Jumat, 28 September 2012

Absurditas Jumat Malam

Saya pernah membaca, entah dimana, kalau semakin tua manusia akan merasakan waktu terasa berjalan lebih cepat. Salah satu alasannya adalah, karena kita banyak mengulang rutinitas sehari hari. Cara agar waktu terasa tidak berlalu terlalu cepat adalah dengan berusaha mempelajari hal-hal baru setiap harinya Katanya seperti itu. Saya pribadi juga berpendapat demikian.

Sebagai pengangguran berstatus mahasiswa yang sedang menunggu skripsi diperiksa oleh pembimbing yang sedang ke luar negeri *eh jadi curhat*, hari-hari saya jadi cukup monoton. Sesuai dengan teori di atas, rasanya waktu berjalan cepat. Tanpa terasa sudah weekend lagi, weekdays nya tidak terasa. Inginnya sih tiap hari ada hal tertentu yang bisa jadi pengingat tentang hari itu. Misalnya, saya ingat senin saya habiskan dengan ke kampus lalu rental buku. Kamis, saya ke rental buku dan pegawainya telat datang dan akhirnya saya pulang tanpa bawa buku baru, lalu Jumat, hari ini. Ini dia..

Hari jumat ini biasa-biasa saja rasanya. Rutinitas saya masih seperti hari-hari yang lain. Bangun, bersih-bersih rumah, main sama ponakan, mandi, makan lalu menulis, tidur siang, main sama ponakan lagi, lalu malamnya menulis lagi. Tapi hari ini berbeda. Entah bisikan syaiton darimana, saya tiba-tiba gila mau online pake laptop. Padahal sudah beberapa minggu saya berhasil bertahan tanpa internet, tanpa 9gag, tanpa main-main ke blog orang. Lumayan puas dengan buku dan menulis. Tapi, begitulah penyakit saya jika sedang punya uang, bawaannya mau foya-foya. *istigfar*

Akhirnya dengan semangat 45 saya naik motor ke konter pulsa. Niatnya mau beli perdana smartfren, karena setelah mencoba modem smartfren kakak saya, jaringannya lumayan oke di daerah rumah saya. Tapi saya tidak mau terus-terusan pinjam modem, maunya saya punya smartfren sendiri. Sip lah. Ternyata, kebodohan saya yang pertama adalah tidak tahu kalo smartfren adalah provider CDMA, sementara modem saya GSM. Tapi karena saya sudah capek-capek minjam motor dan sudah kepalang keluar rumah, saya lalu berpikiran untuk beli perdana GSM lain. Saya sudah pernah pake Telkomsel, daaan.. pulsa saya sering ketilep. Lalu saya juga pernah pake IM2, daaaan... isi pulsanya agak ribet. Mau pake XL tapi jaringannya kurang baik di rumah saya. Akhirnya saya beli perdana 3 yang harga 35ribu. Kata kakak penjaga konter, bisa dipake buat setahun, dan seterusnya... dan seterusnya... Termakan bujukan penjaga konter, akhirnya saya beli. Sampai di rumah, ternyata saya syok membaca petunjuk registrasi yang katanya harus didaftarkan oleh penjual resmi. Berhubung saya bukan penjual resmi, kartunya tidak bisa diaktifkan. Atau saya yang terlalu bodoh untuk mengaktifkannya.

Karena malu mau pinjam motor lagi, saya akhirnya memutuskan balik ke konter pulsa naik... SELI alias Sepeda Lipat. Sepeda lipat punya kakak saya yang sudah dihibahkan, dan seringnya dipake ke pasar sama mamak saya. Dan terjadilah gowes tidak jelas saya demi berburu sesuatu yang bisa digunakan untuk mengakses internet.

Untungnya kakak penjaga konter mau-mau saja menerima perdana 3 nya saya kembalikan. Saya awalnya hanya bilang,
"Mbak, ini kartunya ndak bisa." Terus, dia menjawab: "Oh, Ndak bisa Connet?"
Tidak, saya tidak sedang salah tulis. Kakak penjaga konter memang tidak melafalkan Connect dengan "konek" melainkan "konet". Sudahlah, mari kita tinggalkan urusan okkots kakak penjaga konter. Intinya dia baik, karena membolehkan saya mengembalikan perdana 3 yang tidak bisa konet. *aduh*

Karena tidak enak hati, saya membeli kartu perdana smartfren yang seharga 7000, siapa tau tiba tiba modem saya bisa membaca kartu CDMA. Uang saya dikembaikan 28.000. Saya lalu lanjut naik sepeda lagi. Mencari voucher Smartfren 50.000 untuk isi ulang.

Sayangnya, malam ini, cari voucher Smartfren 50.000 seperti mencari jarum di tumpukan jerami yang ditumpuk di kutub utara. SUSAH! Sepanjang Ablam hampir semua toko yang menjual pulsa saya datangi. Hasilnya, HABIS. Sepertinya telah terjadi penimbunan voucher Smartfren 50.000 untuk mengantisipasi kelangkaan voucher menjelang Idul Adha. Saya sudah sampai di ujung Ablam, menimbang-nimbang haruskah saya lanjut ke Pettarani atau balik pulang. Tapi saya tidak mau pulang tanpa voucher. Akhirnya saya lanjut bersepeda di Pettarani. Tetap tidak ada voucher. Saya lalu berbelok ke Maccini sambil berdoa mudah-mudahan preman daerah situ lagi insaf malam ini.

Malihat Alfamart, saya ragu. Mau beli voucher di dalam, tapi takut markir sepeda. Takut hilang. Tapi petugas toko yang lagi istirahat bilang kalo di dalam ada Voucher yang saya cari. Untungnya anak-anak yang  juru parkir depan situ kayaknya baik. Malah rebutan mau menjagakan sepeda saya. Masuklah saya, menunggu di antrian sambil lirik-lirik sepeda saya di parkiran. Sempat lirik cermin dan malu sendiri karena saya dengan santainya belanja dengan baju rumah yang lebih pantas jadi kain lap. Daaaan... ternyata vouchernya tidak ada. Aaaaarghh! Mana pegawai yang tadi bilang ada!

Keluar Alfamart, anak-anak yang jaga sepeda saya secara mengejutkan tidak memita uang parkir krena katanya saya tidak beli apa-apa. Tapi akhirnya saya kasih juga karena terharu.. Atau jangan-jangan mereka sengaja ya? Hehehe.

Akhirnya saya memutuskan pulang. Pencarian voucher nya bisa dilanjutkan besok saja mungkin. Lumayan dingin juga naik sepeda pake baju kaos tua. Sebelum masuk jalan rumah saya, eh ada konter hape. Iseng-iseng saya singgah dan bertanya. Daaaan.... Vouhernya ada! Ah, sialan. tau begitu dari awal saya singgah ke sini dulu. Tidak perlu naik sepeda mutar jauh-jauh. Tapi ya... kalau tidak begitu, Jumat saya jadi tidak berkesan. Jadi, ya alhamduliah saya masih bisa nemu voucher itu. Jadi bisa online dan menulis kegiatan tidak penting seorang pengangguran berstatus mahasiswa yang lagi menunggu skripsinya diperiksa pembimbing yang lagi ke luar negeri.

Oh, iya. jadinya saya tetap pinjam modem smastfren kakak saya. Hehe.

Jumat, 07 September 2012

Menyelamatkan Bahasa yang Terancam Punah

Halo! Nah, akhirnya saya ada kemauan untuk menulis lagi setelah disibukkan dengan urusan ini itu. Heheh. Hari ini saya mau bercerita tentang bahasa-bahasa yang terancam punah. Silahkan menyimak! :)

Pulang kampung pada Idul Fitri kemarin berhasil bikin saya berpikir betapa saya tidak fasih berbahasa asli kampung bapak saya. Selama berada di kampung bapak saya semuanya menggunakan bahasa Duri. Saat ada yang ngajak saya ngobrol, saya hanya bisa mengerti sedikit-sedikit tapi tidak bisa menggunakannya dengan fasih. Istilahnya, saya hanya menguasai bahasa Duri secara pasif. Padahal baik bapak maupun mamak saya fasih berbahasa Duri.

Hal yang sama saya yakini juga terjadi pada sebagian besar kaum urban. Hidup di kota yang berpenduduk heterogen sedikit demi sedikit menjauhkan bahasa daerah dari lidah. Yang digunakan kemudian adalah bahasa Indonesia berdialek kota setempat. Seperti di kota saya, Makassar, yang digunakan adalah bahasa Indonesia dengan dialek Makassar yang menurut kuping teman saya yang berasal dari Jawa, bernada tinggi. Bagi masyarakat kota yang merupakan generasi awal urbanisasi, seperti orang tua saya, berbahasa daerah bukan masalah. Bahasa daerah merupakan bahasa sehari-hari mereka, sedangkan Bahasa Indonesia dipelajari kemudian di bangku sekolah. Bagi kami yang dibesarkan di kota, Bahasa Indonesia digunakan sehari-hari, sedangkan bahasa daerah dipelajari kemudian di sekolah (-sekolah tertentu).

Berkurangnya pengguna bahasa daerah tentu akan berdampak bagi kelangsungan bahasa tersebut. Eksistensi dari berbagai bahasa inilah yang kemudian menjadi problem di seluruh dunia. Banyak bahasa di seluruh dunia yang terancam punah. Penyebabnya? Bisa bermacam-macam. Berikut beberapa di antaranya:

1. Urbanisasi

Peningkatan angka perpindahan penduduk dari desa ke kota berdampak pada penurunan angka pengguna bahasa daerah. Mengapa? Karena dalam interaksi masyarakat urban yang heterogen, bahasa yang digunakan adalah Bahasa Indonesia. Lambat laun bahasa daerah semakin jarang digunakan. Rumah seharusnya dapat menjadi tempat dimana interaksi digunakan dalam bahasa daerah, tapi perkawinan antar etnis kemudian menjadi penghalang. Karena akan timbul dua bahasa daerah yang berbeda. Selain itu banyak orang tua yang memilih mengajarkan anak mereka berbahasa Inggris daripada berbahasa daerah. Alasannya? Untuk mempersiapkan si anak menghadapi era globalisasi.

Dalam data yang dikeluarkan oleh PBB sesuai grafik di atas, dapat dilihat bahwa pertumbuhan populasi urban berlangsung sangat cepat. Populasi masyarakat urban yang meningkat diikuti dengan populasi masyarakat desa yang mengalami penurunan. Menurut data PBB ini pula, proporsi masyarakat urban Indonesia ternyata lebih tinggi dari proporsi masyarakat urban di benua Asia dan Asia Tenggara. 

Tingginya angka urbanisasi yang berdampak pada terancamnya eksistensi bahasa daerah inilah yang membuat Kepala Bidang Peningkatan dan Pengendalian Bahasa Badan Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional, Sugiyono menyatakan bahwa di penghujung abad 21, hanya tinggal 10% bahasa daerah yang akan bertahan. Hal ini dijelaskan pada artikel VOA yang berjudul Jarang Digunakan Ratusan Bahasa Daerah di Indonesia Terancam Punah. Dari 746 bahasa daerah di Indonesia, diperkirakan dalam 100 tahun mendatang akan tersisa hanya 75 bahasa. 

2. Televisi



Televisi mau tidak mau menjadi salah satu faktor yang menyebabkan punahnya bahasa daerah. Program televisi yang merupakan produk nasional tentu saja menggunakan bahasa Indonesia. Banyak tayangan yang menjadi tontonan favorit keluarga bahkan dibawakan dengan bahasa yang lazimnya digunakan di Ibukota Jakarta. Bayangkan anak di desa Baraka yang sehari hari berbahasa Duri menonton tayangan sinetron yang menyapa "saya-kamu" dengan "lu-gue". Televisi telah mengajarkan bahwa ada alternatif lain dari "aku'-iko" yaitu "lu-gue" yang jika dilihat dari penggunanya, jauh lebih menarik dari mereka yang hidup di desa.

Menurut Komisi Penyiaran Indonesia, waktu yang dihabiskan oleh anak untuk menonton TV lebih besar dari waktu yang ia gunakan untuk sekolah. Dalam sehari, seorang anak dapat menghabiskan 4 hingga 5 jam di depan TV, yang berarti sekitar 30 hingga 35 jam sehari atau 1600 jam setahun. Dua kali lipat dari waktu yang dihabiskan di sekolah yaitu sekitar 740 jam setahun.

Besarnya waktu yang dihabiskan anak di depan televisi dianggap turut berdampak pada rendahnya penggunaan bahasa daerah oleh anak. Bahasa yang kemudian menjadi familiar di telinga anak-anak adalah bahasa yang mereka dengar di TV.

3. Kebijakan Pemerintah

Pada sebuah Seminar Nasional bertopik "Pengembangan dan Perlindungan Bahasa, Kebudayaan Etnik Minoritas untuk Penguatan Bangsa" yang diadakan oleh LIPI pada Desember 2011, dikatakan bahwa salah satu yang menjadi penyebab percepatan kepunahan bahasa daerah adalah kebijakan pemerintah. Mengapa kebijakan pemerintah?

Berbagai kebijakan pemerintah dianggap mengancam eksistensi bahasa daerah. Contohnya, kebijakan pendidikan agar sekolah-sekolah beralih dari pelajaran bahasa daerah menjadi bahasa asing semisal bahasa Jerman atau Mandarin. Selain di bidang pendidikan, kebijakan pemerintah berupa pemekaran wilayah juga dianggap sebagai salah satu penyebab punahnya bahasa. Seperti bahasa Tandia di Papua Barat. Bahasa ini dinyatakan punah setelah melalui penelitian di awal tahun 2011 ditemukan bahwa tidak ditemukan lagi penutur bahasa ini. Salah satu faktor penyebabnya adalah lebih dominannya bahasa Wandamen dari suku Wamesa sebagai bahasa sehari-hari. Hal ini disebabkan setelah pemekaran Papua Barat, Teluk Wondama menjadi pusat keramaian daerah tersebut. Mau tidak mau, suku Mbakwar harus menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut dan sedikit demi sedikit meninggalkan bahasa Tandia. 

Menyelamatkan Bahasa yang Terancam Punah

Ancaman punahnya bahasa bukan hanya milik Indonesia. Secara global hal ini telah menjadi perhatian. Gerakan melestarikan bahasa bermunculan dari berbagai pihak. Di dalam negeri, terdapat kamusiana.com yang bersemboyan Kamus Bahasa (di) Indonesia. Situs ini memuat kurang lebih 19 kamus bahasa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia.

Di Amerika Serikat,  para pakar bahasa juga menggunakan media internet sebagai sarana pelestarian bahasa yang terancam punah. Hal ini diungkapkan pada artikel VOA yang berjudul Pakar Bahasa AS Lestarikan yang Hampir Punah dengan Kamus Online. Para pakar bahasa di Amerika Serikat tidak hanya berusaha melestarikan bahasa yang hampir punah, tetapi juga bahasa yang telah benar-benar mati seperti bahasa Indian Algonquian Virginia. Bahasa ini direkonstruksi pada film "The New World" pada tahun 2005. Usaha linguis AS ini diceritakan pada artikel Linguis AS Hidupkan Lagi Bahasa-Bahasa yang Telah Mati. Para linguis sedang berusaha berusaha untuk melestarikan berbagai bahasa tidak hanya untuk tujuan akademis.


Sebagai masyarakat dunia kita juga diajak untuk melestarikan bahasa kita. Melalui situs www.endangeredlanguages.com kita dapat memberi kontribusi dengan menyumbangkan pengetahuan kita mengenai bahasa yang dikategorikan sebagai bahasa yang terancam punah. Situs ini membuka kesempatan bagi siapa saja untuk memasukkan contoh bahasa daerah tersebut atau hal-hal lain yang berhubungan dengan bahasa tersebut. Situs ini bertujuan untuk menginventarisir bahasa-bahasa yang digunakan kaum minoritas di seluruh dunia. Berikut adalah peta persebaran bahasa yang terancam punah di Indonesia menurut www.endangeredlanguages.com.



Kesadaran warga dunia akan pentingnya bahasa membuka mata kita semua bahwa punahnya bahasa dapat membawa kerugian yang besar. Hilangnya bahasa berarti hilangnya potongan sejarah dan budaya yang berharga dari suatu daerah. Jadi, mari melestarikan bahasa daerah kita :).