Jumat, 17 Agustus 2012

Indonesia

Halo! Dirgahayu Republik Indonesia yang Ke-67!!

Postingan saya hari ini pastilah tidak jauh-jauh dari peringatan hari ini. Tapi mau berkata-kata putis manis pembangkit nasionalisme kok rasanya aneh yah. Sedang tidak sesuai dengan mood. Heheh. Saya mau cerita dikit aja deh.

Saya ingat pernah memposting sebuah kalimat di twitter: "Kalo Uni Soviet saja bisa bubar, bagaimana dengan Indonesia?" Kalau tidak salah seperti itu redaksinya. Twit itu didasari perasaan kesal karena sering sekali melihat berita tentang kerusuhan di televisi. Mulai dari penyerangan ke masjid Ahmadiyah, jemaat gereja GKI Yasmin, kerusuhan antar kampung, suku, dll. Salah seorang teman menegur saya, jangan menyebarkan pesimisme kata dia. Beberapa teman menanggapi dengan bercanda.

Sebenarnya tujuan saya memposting kalimat itu adalah agar kita sedikit berpikir mengenai kesatuan bangsa ini. Terkadang kita (yang berarti juga saya) lalai menyadari bahwa republik ini tidak menyatu dengan sendirinya. Bahwa kesatuan dari ribuan pulau dari Sabang sampai Merauke tidak datang begitu saja. Berpuluh tahun yang lalu ada yang mati memperjuangkannya. Banyak yang mati. Banyak perundingan yang sengit. Berpuluh tahun perjuangan hingga akhirnya merdeka. Dan tahun-tahun lagi perjuangan mempertahankannya. Menuanya republik ini dapat mengikis rasa kesatuan dari rakyatnya. Padahal seharusnya menuanya republik ini harus mengentalkan rasa cinta untuk bersatu. Rasa mencintai republik ini. Nasionalisme.

Maka harus disadari bahwa kesatuan Republik ini harus diusahakan. Kesatuan republik tidak datang dari sikap-sikap diam nan pasif. Harus ada sikap, harus ada perbuatan. Tidak perlu perbuatan besar, cukup toleransi. Entah mengapa rasanya yang benar kita butuhkan saat ini adalah toleransi. Bersikap toleran menghadapi perbedaan. Karena masyarakat kita masyarakat yang heterogen. Perbedaan sudah menjadi bagian dari kita sejak lama. Maka bukankah seharusnya kita belajar? Belajar dari sejarah yang berdarah bahwa republik ini dibangun dari perbedaan. Jangan sampai ia bubar kembali dikarenakan oleh perbedaan. "Jas Merah" kata Bung Karno. Jangan sekali-kali melupakan sejarah.

Kesatuan terbukti tidak boleh dipaksakan. Unity by force is a slavery, kata spanduk-spanduk pro kemerdekaan kaum belligerent. Maka, kesatuan itu harus berasal dari dalam diri masyarakat, harus dimiliki secara sadar. Susah juga menuntut rakyat yang diperlakukan sebagai anak tiri untuk terus mencintai negara ini. Karena itu, jika negara menganaktirikan rakyatnya, rakyat tidak boleh memusuhi dan memunggungi sesamanya.

Saya tidak ahli dalam menggugah patriotisme atau menggugah nasionalisme. Bahasa saya berantakan, tulisan saya tidak terstruktur. Saya hanya menyampaikan apa yang ada di pikiran saya. Bahwa Indonesia perlu diusahakan untuk tetap menjadi Indonesia. Kita tidak bisa dengan santainya hari ini berpangku tangan dan kaki lalu berharap besok negara ini masih utuh dengan damainya. Selalu ada alasan memerdekakan diri, maka kita harus mencari dan membuat lebih banyak alasan untuk tetap bersatu seperti saat ini.

Hari ini, sesuai dengan Proklamasi, usia Indonesia genap 67 tahun. Jika usia Indonesia dihitung berdasarkan masa kita benar-benar mengusahakan keberlangsungannya, sudah berapa tahun usia Indonesia di diri kita?

Gambar dipinjam dari fsquarefashion.com

Minggu, 12 Agustus 2012

Aksi Solidaritas yang Menyerang Sesama Saudara

Beberapa waktu yang lalu, kalau tidak salah kemarin, saya menonton tayangan televisi berupa kilasan berita yang berjudul "Aksi Ormas". Saya sudak menebak-nebak, pasti berita ini tentang salah satu organisasi masyarakat (berlabel) Islam yang sedang melakukan razia-menurut mereka-, yang berakhir-atau memang dimaksudkan untuk- ricuh. Dugaan saya ternyata salah.

Ternyata berita tersebut berisi aksi ormas (berlabel) Islam yang sedang berdemo menentang diskriminasi terhadap kaum Rohingya di Myanmar. Saya pikir aksi tersebut dilakukan di depan kedutaan Myanmar di ibukota. Ternyata, saya lagi-lagi salah. Aksi tersebut dilakukan di depan Klenteng Xian Ma, salah satu Klenteng terbesar di kota Makassar. Wah, ternyata di kota ini ya aksinya. Wajah saya lalu memerah malu.

Cuplikan beritanya bisa dilihat di sini. Seketika rasanya saya malu bercampur marah. Kenapa harus ada kejadian seperti ini? Kenapa pemikiran orang-orang bisa sesempit itu? Kenapa masyarakat kita lebih pandai bereaksi daripada memberi solusi?

Klenteng Xian Ma terletak di Jalan Sulawesi kalau saya tidak salah. Salah satu jalan favorit saya. Akhir-akhir ini hampir setiap hari saya melintas di jalan ini selepas mengantar kakak saya ke tempat praktiknya. Saya selaluu melambatkan kendaraan jika melintas di jalan ini. Kenapa? Saya senang mengamati aktivitas masyarakat di daerah sini. Di kiri kanan jalan terdapat setidaknya 3 Klenteng kalau saya tidak salah. Ditambah banyaknya ruko-ruko milik warga keturunan Tionghoa yang menjual aneka barang. Bau dupa, warna merah, dan ornamen khas Tionghoa rasanya selalu menarik bagi saya. Tiap Imlek jalan ini akan dipadati oleh masyarakat yang tertarik melihat rangkaian upacara yang dilaksanakan oleh Klenteng. Mulai dari upacara memandikan benda-benda pusaka milik kelenteng, atraksi barongsai yang ditujukan untuk menghibur warga, hingga pawai budaya Sulawesi Selatan yang diorganisir oleh organisasi masyarakat bergama Budha.

Demonstrasi yang berujung pada pelemparan Klenteng oleh anggota ormas menurut saya benar-benar salah sasaran. Bukannya kita ingin memprotes perakuan pemerintah Myanmar terhadap kaum Rohingya? Lalu mengapa rumah ibadah agama Budha yang menjadi sasaran? Apakah karena mayoritas penduduk Myanmar beragama Budha? Murahan sekali jika argumen tersebutlah yang menjadi dasar. Kenapa pula harus melempari rumah ibadah orang lain? Benarkah tidak ada rasa hormat setitikpun dalam diri mereka terhadap keyakinan orang lain? Ah, kenapa pula saya harus mempertanyakan. Bukannya sudah jelas jika memang hormat dan toleransi itu benar ada maka kejadian ini tidak akan terjadi?

Saya jadi sedih sendiri. Membayangkan bagaimana jika rumah ibadah saya yang dilempari padahal tidak ada dari kami yang beribadah di tempat itu yang pernah menyakiti si pelempar Saya jadi ingat tweet dari Goenawan Mohamad yang sempat saya retweet: "Yang marah bila didzalimi harusnya tidak tinggal diam jika kaumnya mendzalimi." Itu benar. Bukannya yang sedang diprotes adalah perilaku dzalim terhadap suatu kaum? Tetapi mengapa protes dilakukan dengan mendalimi kaum lain? Saya tidak mengerti logikanya. Bah, mungkin memang tidak ada logika sama sekali. Hanya keyakinan sempit yang diusung dengan menggebu-gebu. Saya takut benar hal ini akan merusak kehidupan beragama kota ini. Apalagi, jika melihat sejarah, dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat kota kita masih mudah tersulut emosinya.

Saya ingat masyarakat kita pernah terpicu, untungnya tidak sampai betindak bodoh, saat ada isu seorang pembantu rumah tangga pribumi yang dibunuh, atau diperkosa, saya tidak ingat, oleh majikannya yang keturunan tionghoa. Ada pula peristiwa saat seorang warga pendatang dari Flores menikam beberapa orang di tepi jalan Perintis Kemerdekaan. Masyarakat kita cukup tersulut, yang menyebabkan banyak warga Flores yang harus mengamankan diri di kantor-kantor polisi. Jauh ke belakang lagi saat saya masih SD pernah pula masyarakat kita menjarah toko-toko milik masyarakat keturunan Tionghoa. Saya ingat salah satu kenalan orang tua saya memasak besar-besaran di rumahnya lalu mengirimkan makanan ke rumah-rumah teman Tionghoa nya yang tidak bisa kemana-mana karena takut dirazia.

Kurang apalagi pelajaran dari sejarah kita. Bahwa masyarakat kita pernah-atau jangan jangan masih-bersumbu pendek dan mudah tepicu. Saya bertanya-tanya kapan kita mulai mengidentifikasi diri sebagai Indonesia. Dan agama, suku, ras, bisa setidaknya sedikit dikesampingkan untuk menjadi Indonesia, bersaudara dalam Indonesia. Aksi solidaritas tidak menyerang sesama saudara.

Jumat, 10 Agustus 2012

What's up, Life?

You know, life cannot serves all you want.

Aneh sekali saat kau sadari betapa hidupmu tidak akan pernah normal. Karena hidup yang normal adalah hidup yang sama sekali tidak normal. Hidup mu baru bisa dikatakan normal jika yang terjadi adalah hal-hal diluar kehendakmu, kendalimu, inginmu. Setidaknya itu menurut saya.

Turning 22. Bulan lalu saya tepat 22 tahun. Tidak ada special wish. Karena saya menghitung bukan dari hari saya berubah usia, tetapi hari bumi berubah usia. Tidak ada bedanya sebenarnya, tetapi saya memang jarang bermohon di hari ulang tahun. Tidak pula ber-resolusi atas usia baru saya. Menjadi 22 pun sebenarnya saya tidak mengerti bagaimana harus memaknainya. Kata orang, berharaplah agar bisa menjadi baik. Saya memilih berharap menjadi lebih baik setiap hari. Jika tidak sedang lupa.

Sebenarnya beberapa waktu belakangan ini banyak sekali masalah yang datang. Di dalam dan di luar rumah rasanya sama saja. Tapi saya tidak senang membahas masalah. Rasanya terlalu-kurang-beryukur jika terus menerus mengeluh karena merasa berat karena sebuah, atau beberapa buah, masalah. Saya memilih menyemangati diri. Mensugesti diri dengan kata-kata "what doesn't kill you makes you stronger" yang selalu menjadi kata-kata pamungkas saya jauh sebelum Kelly Clarkson mulai menyanyikan lagu dengan judul sama. Hal lain yang selalu saya percaya adalah "bukan orang yang lemah yang diberi cobaan yang berat". Jadi mulailah saya menghibur diri dengan menganggap diri saya sedikit lebih kuat dengan masalah-masalah yang datang. I should sit and share a cup of tea with problem. Sit like an old friends. Berdamai dengan masalah.

Akhirnya di hari-hari luang ini saya habiskan dengan membaca. Berlompat-lompat dari buku satu ke buku yang lain. Membaca hingga mata saya lelah. Menelusuri jejak seseorang melalui buku. Ini lucu, tapi memang seperti itu. Saya sedang berusaha menelusuri jejak seseorang melalui buku. Membaca buku-buku yang mengingatkan saya kepada orang tersebut. Tentu saja mereka-reka, mengingat kami tidak berkomunikasi secara intens. Well, sebenarnya bahkan tidak ada "kami" sama sekali. Hanya "saya" dan "dia", dua subjek dalam dua kalimat berbeda.

Ada hal bagus yang bisa dipelajari dari cuaca. Bahwa kau selalu bisa berharap akan ada hari yang lebih baik. Setiap badai akan memiliki akhir. Karena keadaan, biasanya, tidak akan bisa lebih buruk lagi saat sudah mencapai titik terburuknya. Maka seperti kata film dengan soundtrack favorit saya Badai Pasti Berlalu. Saya tidak mengatakan bahwa hari yang cerah adalah hari yang lebih baik. Menurut saya bagus tidaknya cuaca adalah milik subjektivitas manusia. Hujan menyenangkan hati para penggemarnya setara dengan cerah yang disambut ceria para pengikutnya. Badaipun bisa dinikmati, saat kita tahu cara mengurung diri dalam rumah dengan tepat. Tarik selimutmu rapat-rapat dan buka buku favoritmu. Atau saksikan petir yang menyambar dan bersiagalah menutup telinga. Besok pasti bisa lebih baik :)