Jumat, 04 Mei 2012

Memperjuangkan Mimpi Butet Manurung

Hola! Hari ini saya sedang berselancar di situs VOA Indonesia dan menemukan artikel mengenai Butet Manurung. Sebagai gambaran umum (kalau masih ada yang belum mengenal siapa dia) Butet Manurung adalah seorang wanita bersuku Batak yang bernama lahir Saur Marlina Manurung. Dia adalah seorang wanita yang merintis sekolah alternatif bagi masyarakat Orang Rimba (Suku Kubu) yang berlokasi di Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi.

Butet Manurung
Gambar ini diambil dari sini

Nah, ternyata, sekolah alternatif ini tidak hanya dilaksanakan di Jambi, tapi sudah mulai menyebar di pelosok Indonesia wallaupun belum mencakup setiap profinsi. Beberapa waktu yang lalu saya sempat membaca twit dari Bapak Dino Patti Djalal, Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat, yang mengatakan bahwa Butet Manurung menerbitkan buku berjudul "The Jungle Book" di Amerika Serikat. Mengingat twitter hanya memberi informasi pendek, maka saya mencari informasi lebih lanjut mengenai hal ini. Dan ternyata, situs VOA Indonesia telah terdapat artikel mengenai peluncuran buku ini berjudul Butet Manurung Luncurkan Buku The Jungle School di AS. Sebelumnya, Butet Manurung telah menerbitkan buku berjudul Sokola Rimba di Indonesia. Buku ini berisi pengalaman Butet selama mengajar Orang Rimba di pedalaman Jambi.
Ini dia cover buku Sokola Rimba
Gambar ini diambil dari sini
Menurut artilkel yang tertulis di website VOA Indonesia, penerbitan buku ini di AS dimaksudkan untuk membantu pembiayaan program sekolah alternatif yang telah dirintis oleh Butet sejak tahun 1999. Setelah lebih dari 20 tahun membangun sekolah alternatif di lokasi-lokasi yang tidak terjangkau fasilitas pendidikan oleh pemerintah, kini Rumah Sokola telah memiliki 12 sekolah alternatif. Tujuh diantaranya merupakan sekolah pasca bencana yang sifatnya hanya sementara, seperti yang ada di Aceh dan Yogyakarta. Lima sekolah lainnya diperuntukkan bagi komunitas terkucil yang tinggal di pedalaman. Namun dari lima sekolah  hanya satu yang masih beroperasi. Semua karena permasalahan dana.

Ini di peta persebaran sekolah alternatif rintisan Rumah Sokola
gambar ini diambil dari sini

Sayang sekali jika kerja keras dari Butet dan kawan-kawan Rumah Sokola harus terhenti di tengah jalan akibat kurangnya dana. maka dari itu Butet berinisiatif untuk menerbitkan buku "The Jungle Book" yang nantinya seluruh hasil dari penjualannya akan digunakan untuk pembiayayaan kegiatan Rumah Sokola. Peluncuran buku ini dilakukan di Kedutaan Besar Indonesia di Washington DC tanggal 10 April 2012. 

Di bulan Mei yang identik dengan bulan pendidikan ini, berita mengenai sekolah rintisan yang tutup karena kekurangan dana seperti memadamkan satu lagi lilin harapan bangsa ini. Dengan pendidikan sebagai tonggok utama pendorong perubahan Indonesia, miris sekali mengetahui bahwa harapan masyarakat pedalaman untuk memperoleh pendidikan semakin kecil.

Saya sempat memperoleh pengalaman mengajar di sekolah yang berlokasi terpencil di Sulawesi Selatan pada program Kuliah Kerja Nyata kampus saya. Saya terkejut bahwa di salah satu kabupaten tujuan wisata di Sulawesi Selatan, masih terdapat sekolah dengan fasiitas yang jauh dari layak. Karena kurangnya bangunan sekolah, siswa kelas 1 dan kelas 2 bahkan harus belajar di bekas bangunan tua yang berada di kompleks sekolah. Tapi, setidaknya masih bertap, jika dibandingkan dengan orang rimba yang bersekolah di alam terbuka. Tapi fasilitas tidak bisa menjadi satu-satunya tolok ukur dalam penilaian kualitas pendidikan. Buktinya, di sekolah tempat saya mengajar, masih banyak siswa kelas 6 (bayangkan, kelas 6!) yang belum lancar membaca. Hal ini membuat saya bertanya-tanya, bagaimana mereka bisa naik kelas?

Beberapa waktu yang lalu saya menyaksikan program di salah satu TV swasta. Sebuah Talkshow yang menghadirkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Bapak M. Nuh. Saat ditanyakan apakah saat ini ujian nasional memang "harus" diterapkan? Beliau menjawab harus, karena ujian nasional merupakan tolok ukur pendidikan Indonesia. Saya seketika mengingat sekolah tempat saya mengajar dulu. Bagaimana nasib murid saya yang belum lancar membaca akan menghadapi uian nasional?

Pendidikan merupakan hak azasi yang diakui secara internasional. Dan negara adalah fasilitator terpenuhinya hak tersebut. Beberapa daerah telah menerapkan pendidikan gratis 9 tahun. Namun belum ada yang menjanjikan "ketersediaan pendidikan yang layak" 9 tahun. Apa gunanya pendidikan gratis jika tidak tersedia? 

Program-program berbasis bantuan pendidikan seperti Rumah Sokola merupakan harapan bagi masyarakat kita yang masih menjadi anak tiri negara. Sayang sekali jika program seperti ini harus terhenti akibat terkendala pembiayaan. Jika tidak bisa menjadi seperti Butet Manurung, cukuplah kita membantu Butet untuk terus menjalankan mimpinya. :)

1 komentar:

  1. Semoga akan ada banyak orang-orang seperti Butet Manurung yang mau ambil peduli pada lingkungan sekitarnya. Semoga sukses ya. Mohon beri komentar pada tulisanku yang ini - Memanusiawikan Lingkungan Sungai Ciliwung dan Sekitarnya dan juga yang ini ya - Indonesia mendunia lewat Gamelan

    BalasHapus