Rabu, 25 Juli 2012

Mengapa Saya Tidak Boleh Jadi Pengacara?

Ini entah kali keberapa saya berniat untuk menulis tentang hal ini. Sayangnya, tulisan saya selalu berhenti di tengah jalan Entah karena kurang sreg dengan apa yang "akhirnya" saya tulis, atau karena kehilangan mood untuk menulis saat saya baru setengah jalan.

Kali ini saya mau sedikit bercerita sesuai bidang saya, hukum, yang empat tahun belakangan saya pelajari. Empat tahun sebagai mahasiswa hukum tentu menambah pengetahuan saya tentang hukum. Tapi diluar itu, empat tahun belajar hukum juga membawa pengalaman tersendiri buat saya. Satu hal yang paling sering saya alami adalah sebuah percakapan seperti ini:

"Kamu kuliah jurusan apa?"
"Saya kuliah hukum."
"Hukum? Hmm.. jangan jadi pengacara yah!"

Percakapan macam ini selalu saya jumpai saat bertemu dengan keluarga jauh, teman-teman orang tua saya, atau orang-orang yang baru saya kenal. Percakapan itu lalu saya lanjutkan:

"Memangnya kenapa?"
"Itu profesi banyak dosanya, orang sudah jelas salah malah dibela."

Sudah saya duga akhirnya pasti seperti itu. Menurut orang-orang yang saya temui tersebut (dan mungkin kebanyakan orang lainnya) profesi pengacara adalah profesi tercela. Membela orang yang salah. Membela pencuri, membela koruptor, membela pemerkosa, membela pelaku penabrakan, membela orang-orang yang jelas menjadi musuh masyarakat.

Jika sedang malas mendebat saya hanya tersenyum lalu beringsut meninggalkan lawan bicara saya. Tapi kadang kala, rasanya saya berkewajiban untuk menjelaskan "masalah pengacara" ini. Lalu mulailah saya menjelaskan panjang lebar.

Dalam hukum Indonesia, dianut asas presumption of innocence atau asas "praduga tidak bersalah". Artinya, tidak ada orang yang dapat dikatakan bersalah jika pengadilan, dengan segala proses pembuktiannya, belum menyatakan demikian. Jadi, sebelum pengadilan benar-benar menjatuhkan vonis "bersalah" kepada seseorang, ia masih dianggap "tidak bersalah".

Lalu, kenapa pengacara harus membela tersangka pelaku tindak kejahatan? Agar persidangan berjalan dengan seimbang. Dalam suatu persidangan, terdapat Hakim, Jaksa Penuntut Umum, dan Pengacara (jika Terdakwa menginginkan). Hakim dalam hal persidangan bertugas untuk memimpin, secara garis besar mendengarkan pembelaan kedua belah pihak, mempertimbangkan pembuktian yang terjadi dalam persidangan, lalu kemudian memutuskan hukuman yang akan dijatuhkan. Jaksa penuntut umum (JPU) bertugas untuk membuktikan bahwa terdakwa benar telah melakukan tindak pidana. Agar persidangan berjalan seimbang, maka terdakwa sebaiknya didampingi dengan pengacara. Pengacara bertugas untuk membela hak-hak terdakwa. Agar hak-hak terdakwa dapat terpenuhi. Agar terdakwa dapat menyampaikan suaranya dalam persidangan, membela dirinya.

Perihal bersalah-tidak bersalah juga bukan perkara sederhana. Kenapa? Karena dibalik perbuatan ada niat. Misalnya, seseorang ditangkap karena mencuri pisang. Apakah dia serta merta dapat dikatakan bersalah melakukan pencurian dan harus dihukum seberat-beratnya? Bagaimana jika ia mencuri untuk memberi makan keluarganya? Haruskah ia dihukum sama beratnya dengan orang kecukupan ekonomi yang melakukan pencurian sebagai profesi? Silahkan anda jawab sendiri. Hal ini lah yang harus diungkap dalam persidangan, oleh Jaksa Penuntut Umum yang bertugas untuk membuktikan kesalahan pelaku dan Pengacara  yang bertugas untuk membuktikan jika ada hal-hal yang dapat meringankan hukuman pelaku.

Lucunya, pendapat masyarakat mengenai pengacara ini sering berubah-ubah. Kasuistis, atau tergantung kasus. Jika yang menjadi terdakwa adalah orang miskin yang mencuri sendal atau nenek-nenek yang mencuri kakao, maka pengacara akan dielu-elukan. Dikatakan membela rakyat miskin. Jika hakim memutus bebas, pengacara kasus tersebut akan menjadi pahlawan baru. Lain halnya jika yang menjadi terdakwa adalah orang kaya yang korupsi, pengacaranya akan dianggap hina, tidak bermoral, karena membela pelaku korupsi. Padahal, pada dasarnya kerja pengacara pada dua kasus tersebut kurang lebih sama. Pada teorinya.

Contoh di atas memang terasa sedikit naif. Apa iya pengacara pada kasus korupsi melakukan hal yang sama dengan pengacara kasus remeh temeh? Tapi poin yang ingin saya sampaikan adalah, profesi pengacara pada dasarnya bukan hal tercela. Apa iya jika pada suatu hari saat keluarga kita berurusan dengan hukum kita memilih untuk tidak dibela dengan pengacara? Dengan berpegang pada asumsi "pengacara membela orang yang salah".

Mengenai "profesi tercela", menurut saya harus dikembalikan pada masing-masing orang. Profesi apapun dapat mendatangkan dosa jika dijalankan secara menyimpang. Bukankah guru mengaji pun masih ada yang mencabuli muridnya?

Akhir-akhir ini jika saya kembali terjebak dalam pembicaraan jangan-jadi-pengacara saya hanya menjawab dengan senyum. Rasanya malas terus menerus menjelaskan. Tapi juga salah jika dibiarkan. Mungkin dengan tulisan ini beberapa orang akan sedikit mengerti dan tidak perlu bertanya.

Sabtu, 21 Juli 2012

Cinta Segitiga: Saya, Skripsi dan Sims!

Melihat blog ini beberapa waktu ke belakang, sepertinya tidak banyak hal yang baru. Padahal saya masih ngutang cerita part 2 dari perjalanan singkat saya di bulan Mei kemarin. Draft postingan saya juga lumayan banyak, tapi sayang tidak pernah *belum* berhasil saya selesaikan. Aduh, ini tanda-tanda penyakit malas. Postingan terakhir saya buat secara kilat di sela-sela liburan saya yang sebenarnya bukan liburan.

Oh iya, good news nya skripsi saya sudah selesai. Setelah menunda-nunda berminggu-minggu setelah penelitian saya selesai, akhirnya ada "daya paksa" yang membuat saya siang malam ngetik skripsi. Teman saya, Nia, memberi kabar bahwa untuk lulus bulan September, berkas calon wisudawan harus dikumpulkan paling lambat 30 Juli. Wah, sial. Waktu mendengar kabar ini saya sedang tidak di Makassar, laptop saya lagi sakit parah dan saya baru saja menghapus back-up file bab 1 sampai 3. Celaka dua belas. Saya lalu menginstal antivirus baru dan menyembuhkan laptop saya dan buru-buru kembali ke Makassar. Intinya skripsi sudah kelar, tapi sepertinya niat saya lulus bulan September tidak akan kesampaian. Yah, tiap orang punya ceritanya masing masing dengan fase ini.

Setelah skripsi beres akhirnya saya menganggur lagi. Seperti biasanya, teman menganggur kedua setelah buku buat saya adalah game The Sims. Saya mulai main The sims sepertinya beberapa tahun lalu. Tidak seperti Simmer lain yang memulai dengan Sims 1 saya memulai dengan Sims 3. Baru belakangan setelah laptop kakak saya ngadat karena Sims 3 yang terlalu berat buat laptop, akhirnya saya berpindah ke Sims 2 dengan Expansion Pack Nightlife. Yah, lumayan lah.

Kalau disuruh memilih jelas saya memilih Sims 3. Kenapa? Graphic nya lebih bagus, pindah lot tidak perlu loading, bisa memilih sifat apa yang akan jadi traits sims ciptaan kita, bisa bikin keluarga gelandangan. Hahaha. Beberapa teman saya yang juga main Sims rupanya punya cerita yang sama dengan saya. Di awal-awal bermain sims, kami menciptakan sims yang sempurna. Sifatnya baik-baik, hidupnya normal, cinta keluarga, tidak punya musuh. Tapi lama kelamaan, sims macam ini membosankan. Akhirnya sims yang diciptakan mulai beragam, tidak lagi sims baik-baik. Favorit traits (sifat) saya di sims 3 adalah Kleptomaniac. Hahaha. Kenapa? Karena dengan menjadi Kleptomaniac sims saya tidak perlu susah-susah bekerja, cukup bertamu ke rumah orang kaya dan ngutil sesuatu. Setelah itu bisa dijual. hehehe.

Di Sims 2 yang tidak dilengkapi dengan fitur "traits" penyimpangan yang saya buat adalah menciptakan sims playboy. Jadi sims super playboy ini punya anak dimana-mana. Heheh. Tapi hal yang paling saya suka dari game ini adalah, saya bisa mendesain rumah semau saya. Saya lebih banyak menghabiskan waktu mendesai rumah bagi sims dibandingkan memainkan sims-sims saya. Main game The Sims memang tidak pernah membosankan. Di awal-awal permainan saya hanya akan berhenti setelah mata saya super berat kelamaan di depan monitor.


Sebelum memulai proses mengerjakan tugas akhir dan segala tetek bengeknya, saya meng-uninstall game the sims saya. Maksudnya supaya saya fokus dengan tugas akhir. Jadi masa vakum saya tidak bermain The Sims lumayan lama, sekitar 7 bulan. 



Anyway, saya tidak sedang menyarankan anda untuk bermain The Sims sepanjang hari di bulan ramadhan ini loh. Mendingan diisi dengan ibadah kaaaan.. :)

Kamis, 05 Juli 2012

Browny, The Slum-Cat Millionaire #eh

Hey La! Greetings from my hometown.. :)

Karena lagi sumpek dengan rutinitas sehari-hari di Makassar, akhirnya saya memutuskan bergabung dengan sepupu saya untuk liburan (baca: menemani mereka liburan) ke Sorowako. Horeee.. seperti biasanya saya selalu bersemangat balik ke kota ini. I love it's weather, i love the lake, i love the places, i love all of things about this town!

Hari ini saya tidak berenang dan kemana-mana, hanya di rumah karena hampir seharian hujan turun. dan tebak saya bertemu siapa? Kucing mantan tetangga saya! Ini dia penampakannya:

  
terimalah gambar ini apa adanya, saya lagi malas rotate me rotate. :p




Kucing ini dulunya *sepertinya* punya tetangga saya loh. Saya gak ingat namanya siapa. Seingat saya tetangga saya juga tidak memberi nama. Jadi panggil saja di Browny ya. Kalo dari jenis kucingnya, menurut ke sotoyan saya, kucing ini adalah kucing siam. Setelah ber google ria, inilah penampakan "siamese cat" atau kucing siam:

Siamese cat versi lebih terawat dari Browny. Huhuu..

Benarlah dugaan saya bahwa si Browny ini adalah kucing siam yang pastinya bernilai ekonomis. Saya lalu meng-google harga seekor kucing siam *mental money oriented*. Dari situs www.pets4homes.co.uk ternyata harga kucing siam berkisar pada angka 300-400 poundsterling atau jika dirupiahkan mencapai 4,8 sampai 6,4 Juta ! Wuooooow..

Tapi, sayang sekali si Browny ini sudah dikebiri dan lebih sayangnya lagi, di kota ini tidak ada kucing siam betina. Sampai tulisan ini diterbitkan pun saya tidak tahu si Browny ada di mana. Sejak tetangga saya meninggal, Browny memilih hidup sebagai kucing liar.

Kucing liar seharga jutaan rupiah. *fliptable*