEM pemenang pemilu pun (di)turun(kan) seiring pergantian dekan. Sim salabim.

Pemilu raya tahun ketiga lebih tenang. Kedua calon berasal dari kubu yang sama. Aman.. Tenteram.. Gitu dong.. Damai. hahaha... Saya golput. Jangan protes, itu hak saya.

Dan akhirnya.. kemarin adalah Pemilu Raya tahun keempat. Sangat aman... Sangat tentram... Sangat tenang... Wah ada kemajuan dari tahun-tahun sebelumnya! :)

Akhir kata, di akhir tulisan panjang ini, saya hanya ingin mengucapkan selamat kepada Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih. Bersama anggota DPM yang juga terpilih. Selamat menjalankan amanat rakyat. Selamat berjuang demi rakyat.


dan akhinya, lagi-lagi, saya hanya orang sok tahu yang membahas hal-hal yang tidak penting dari perspektif saya. Saya fakir politik, sebagaimana salah seorang teman saya mengklaim dirinya fakir tv. Saya hanya warga biasa yang menganggap politik sebagai pentas tari anomali. Penari latar bergerak di panggung, penari yang sebenarnya menari di belakang panggung. :)

Dan saya hanya penonton yang sok ngerti. heheh

Karikatur Pemilihan Umum (Bukan Pemilu Raya) diambil dari politikana.com

saya dan organisasi (part 2)

Akhirnya saya punya mood buat lanjutkan salah satu postingan yang (ceritanya) bersambung. Sok-sokan pake kata "part 1" padahal "part 2" nya udah setahun tidak muncul-muncul. Hehehe. Tapi saya mendadak insyaf *alhamdulillah*. Saya akhirnya memutuskan untuk membuat tulisan ini. untuk part 1 nya dapat dilihat disini.

Sebenarnya kalo dipikir-pikir postingan ini ga ada penting-pentingnya. Apa pentingnya saya nulis tentang kehidupan non akademik saya dari TK sampai SMU. Toh saya bukan artis. Saya tidak punya fans yang mau tahu latar belakang kehidupan saya sebelum jadi artis. Alasan utama saya adalah, waktu saya nulis part 1 itu, saya sebenarnya ga tau mau nulis apa. Yang ada di kepala saya saat itu, ya hanya tentang aktivitas saya di luar kegiatan akademik. Dan jadilah tulisan itu. Se-simple itu. Saya jadi ingat kata seseorang: "dalam ngeblog, stop thinking, start acting, start writing!" Jadi ga usah banyak mikir, tulis saja apa yang sedang ada di dalam kepala. Toh blog ini punya saya, jadi mau mau saya dong. hehehe.

Sekolah Menengah Pertama

Nah, berbeda dengan di TK dan di SD, di SMP sudah ada organisasi-organisasi sederhana seperti Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) dan Majalah Sekolah (di sekolah saya namanya Spektrum). Ada juga Pramuka, Marching Band, Klub Fisika/Matematika/Biologi, dan tentu saja OSIS. Saya yang agak-agak alergi dengan hal-hal yang sifatnya agak kaku (memperhalus kata "karya tulis") tidak pernah ada niat sedikit pun buat gabung di KIR. Hahahah. Akhirnya saya ikut Spektrum. Sempat jadi reporter lapangan yang nyari-nyari berita.

Spektrum ini sebenarnya bukan majalah. Hanya artikel yang terbit setiap minggu. Hari Kamis atau hari Senin saya ga ingat lagi. Tapi sudah lumayan oke loh sistem kerjanya. Ada semacam rapat buat menentukan artikel berikutnya kita mau membahas apa. Selama bersama Spektrum saya ingat pernah mewawancarai "orang penting" yaitu: KEPALA SEKOLAH dan KEPALA YAYASAN (karena sekolah saya swasta). hahahaha. Saya ingat banget dulu wawancara kepala yayasan langsung di rumahnya.

20 menit saya cuma dorong-dorongan sama partner saya, Lina, di depan rumah kepala yayasan karena ga ada yang berani ngetuk pintu duluan. Pas wawancara terlaksana, saya dan Lina tidak bisa konsentrasi karena pak kepala yayasan pake celana pendek yang....pendek banget. Hot pants nya nikita willy aja kalah. Setelah wawancara pun di perjalanan pulang saya dan Lina masih ga bisa berhenti ketawa karena mendengar saura kami di walkman rekaman yang bertanya dengan nada canggung campur nahan ketawa. hahaha. Saya juga pernah dapat tugas meliput pertandingan bola antar kelas. Kenapa saya yang seorang wanita? Saya juga ga tau. Sampe sekarang saya masih menyimpan notes yang ada coretan hasil liputan pertandingan itu, yang selalu berhasil buat saya ketawa. Karena ada tulisan Ball Position: 55-45. Jangan tanya saya angka itu dari mana. Hahahaha. Saya akhirnya sadar, saya waktu itu ga cocok jadi wartawan. Saya ga bisa tahan ketawa kalo ketemu narasumber yang aneh-aneh macam Pak Kepala Yayasan. hihihi.

Kegiatan lain yang saya gandrungi jaman SMP adalah: Berkemah. Ck, saya selalu senang tiap dengar kata ini. hehehe. Saya ingat, dulu SMP saya selalu mengadakan kegiatan berkemah tahunan. Semua siswa dari kelas 1-3 boleh ikut. Tempatnya ganti-ganti, tapi hanya terbatas pada 2 tempat: Bumper atau Bumi Perkemahan, yang memang merupakan lokasi yang dikhususkan untuk kegiatan-kegiatan perkemahan. Bumper ini lumayan angker, soalnya di bukit yang terletak di belakangnya terdapat lokasi pekuburan umum untuk warga kota kecil saya, semacam TPU. Tempat yang kedua adalah Enggano Camp, sebuah tempat yang dulunya adalah camp pekerja tambang (kalau saya tidak salah, sekarang difungsikan kembali) yang terdiri dari beberapa bangunan seperti barak-barak dengan kamar. Enggano tidak kalah angkernya. Saya sudah pernah merasakan berkemah di kedua tempat ini. Saya belum pernah mengalami hal-hal mistis, hanya beberapa orang teman yang kesurupan.

Pernah suatu kali, saya diceritakan oleh kakak kelas saya, perkemahan tahunan yang dilaksanakan di Enggano berubah ricuh. Di malam jurit banyak yang bertemu makhluk halus sehingga rute harus dipotong dan jurit diakhiri sebelum waktunya. Malam api unggun pun dipenuhi oleh siswi-siswi yang tiba-tiba kesurupan. Siswa-siswa diinstruksikan tidur di bangunan utama, tidak di tenda untuk mencegah lebih banyak yang kesurupan. Setelah dipulangkan ke rumah ternyata masalah belum selesai. Beberapa siswi ternyata masih mengalami kesurupan di rumah masing masing. Proses belajar mengajar selama seminggu juga tidak efektif. Tiap hari masih saja ada siswi yang jatuh pingsan dan kesurupan. Ck, kalau saya produser atau sutradara, mungkin fenomena ini sudah saya angkat jadi film. Pasti lebih seru dibandingkan hantu-hantuan dengan pemeran wanita berbikini.

Untunglah hal itu terjadi saat saya masih SD kelas 6. Tahun depannya, saat saya kelas 1 SMP, perkemahan diadakan di Bumper. Aman tenteram. Saya beruntung tidak pernah mengalami hal demikian, paling banter setelah pulang berkemah saya hibernasi sehari-semalam (kurang tidur), gatal-gatal (kurang mandi), makan tanpa kendali (kurang makan), dan badan penuh luka (kurang jaga diri). hahaha.

Di kelas 3 (atau 2 saya tidak ingat), sekolah saya membentuk tim marching band. Terpilihlah angkatan saya untuk jadi angkatan pertama team marching sekolah. Saat itu saya ditunjuk menjadi pemain Belyra. Itu loh, alat musik puluk yang memainkan melodi lagi dengan suara ting ting ting. Saya senang sekali bisa jadi pemain Belyra, di angkatan saya, saya pemain belyra satu-satunya. Jadi pemain belyra lumayan susah, harus hapal notasi lagu, harus tahu kapan harus mulai memainkan lagu, harus sesuaikan tempo dengan pemain drum, tapi bagaimanapun, saya senang sekali bisa jadi pemegang belyra pertama di grup marching sekolah saya.

Hal yang paling tidak bisa saya lupakan adalah pencalonan ketua OSIS. Waktu itu saya masih kelas 2 SMP, berarti saatnya angkatan saya yang menjabat kepengurusan OSIS. Dalam pencalonan Bakal Calon Ketua OSIS, ternyata ada yang memilih saya. Walhasil, saya menjadi 1 dari 3 bakal calon ketua OSIS SMP saya. Saya menjadi balon perempuan satu-satunya. Saat itu, sehari semalam saya berpikir keras. Apa untung ruginya jika saya jadi ketua OSIS. Yang jelas kerjaan Ketua OSIS tingkat SMP pasti tidak terlalu banyak. Kegiatan rutin OSIS yang diadakan di sekolah saya saat itu antara lain Lomba Tujuh Belasan, Peringatan Valentine's Day (jangan tanya), Peringatan Hari Olah Raga Nasional dan kadang festival-festival seni antar kelas. Tapi bukan itu yang menjadi fokus utama saya.

Ahirnya saya resmi mengundurkan diri sebelum kampanye dimulai. Kenapa? Saya tidak mau foto saya di poster kampanye jadi korban kebiadaban tangan tangan jahil remaja-remaja tanggung di sekolah saya. Seperti tahun tahun sebelumnya, poster kampanye akan jadi sasaran empuk para seniman kreatif sekolah. Mata dipasangi penutup mata bajak laut, rambut tiba-tiba berubah style menjadi gaya punk, pipi bercodet dan berjerawat, kepala bertanduk, sebut saja. paling apes kalo foto kampanyenya memperlihatkan gigi, tiba-tiba gigi kita hitam-hitam, dari bibir menetes darah, bibir menebal. Belum lagi kalo di atas kepala ditambahi kalimat-kalimat mesum. Ah, beratnya cobaan menjadi pemimpin lembaga intra sekolah. Saya menyimpulkan saya belum siap. Di tahun sebelumnya saya adalah orang pertama yang akan berkeliling mading ke mading menertawai gambar-gambar demikian. Saya belum sanggup menertawakan diri sendiri. hahaha

Selain kegiatan-kegiatan di atas, semasa smp saya juga senang membaca puisi. Saya langganan menjadi pembaca puisi di acara-acara sekolah, seringnya musikalisasi puisi. Sambil menyanyi, bukan main musik. Saya belum bisa main musik. Selain itu saya senang hiking dengan teman-teman. Main tenis di malam hari kalau tidak hujan, yang akhirnya akan berakhir dengan main uji nyali ke tempat-tempat angker.

Masa-masa SMP bisa saya claim sebagai salah satu masa terbaik selama sekolah. Di SMP pula lah saya membentuk geng. Bukan geng nero, bukan. Namanya berganti-ganti, mulai dari Greatiful Dead -yang tidak ada artinya- yang saya ambil dari nama band Grateful Dead (kalo tidak salah) di plesetkan sedikit. Lalu berganti jadi Trixie -lagi lagi tidak ada artinya- yang saya lupa nama itu diambil dari mana. Geng saya masih ada sampai sekarang walaupun personelnya sudah tersebar di mana mana. Saya, Lina, dan Gita di Makassar, Fenty di Jogja, Linda di manado, dan Gina di Bali. Kami berasal dari latar belakang agama yang beragam, Saya islam, Lina dan Gita katolik, Linda dan Fenty protestan, dan Gina hindu. Kami dapat membuktikan bahwa agama tidak pernah jadi hambatan dalam pertemanan. Saat natal, kami ke rumah yang merayakan Natal. Saat Lebaran, mereka ikut berkunjung ke rumah saya, saat Nyepi, kami menghargai Gina dan memberi selamat saat Galungan.

yah...jadi kepanjangan gini. Akhirnya ga muat buat cerita SMU. hehe. Nantilah kalo ada mood lagi. hehehe..

Kamis, 08 Desember 2011

Diskriminasi Diam Diam


Ck...lagi lagi saya akan curhat. Saya ga tau harus menyalahkan siapa. Hujan yang tak kunjung henti kah, sisa sisa memori mengikuti Kemah Menuju Indonesia kah, atau diri saya sendiri yang sepertinya tidak tahan liat hujan dikit aja. Liat hujan dikit aja langsung galau maksudnya. Manusiawi kah? Lebih ke apoloji menurut saya. Hahaha...

Curhatan hari ini tentang diskriminasi. Karena itu judulnya "Diskriminasi Diam Diam". Saya hanya ingin membahas kecendrungan kita untuk diskriminasi terhadap orang lain. Ternyata diskriminasi tidak hanya kita lakukan terhadap orang-orang yang berbeda Ras, Warna kulit, Suku, dll. Tapi juga terhadap orang-orang yang kita anggap berbeda, contohnya terhadap penderita HIV/AIDS. Diskriminasi ini mungkin tidak kita lakukan secara sadar. Mungkin hanya dalam bentuk guyon, atau tulisan pendek sambill lalu, tapi ini benar terjadi. Dan apapun bentuknya, diskriminasi tetap diskriminasi.

Cerita dimulai saat tadi siang buka facebook saya nemu status kakak perempuan saya. Intinya dia merasa sedih, karena menerima Broadcast Massage yang sifatnya mendiskriminasi penderita HIV/AIDS. Bukan hal itu yang membuat saya sedih. Saya sedih membaca komentar seorang facebookers terhadap status tersebut. bunyi komennya kurang lebih seperti ini: "sudah resiko, berani berbuat harus berani bertanggung jawab."

Membaca komentar itu saya sontak sedih bukan main, hampir nangis. Saya tidak mengatakan bahwa komentar tersebut jahat atau bagaimana. Itu hak seseorang dalam ber-media sosial. Saya hanya menyayangkan, harusnya setiap komentar yg dituliskan bisa lebih bijak. Bisa lebih dipikirkan sebelumnya. Bisa lebih simpatik lah setidaknya. Kalau memang tidak setuju, jangan terlalu cepat menghakimi. Toh masih ada pilihan untuk "diam".

Senjata saya mengatakan demikian adalah, tidak semua penderita HIV/AIDS mendapatkan virus tersebut dari perbuatan yang tercela. Tidak semua penderita HIV/AIDS adalah wanita tuna susila, atau orang-orang yang gonta-ganti pasangan, atau pecandu narkoba. Terlepas dari itu, sebenarnya, tidak sepenuhnya salah mereka hingga mereka terinfeksi virus tersebut. Seperti penderita HIV/AIDS yang terinfeksi akibat pemakaian jarum suntik yang berganti-gantian. Banyak alasan seseorang menjadi pecandu narkoba. Beberapa dari mereka berangkat bukan dari kemauan sendiri. Banyak faktor di luar diri seseorang yang dapat menjadikan seseorang pengguna-pecandu narkoba. Entah itu masalah di dalam keluarga, ajakan lingkungan, korban pergaulan, dll. Saya yakin, hampir tidak ada orang yang mau terinfeksi virus HIV/AIDS. Tidak ada orang yang bercita-cita mendapatkan predikat Orang Dengan HIV Aids (ODHA).

Jadi kalimat "berani berbuat berani bertanggung jawab" rasanya kurang etis untuk digunakan. "Terinfeksi virus HIV/AIDS" rasanya bukan bentuk tanggung jawab. Itu mungkin adalah resiko, tapi demi Tuhan, hal itu tidak terdengar sebagai "tanggung jawab".

Saya yakin pendapat seperti si-penulis-komentar di atas masih lazim kita temukan di masyarakat. Memang bukan salah mereka sepenuhnya, pendidikan formal mengenai hal ini masih belum begitu memasyarakat. Tapi saya tetap yakin bahwa selalu ada pilihan untuk lebih bijak menilai suatu masalah. Dan sekali lagi, masih ada pilihan untuk "diam".

Saya ingat dulu saya punya teman yang kakaknya adalah ODHA. Yang membuat saya miris adalah dengan antengnya dia bercerita bahwa keluarganya sudah tidak peduli lagi dengan kakaknya tersebut. Si kakak yang kritis dibiarkan di rumah sakit (masih dibiayai-untungnya) tanpa ada anggota keluarga yang menunggui. Ya Tuhan, kalau mengingat hal itu saya mau menangis (lagi). Hingga hari ini saya tidak berani dan tidak pernah punya nyali untuk menanyakan bagaimana kabar si kakak.

Saya tidak habis pikir, mengapa kita dapat sangat mudah bersifat diskriminan terhadap orang lain. Sifat diskriminan terhadap ODHA tentu saja jarang kita temui dalam bentuk yang terang-terangan. Mengingat mereka cenderung menutup-nutupi dari masyarakat kita yang kejam. Tapi sadar atau tidak, sifat diskriminan masyarakat dapat terlihat pada aspek-aspek lain. Masih belum ada gambaran? Nah, berapa kali kalian mendengan kalimat: "ih sial banget deh hari ini aku se angkot dengan banci" atau "ya ampun, masih pagi udah ketemu banci, bakalan sial nih." Berapa kali? Saya sering. Saya benci kalimat-kalimat seperti itu. Tidak ada relevansinya sama sekali antara ketemu banci dengan nasib sial atau untung. Saya tidak tahu apa dasar mereka berkata demikian.

Hal yang sama akan kita temui saat melihat wanita-wanita dengan cadar atau dengan pakaian serba hitam dari ujung kepala hingga kaki. Saya sering mendengar kata-kata ejekan kepada mereka. Sedih rasanya. Mereka hanya melakukan apa yang mereka yakini. Terlepas dari kita menyetujui atau tidak, apa yang mereka kenakan toh tidak merugikan bagi kita. Jika pun ada yang merasa dirugikan, bersabar selalu lebih baik dari menghujat.

Saya tidak menyangka betapa keras reaksi masyarakat kita terhadap hal hal yang mereka anggap "tidak biasa". Padahal belum tentu yang "tidak biasa" itu "tidak baik". Kita terlalu cepat termakan stereotip. Kita terlalu mudah menghakimi orang lain. Kita terlalu sempit memaknai perbedaan.

Keinginan saya sederhana, jika kita tidak mampu untuk menyetujui, cukup mengerti. Jika kita tidak mampu untuk mengerti cukup bersimpati. Jika kita tidak mampu untuk bersimpati, maka cukuplah kita diam dan simpan pendapat di dalam hati.

if you don't wanna say YES for these questions, do this simple thing: silent. :)
foto ini dipinjam dari www.chip.co.id