Kamis, 08 Desember 2011

Diskriminasi Diam Diam


Ck...lagi lagi saya akan curhat. Saya ga tau harus menyalahkan siapa. Hujan yang tak kunjung henti kah, sisa sisa memori mengikuti Kemah Menuju Indonesia kah, atau diri saya sendiri yang sepertinya tidak tahan liat hujan dikit aja. Liat hujan dikit aja langsung galau maksudnya. Manusiawi kah? Lebih ke apoloji menurut saya. Hahaha...

Curhatan hari ini tentang diskriminasi. Karena itu judulnya "Diskriminasi Diam Diam". Saya hanya ingin membahas kecendrungan kita untuk diskriminasi terhadap orang lain. Ternyata diskriminasi tidak hanya kita lakukan terhadap orang-orang yang berbeda Ras, Warna kulit, Suku, dll. Tapi juga terhadap orang-orang yang kita anggap berbeda, contohnya terhadap penderita HIV/AIDS. Diskriminasi ini mungkin tidak kita lakukan secara sadar. Mungkin hanya dalam bentuk guyon, atau tulisan pendek sambill lalu, tapi ini benar terjadi. Dan apapun bentuknya, diskriminasi tetap diskriminasi.

Cerita dimulai saat tadi siang buka facebook saya nemu status kakak perempuan saya. Intinya dia merasa sedih, karena menerima Broadcast Massage yang sifatnya mendiskriminasi penderita HIV/AIDS. Bukan hal itu yang membuat saya sedih. Saya sedih membaca komentar seorang facebookers terhadap status tersebut. bunyi komennya kurang lebih seperti ini: "sudah resiko, berani berbuat harus berani bertanggung jawab."

Membaca komentar itu saya sontak sedih bukan main, hampir nangis. Saya tidak mengatakan bahwa komentar tersebut jahat atau bagaimana. Itu hak seseorang dalam ber-media sosial. Saya hanya menyayangkan, harusnya setiap komentar yg dituliskan bisa lebih bijak. Bisa lebih dipikirkan sebelumnya. Bisa lebih simpatik lah setidaknya. Kalau memang tidak setuju, jangan terlalu cepat menghakimi. Toh masih ada pilihan untuk "diam".

Senjata saya mengatakan demikian adalah, tidak semua penderita HIV/AIDS mendapatkan virus tersebut dari perbuatan yang tercela. Tidak semua penderita HIV/AIDS adalah wanita tuna susila, atau orang-orang yang gonta-ganti pasangan, atau pecandu narkoba. Terlepas dari itu, sebenarnya, tidak sepenuhnya salah mereka hingga mereka terinfeksi virus tersebut. Seperti penderita HIV/AIDS yang terinfeksi akibat pemakaian jarum suntik yang berganti-gantian. Banyak alasan seseorang menjadi pecandu narkoba. Beberapa dari mereka berangkat bukan dari kemauan sendiri. Banyak faktor di luar diri seseorang yang dapat menjadikan seseorang pengguna-pecandu narkoba. Entah itu masalah di dalam keluarga, ajakan lingkungan, korban pergaulan, dll. Saya yakin, hampir tidak ada orang yang mau terinfeksi virus HIV/AIDS. Tidak ada orang yang bercita-cita mendapatkan predikat Orang Dengan HIV Aids (ODHA).

Jadi kalimat "berani berbuat berani bertanggung jawab" rasanya kurang etis untuk digunakan. "Terinfeksi virus HIV/AIDS" rasanya bukan bentuk tanggung jawab. Itu mungkin adalah resiko, tapi demi Tuhan, hal itu tidak terdengar sebagai "tanggung jawab".

Saya yakin pendapat seperti si-penulis-komentar di atas masih lazim kita temukan di masyarakat. Memang bukan salah mereka sepenuhnya, pendidikan formal mengenai hal ini masih belum begitu memasyarakat. Tapi saya tetap yakin bahwa selalu ada pilihan untuk lebih bijak menilai suatu masalah. Dan sekali lagi, masih ada pilihan untuk "diam".

Saya ingat dulu saya punya teman yang kakaknya adalah ODHA. Yang membuat saya miris adalah dengan antengnya dia bercerita bahwa keluarganya sudah tidak peduli lagi dengan kakaknya tersebut. Si kakak yang kritis dibiarkan di rumah sakit (masih dibiayai-untungnya) tanpa ada anggota keluarga yang menunggui. Ya Tuhan, kalau mengingat hal itu saya mau menangis (lagi). Hingga hari ini saya tidak berani dan tidak pernah punya nyali untuk menanyakan bagaimana kabar si kakak.

Saya tidak habis pikir, mengapa kita dapat sangat mudah bersifat diskriminan terhadap orang lain. Sifat diskriminan terhadap ODHA tentu saja jarang kita temui dalam bentuk yang terang-terangan. Mengingat mereka cenderung menutup-nutupi dari masyarakat kita yang kejam. Tapi sadar atau tidak, sifat diskriminan masyarakat dapat terlihat pada aspek-aspek lain. Masih belum ada gambaran? Nah, berapa kali kalian mendengan kalimat: "ih sial banget deh hari ini aku se angkot dengan banci" atau "ya ampun, masih pagi udah ketemu banci, bakalan sial nih." Berapa kali? Saya sering. Saya benci kalimat-kalimat seperti itu. Tidak ada relevansinya sama sekali antara ketemu banci dengan nasib sial atau untung. Saya tidak tahu apa dasar mereka berkata demikian.

Hal yang sama akan kita temui saat melihat wanita-wanita dengan cadar atau dengan pakaian serba hitam dari ujung kepala hingga kaki. Saya sering mendengar kata-kata ejekan kepada mereka. Sedih rasanya. Mereka hanya melakukan apa yang mereka yakini. Terlepas dari kita menyetujui atau tidak, apa yang mereka kenakan toh tidak merugikan bagi kita. Jika pun ada yang merasa dirugikan, bersabar selalu lebih baik dari menghujat.

Saya tidak menyangka betapa keras reaksi masyarakat kita terhadap hal hal yang mereka anggap "tidak biasa". Padahal belum tentu yang "tidak biasa" itu "tidak baik". Kita terlalu cepat termakan stereotip. Kita terlalu mudah menghakimi orang lain. Kita terlalu sempit memaknai perbedaan.

Keinginan saya sederhana, jika kita tidak mampu untuk menyetujui, cukup mengerti. Jika kita tidak mampu untuk mengerti cukup bersimpati. Jika kita tidak mampu untuk bersimpati, maka cukuplah kita diam dan simpan pendapat di dalam hati.

if you don't wanna say YES for these questions, do this simple thing: silent. :)
foto ini dipinjam dari www.chip.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar