Rabu, 28 Desember 2011

Kemah Menulis 2011, Hari Keempat!

Postingan mengenai Kemah Menulis Hari Keempat ini seharusnya saya post semalam, tapi karena saya harus ke fisioterapi dulu, akhirnya saya telat nulis. Ditambah lagi sinyal modem hancur-hancuran, tertundalah hingga hari ini. Jadi hari ini saya harus memposting 2 kali. Huuuuu.....

Hari keempat, tiga hari menjelang akhir kegiatan, saya mulai kena sindrom "tidak ingin semua ini berakhir". Halah, lebay. Sebenarnya hanya perasaan sedih, saya baru mulai mengenal teman-teman lebih jauh disaat kegiatan semakin mendekati akhir. Heheh

Hari keempat saya sangat bersemangat. Hari ini kami akan mengunjungi Kantor KPK dan Mabes Polri. Sebagai mahasiswa fakultas hukum, mengunjungi dua instansi ini rasanya sedikit berbeda. Sedikit lebih bersemangat karena akan bertemu orang-orang di instansi yang selama ini berputar-putar dalam topik diskusi, objek kritisi, hingga anekdot-anekdot kampus. Saya menyiapkan pertanyaan yang lumayan banyak sebenarnya.

Kunjungan pertama adalah ke kantor KPK. Berangkatlah kami ke sana secara berkelompok. Kelompok saya ditemani mentor memilih untuk naik transportasi umum. Mengingat kami ingin menghemat uang saku yang dierikan. Berangkatlah kami dengan naik angkot lalu bus Transjakarta. Entah kenapa, mungkin karena keasyikan ngobrol, akhirnya kami salah turun halte, bukan tersesat loh. Hehehe. Untunglah tidak sampai terlambat.

Di kantor KPK kami bertemu dengan Pak Busyro, ketua KPK saat itu. Pak Busyro menjelaskan serba-serbi penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia. Saya gregetan sekali ingin bertanya, sayang tidak dapat giliran. Nasiiib...nasib. Hari itu saya ingin menanyakan fungsi pengawasan KPK atas peradilan Tipikor di daerah. Sabagai salah satu anggota Tim Perekaman kerja sama antara KPK dengan Unhas, saya dan teman-teman ingin mengetahui sejauh mana rekaman sidang kasus korupsi yang kami rekam ditindaklanjuti oleh KPK. Apakah berkeping-keping salinan rekaman kasus korupsi yang kami kirimkan benar-benar diperiksa? Apakah kejanggalan-kejanggalan yang kami lihat juga tertangkap oleh KPK? Yang lebih penting lagi, apakah ada tindak lanjut atas kejanggalan-kejanggalan tersebut? Saya benar-benar penasaran.

Sebagai gambaran, salah satu sidang korupsi yang kami rekam berakhir dengan putusan bebas bagi terdakwa. Saya setuju dengan putusan tersebut, karena saya dan teman-teman mendapati, si terdakwa bukanlah orang yang harus bertanggung jawab atas tindak pidana korupsi yang merugikan negara hingga milyaran rupiah tersebut. Kami tidak berpendapat dengan terka-menerka, karena proses persidangan pun menunjukkan demikian. Baik keterangan saksi maupun keterangan ahli yang melakukan audit administrasi, keduanya berujung ke satu nama, yang bukan nama terdakwa. Setelah sidang tersebut kami lalu berharap ada tindak lanjut dari pihak kejaksaan atau kepolisisan. Tapi ternyata tidak. Maka berharaplah kami pada KPK, yang menerima salinan rekaman persidangan kami. Ternyata, tidak ada kabar juga.

Hari itu saya ingin bertanya mengenai hal tersebut kepada Pak Busyro. Karena saya sedikit percaya bahwa titik terang pemberantasan korupsi masih ada. Apakah berada di tangan KPK? Hari ini saya ragu, mudah-mudahan besok saya teryakinkan. Selain itu saya sebenarnya ingin berterimakasih kepada KPK, walaupun harus mengorbankan kuliah sehari dalam seminggu untuk stand by di Pengadilan Negeri, tapi saya makmur. Uang makan yang lumayan bisa ditabung. Heheh. Walaupun saat di-audit akhir tahun harus uring-uringan.

Dari KPK kami bertolak ke Mabes Polri. Kami akan mendapatkan materi mengenai Deradikalisasi dan Penegakan HAM. Saya sebenarnya sangat tertarik dengan masalah penegakan HAM, mengingat pematerinya merupakan aktivis dari KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Tapi sayangnya, rupanya materi hari itu lebih menekankan pada deradikalisasi dalam tindak pidana terorisme. Hari itu banyak dijelaskan mengenai latar belakang terorisme, bentuk-bentuk tindakan teror, sejarah, penanganan, lengkap dengan video-video para teroris. Saya lebih merasa didoktrin mengikuti sesi tersebut. Seperti mindset saya tentang teror dan terorisme harus disesuaikan dengan standar negara. Yah, mungkin hanya penyakit paranoid saya yang berlebihan. Saya sebenarnya mengharapkan dialog yang lebih interaktif. Saya akhirnya lebih terhibur menonton teman yang sedang tidur dibandingkan mendengarkan sejarah teror.

Saya lebih terhibur lagi berkeliling Museum Polri. Saya lama mencermati peralatan yang digunakan polisi di TKP. Entah itu di TKP pembunuhan, narkoba, dll. Melihat peralatan polisi di TKP narkoba saya tertawa sendiri. Ada perlengkapan yang digunakan untuk mengetes apakah obat atau zat yang dicurigai benar merupakan narkoba. Alat tersebut semacam tube yang nantinya jika zat mencurigakan tsb dimasukkan ke situ dan dicampurkan dengan zat tertentu, akan berubah warna jika memang mengandung zat-zat adiktif berbahaya. Saya tidak tahu polisi kita sudah dilengkapi dengan alat tersebut. Dalam penangkapan-penangkapan pelaku tindak pidana narkotika yang saya lihat di TV. Biasanya, si polisi hanya akan mencari narkoba di saku si pelaku, setelah ditemukan, si pelaku lalu dihadiahi bogem mentah. Bagaimana kalau yang di saku pelaku itu bukan narkoba? Kalau ternyata puyer? Hahaha.. Saya familier dengan alat tersebut bukan dari program macam Buser atau TKP yang produk dalam negeri. Saya familier karena sering menonton Fox Crime. Polisi-polisi Amerika dalam program TV Cops biasanya akan melakukan tes tersebut saat menangkap pelaku narkotika di TKP.

Di museum ini saya juga menccari profil Pak Hoegeng. Nah, Pak Hoegeng ini adalah salah satu dari tiga polisi jujur, yang tidak dapat disuap, yang dikisahkan dalam anekdot yang dilontarkan almarhum Gus Dur. Yang duanya lagi siapa? Patung polisi dan polisi tidur. Hahaha. Dalam perjalanan ke Mabes, di Kopaja, saya dan Ka Vando sempat bercerita tentang orang-orang yang "bersih" dalam penegakan hukum. Berbincanglah kami tentang Pak Hoegeng yang seorang polisi, Pak Yap Thian Hien yang seorang pengacara, dan Baharuddin Lopa yang seorang Jaksa.. Asumsi saya, profil atau paling tidak gambar Pak Hoegeng akan mudah ditemukan. Ternyata tidak. Profil singkat Pak Hoegeng hanya tercantum dalam semacam Hall of Fame bersama sejumlah polisi yang terkenal di Indonesia. Saya cukup tersenyum, mungkin saya yang berlebihan memandang sosok Pak Hoegeng.


Ini dia foto pak Hoegeng semasa muda dgn seragam kepolisisan.

Pulang dari Mabes Polri kami lagi-lagi memilih untuk menggunakan Bus TransJakarta. Kali ini rombongan kami lebih besar. Karena kami memilih untuk pulang bersama dengan dua kelompok lain. Lucunya, karena sempat berdesak-desakan saat akan naik ke Bus, rombongan kami sempat tepecah. Berangkatlah Bang Ayos, Dhiora, dan Dion lebih dulu dari kami. Usut punya usut ternyata merek akhirnya turun di Monas dan naik taksi kembali ke apatemen. Eciye…yang quality time bertiga. Hahaha.. Hecticnya Jakarta sore itu akhirnya kami tutup dengan rame-rame makan es krim di Alfamart apartemen. Ck, anak komplek sejati. Hihihi.

Sesi malam diisi dengan materi “Mengapa Menulis?” yang dibawakan oleh Mbak Mardiyah. Saya semangat lagi nih, mengingat saya suka menulis, tapi sebatas konsumsi pribadi alias nulis diary. Hehe. Mbak Mardiyah malam itu mengajarkan tentang pentingnya “angle” dalam menulis. Angle kurang lebih adalah sudut atau sisi yang ingin diangkat oleh si penulis. Karena sebuah peristiwa atau hal mamiliki banyak angle yang dapat ditelaah. Kami lalu diajari cara membuat angle yaitu dengan membuat pertanyaan. Kami lalu diberi PR, buat tulisan tentang kegiatan ini, dua paragraph, dan harus jelas angle nya. Otak saya muter. Saya harus mengangkat angle apa? Di tulisan saya kemudian, yang ada saya curhat tentang perasaan saya. Huuuu…

Materi menulis membuka mata saya akan pentingnya mengangkat satu sudut dari sebuah cerita. Jika ingin menceritakan semuanya, tulisan terkadang akan kurang menarik. Tiap topic *yang banyak itu* nantinya akan terkesan menggantung. Angle akan membantu kita untuk keep on track pada hal yang sebenarnya menjadi perhatian utama kita.


Hari keempat ini saya lumayan senang. Mengunjungi instansi-instansi yang belum tentu bisa saya kunjungi sehari-hari. Saya lebih senang lagi karena hari ini saya dan kawan-kawan lain semakin akrab. Sama-sama berpeluh mengantri di halte Bus TransJakarta rupanya berhasil mengakrabkan kami. Hal yang mungkin akan sulit didapatkan jika kita bepergian dengan bus yang telah disediakan oleh panitia. :)

Di hari keempat juga kamera saya mulai terisi. Terima kasih kepada Bang Moses yang telah menjadi partner in crime saya dalam mengambil gambar dimana-mana. Hehehe..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar