Jumat, 10 Agustus 2012

What's up, Life?

You know, life cannot serves all you want.

Aneh sekali saat kau sadari betapa hidupmu tidak akan pernah normal. Karena hidup yang normal adalah hidup yang sama sekali tidak normal. Hidup mu baru bisa dikatakan normal jika yang terjadi adalah hal-hal diluar kehendakmu, kendalimu, inginmu. Setidaknya itu menurut saya.

Turning 22. Bulan lalu saya tepat 22 tahun. Tidak ada special wish. Karena saya menghitung bukan dari hari saya berubah usia, tetapi hari bumi berubah usia. Tidak ada bedanya sebenarnya, tetapi saya memang jarang bermohon di hari ulang tahun. Tidak pula ber-resolusi atas usia baru saya. Menjadi 22 pun sebenarnya saya tidak mengerti bagaimana harus memaknainya. Kata orang, berharaplah agar bisa menjadi baik. Saya memilih berharap menjadi lebih baik setiap hari. Jika tidak sedang lupa.

Sebenarnya beberapa waktu belakangan ini banyak sekali masalah yang datang. Di dalam dan di luar rumah rasanya sama saja. Tapi saya tidak senang membahas masalah. Rasanya terlalu-kurang-beryukur jika terus menerus mengeluh karena merasa berat karena sebuah, atau beberapa buah, masalah. Saya memilih menyemangati diri. Mensugesti diri dengan kata-kata "what doesn't kill you makes you stronger" yang selalu menjadi kata-kata pamungkas saya jauh sebelum Kelly Clarkson mulai menyanyikan lagu dengan judul sama. Hal lain yang selalu saya percaya adalah "bukan orang yang lemah yang diberi cobaan yang berat". Jadi mulailah saya menghibur diri dengan menganggap diri saya sedikit lebih kuat dengan masalah-masalah yang datang. I should sit and share a cup of tea with problem. Sit like an old friends. Berdamai dengan masalah.

Akhirnya di hari-hari luang ini saya habiskan dengan membaca. Berlompat-lompat dari buku satu ke buku yang lain. Membaca hingga mata saya lelah. Menelusuri jejak seseorang melalui buku. Ini lucu, tapi memang seperti itu. Saya sedang berusaha menelusuri jejak seseorang melalui buku. Membaca buku-buku yang mengingatkan saya kepada orang tersebut. Tentu saja mereka-reka, mengingat kami tidak berkomunikasi secara intens. Well, sebenarnya bahkan tidak ada "kami" sama sekali. Hanya "saya" dan "dia", dua subjek dalam dua kalimat berbeda.

Ada hal bagus yang bisa dipelajari dari cuaca. Bahwa kau selalu bisa berharap akan ada hari yang lebih baik. Setiap badai akan memiliki akhir. Karena keadaan, biasanya, tidak akan bisa lebih buruk lagi saat sudah mencapai titik terburuknya. Maka seperti kata film dengan soundtrack favorit saya Badai Pasti Berlalu. Saya tidak mengatakan bahwa hari yang cerah adalah hari yang lebih baik. Menurut saya bagus tidaknya cuaca adalah milik subjektivitas manusia. Hujan menyenangkan hati para penggemarnya setara dengan cerah yang disambut ceria para pengikutnya. Badaipun bisa dinikmati, saat kita tahu cara mengurung diri dalam rumah dengan tepat. Tarik selimutmu rapat-rapat dan buka buku favoritmu. Atau saksikan petir yang menyambar dan bersiagalah menutup telinga. Besok pasti bisa lebih baik :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar