Minggu, 18 Desember 2011


Hey Mom, it will be a Mother Day in 4 days ahead. I bet you didn't know that. I bet you even didn't remember today's date. Well, Mother's Day isn't something to celebrate in our family, rite? We only celebrate Idul Fitri and Idul Adha. Sometimes if we remember, we also celebrate some birthday. Dad's Birthday, Mine, Yours or the other family member. Last year, we buy you a chocolate cake. This year, i forgot to plan anything. I'm such a terrible kid. And just like years before, there also no gift in Mother's Day. I always feel that i should give you something, but then, i remember that our family didn't give gifts even in birthday. Our family didn't show our feeling explicitly. We didn't say sorry, we didn't say love, we show it. But somehow, what you did could interpret way differently then what you mean. Then I decide to write something.
Maybe, someday, i could put my ego aside and say this to you...

I wanna say thank you for my breakfast. and lunch and dinner. i'm such a jerk for being very picky for my food. even i know you've spend your time to serve it.
I wanna say thank you for all my clean clothes. I'm such a jerk in the days where i found that the clothes that i want to wear haven't washed yet.
I wanna say thank you for bring me my homework that i forgot at home to school.
I wanna say thank you for not mad at me when i dropped from my bicycle and get injured. Dad did.
I wanna say thank you for let me stay at home and skipped school even you know I was pretending that i was sick.
I wanna say thank you for buy me Bobo magazine for years even you know you should do saving for my sibling's school cost.
I wanna say thank you for let me go swimming all day long and get my skin tanned because of that.
I wanna say thank you for buy me candies to makes me feel better when I got chickenpox.
I wanna say thank you for three birthday parties.
I wanna say thank you for let me join extracurricular as much as i want.
i wanna say thank you for let me play in the rain when the other parents forbid their kid to do the same.
I wanna say thank you for let me buy book instead dolls.
I wanna say thank you for all prayer that you whisper for my succeed.
I wanna say thank you for let me spend your money in my bank account.
I wanna say thank you for bring me to the dentist when i got toothache.
I wanna say thank you for all tea in every morning and afternoon.
I wanna say thank you for capturing a lot of pictures when i was a kid and still collect it until now.
I wanna say thank you for let me go diving, climbing mountain, and hiking when the other parents would never think twice to say "No".
I wanna say thank you for not asking me when will I graduate.
I wanna say thank you for all Mom.

I know those things in the list below are just a small parts of your kindness. And i'm too stupid too remember the rest. Thank you very very very much Mom. You are my best and always be.

Selasa, 13 Desember 2011

Sim Salabim Pemilu Raya :)

Hari ini saya ke kampus dengan perasaan biasa-biasa saja. Tidak ada firasat apapun, tidak ada hal istimewa. Sampai di kampus pun masih dengan perasaan biasa-biasa saja. Pas sampai di daerah gazebo, saya heran melihat banyaknya sampah kertas yang sepertinya bekas terbakar. Banyak kursi yang berserakan juga. Saya masih ga ngeh. Sampai di gazebo, ngobrol-ngobrol dengan teman-teman, dan seorang teman berkata. "ih, kyo kemarin tidak ikut Pemilu Raya..."

JDEEERRR!!! *backsound suara petir*

Ternyata kemarin, tanggal 12 Desember, adalah hari Pemilu Raya. Saya tidak tahu menahu. Tempe menempe.

Kenapa pemilu raya jadi se-penting itu buat saya? dan kenapa tidak tahu bahwa kemarin adalah hari pemilu raya se fenomenal itu buat saya? Bukan karena saya tidak mau ketinggalan antri nyoblos atau nyentang di bilik suara. Juga bukan karena saya mau jadi tim sukses salah satu kandidat (atau satu-satunya kandidat). Dan yang pasti bukan karena saya mau ngobyek pengadaan barang kelengkapan pemilu. hahaha

Saya hanya kaget kenapa tidak ada angin tidak ada hujan, tidak ada poster tidak ada pamflet, tidak ada tag-tag foto calon BEM dan DPM di fb, tidak ada desas-desus kubu-kubuan, dan tidak ada debat kandidat, tiba-tiba bim salabim ada pemilu? Ah...mungkin ada... saya saja yang jarang ngampus, pikir saya. Ah...pasti ada... hanya mata saya saja yang rabun dan tidak mampu beli kaca mata yang luput memperhatikan. Saya hanya ketawa miris.

Menurut laporan teman-teman saya, kandidat presiden BEM hanya 1 pasang. Jadi kalo mau ada debat kandidat pun, mau debat sama siapa, kata mereka. Sama rakyat, kata suara sok tahu di kepala saya. Tapi setidaknya harus ada pemaparan visi-misi dong. Saya tidak tahu ada atau tidak. Saya terakhir ke kampus Selasa minggu lalu, mungkin pemaparan visi misi dilakukan waktu saya ga ngampus, pikir saya. Tapi Selasa minggu lalu-pun saya tidak mendengar ada desas-desus mengenai pemilu raya, apalagi pengumuman resmi nama kandidat yang berhasil diluluskan oleh Panitia Pemilihan Umum (PPU). Jadi otomatis tidak ada kabar mengenai calon presiden BEM apalagi pemaparan visi misi, debat terbuka, masa kampanye, dan seterusnya, dan seterusnya. Umm....oke.

Seingat saya, dari yang diceritakan senior-senior jaman saya maba dulu, Pemilu Raya di Fakultas Hukum memang jarang berjalan aman sentosa damai sejahtera. Selalu saja ada se su a tu yang terjadi dalam praktik politik kecil-kecilan itu. Saya tidak mau mengambil contoh dari apa yang terjadi sebelum saya jadi mahasiswa Fakultas Hukum. Karena saya tidak bisa mempertanggungjawabkan kebenarannya. Bisa saja saya dikibulin senor saya. Jadi korban doktrin.

Tapi saya ingat dengan jelas, saya dikader oleh 2 pengurusan BEM. Pengkaderan tahap pertama saya dilakukan dalam kepengurusan BEM yang dipimpin oleh seorang Caretaker (jangan tanya saya kenapa bukan Presiden). Sedangkan pengkaderan tahap kedua dan ketiga saya dilakukan di bawah kepengurusan Periode BEM yang baru (kali ini dipimpin oleh seorang Presiden). Presiden BEM yang terpilih melalui Pemilu Raya di tahun pertama saya sebagai Mahasiswa. Saya tidak ikut memilih, saya memilih pergi liburan karena mengira saya, yang waktu itu masih berstatus Mahasiswa Baru yang belum lengkap pengkaderan, belum anggota KEMA belum boleh memilih. Seingat saya konstitusi Keluarga Mahasiswa (KEMA) mengatakan demikian. Ternyata ada yang lebih berkuasa dari Konstitusi. Maba boleh memilih. Sim salabim.

Pada Pemilu Raya di tahun kedua saya sebagai mahasiswa saya mulai ngeh permainan politik Pemilu Raya. Salah satu senior saya yang cukup saya kenal baik menjadi salah satu kandidat presiden BEM. Beberapa teman saya jadi tim sukses. Saya juga diajak untuk jadi tim sukses di angkatan saya. Saya diajak rapat beberapa kali. Saya hanya datang sekali. Selain saya kurang ngerti mereka ngomong apa (karena tidak datang rapat dari awal) saya juga tidak begitu ngeh kenapa kita penting sekali berstrategi ini itu. Ini hanya Pemilu Raya,
pemilu mahasiswa, toh tinggal ikut agenda PPU. Deklarasi pencalonan, paparkan visi-misi, debat kandidat, kampanye lewat media sosial, dan biarkan konstituen menentukan pilihannya. Saya memang orang yang bodoh ber-politik. heuheuheu.

Akhirnya di hari-H malah kacau. Kalo saya tidak salah ingat pemilu raya diadakan 2 hari. Hari kedua situasi panas. Untuk angkatan 2008, angkatan saya, terdapat perbedaan persepsi mengenai daftar pemilih tetap (dpt). Hal ini berawal dari status KEMA bagi angkatan 2008. Apakah hanya mahasiswa dengan pengkaderan yang lengkap yang menjadi anggota KEMA atau cukup mengikuti pengkaderan tahap 1 saja sudah dianggap anggota KEMA. Hal ini terkait dengan pasal dalam konstitusi KEMA yang (pada saat itu) mengatakan:
"anggota KEMA FH-UH adalah Mahasiswa FH-UH yang: (1) telah melulusi seluruh rangkaian Pengkaderan Mahasiswa Hukum (Tahap I, II, dan III); atau (2) Telah melulusi rangkaian pengkaderan dalam satu kepengurusan BEM." Seingat saya begitu bunyinya mengingat saya tidak punya naskah aslinya. hehe
Bagi angkatan saya yang dikader oleh 2 kepengurusan BEM, kami sangat diuntungkan oleh ayat (2) pasal ini. Dan pada akhirnya inilah yang menjadi masalah. Salah satu kubu memperbolehkan seluruh angkatan 2008 memilih, dengan dalil pasal tersebut, sedangkan kubu lain melarang dengan alasan sebaliknya. Sebaliknya yang seperti apa saya tidak tahu. Hahaha.

Intinya karena angkatan saya pemilu raya jadi kacau. Kertas yang berisi DPT dibakar oleh simpatisan salah satu kubu. Beberapa teman saya yang ingin memilih dihalang-halangi, motor-motor dibunyikan dengan gas digeber habis-habisan. Maksudnya apa saya juga ga tau. Mungkin kebawa suasana geng motor. DPT yang dibakar akhirnya diprint ulang. Saat akan diambil untuk dibakar lagi, salah satu dosen saya yang jago karate dengan kerennya menumpukan tangan pada kertas DPT dan berkata "siapa yang berani ambil sini maju." Yang awalnya mau merebut jadi takut kena jurus. Cewek-cewek terkesima dengan mata berbinar-binar. Sampai sekarang adegan itu masih saya ingat dengan jelas. Mirip film kungfu jaman nenek saya masih main lompat tali. hahaha. Hari itu benar-benar drama. Drama politik.

Akhirnya senior saya berhasil memenangkan Pemilu Raya. Tapi kandidat yang satunya juga merasa menang. Dan masa itu diceritakan sebagai masa dimana terdapat dualisme kepemimpinan BEM di FH-UH. Menurut saya penggunaan kata "dualisme" merugikan diri sendiri. Saat salah satu kubu menyatakan telah terjadi dualisme kepemimpinan, artinya secara tidak langsung ia mengakui bahwa ada kepemimpinan lain diluar kubunya. Jika ingin meng-klaim diri sebagai satu-satunya kubu yang menang, jangan pakai kata "dualisme" sekalian. Ah...tapi saya kan hanya orang sok tahu. hehehe. Dan pada akhirnya, BEM pemenang pemilu pun (di)turun(kan) seiring pergantian dekan. Sim salabim.

Pemilu raya tahun ketiga lebih tenang. Kedua calon berasal dari kubu yang sama. Aman.. Tenteram.. Gitu dong.. Damai. hahaha... Saya golput. Jangan protes, itu hak saya.

Dan akhirnya.. kemarin adalah Pemilu Raya tahun keempat. Sangat aman... Sangat tentram... Sangat tenang... Wah ada kemajuan dari tahun-tahun sebelumnya! :)

Akhir kata, di akhir tulisan panjang ini, saya hanya ingin mengucapkan selamat kepada Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih. Bersama anggota DPM yang juga terpilih. Selamat menjalankan amanat rakyat. Selamat berjuang demi rakyat.


dan akhinya, lagi-lagi, saya hanya orang sok tahu yang membahas hal-hal yang tidak penting dari perspektif saya. Saya fakir politik, sebagaimana salah seorang teman saya mengklaim dirinya fakir tv. Saya hanya warga biasa yang menganggap politik sebagai pentas tari anomali. Penari latar bergerak di panggung, penari yang sebenarnya menari di belakang panggung. :)

Dan saya hanya penonton yang sok ngerti. heheh

Karikatur Pemilihan Umum (Bukan Pemilu Raya) diambil dari politikana.com

saya dan organisasi (part 2)

Akhirnya saya punya mood buat lanjutkan salah satu postingan yang (ceritanya) bersambung. Sok-sokan pake kata "part 1" padahal "part 2" nya udah setahun tidak muncul-muncul. Hehehe. Tapi saya mendadak insyaf *alhamdulillah*. Saya akhirnya memutuskan untuk membuat tulisan ini. untuk part 1 nya dapat dilihat disini.

Sebenarnya kalo dipikir-pikir postingan ini ga ada penting-pentingnya. Apa pentingnya saya nulis tentang kehidupan non akademik saya dari TK sampai SMU. Toh saya bukan artis. Saya tidak punya fans yang mau tahu latar belakang kehidupan saya sebelum jadi artis. Alasan utama saya adalah, waktu saya nulis part 1 itu, saya sebenarnya ga tau mau nulis apa. Yang ada di kepala saya saat itu, ya hanya tentang aktivitas saya di luar kegiatan akademik. Dan jadilah tulisan itu. Se-simple itu. Saya jadi ingat kata seseorang: "dalam ngeblog, stop thinking, start acting, start writing!" Jadi ga usah banyak mikir, tulis saja apa yang sedang ada di dalam kepala. Toh blog ini punya saya, jadi mau mau saya dong. hehehe.

Sekolah Menengah Pertama

Nah, berbeda dengan di TK dan di SD, di SMP sudah ada organisasi-organisasi sederhana seperti Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) dan Majalah Sekolah (di sekolah saya namanya Spektrum). Ada juga Pramuka, Marching Band, Klub Fisika/Matematika/Biologi, dan tentu saja OSIS. Saya yang agak-agak alergi dengan hal-hal yang sifatnya agak kaku (memperhalus kata "karya tulis") tidak pernah ada niat sedikit pun buat gabung di KIR. Hahahah. Akhirnya saya ikut Spektrum. Sempat jadi reporter lapangan yang nyari-nyari berita.

Spektrum ini sebenarnya bukan majalah. Hanya artikel yang terbit setiap minggu. Hari Kamis atau hari Senin saya ga ingat lagi. Tapi sudah lumayan oke loh sistem kerjanya. Ada semacam rapat buat menentukan artikel berikutnya kita mau membahas apa. Selama bersama Spektrum saya ingat pernah mewawancarai "orang penting" yaitu: KEPALA SEKOLAH dan KEPALA YAYASAN (karena sekolah saya swasta). hahahaha. Saya ingat banget dulu wawancara kepala yayasan langsung di rumahnya.

20 menit saya cuma dorong-dorongan sama partner saya, Lina, di depan rumah kepala yayasan karena ga ada yang berani ngetuk pintu duluan. Pas wawancara terlaksana, saya dan Lina tidak bisa konsentrasi karena pak kepala yayasan pake celana pendek yang....pendek banget. Hot pants nya nikita willy aja kalah. Setelah wawancara pun di perjalanan pulang saya dan Lina masih ga bisa berhenti ketawa karena mendengar saura kami di walkman rekaman yang bertanya dengan nada canggung campur nahan ketawa. hahaha. Saya juga pernah dapat tugas meliput pertandingan bola antar kelas. Kenapa saya yang seorang wanita? Saya juga ga tau. Sampe sekarang saya masih menyimpan notes yang ada coretan hasil liputan pertandingan itu, yang selalu berhasil buat saya ketawa. Karena ada tulisan Ball Position: 55-45. Jangan tanya saya angka itu dari mana. Hahahaha. Saya akhirnya sadar, saya waktu itu ga cocok jadi wartawan. Saya ga bisa tahan ketawa kalo ketemu narasumber yang aneh-aneh macam Pak Kepala Yayasan. hihihi.

Kegiatan lain yang saya gandrungi jaman SMP adalah: Berkemah. Ck, saya selalu senang tiap dengar kata ini. hehehe. Saya ingat, dulu SMP saya selalu mengadakan kegiatan berkemah tahunan. Semua siswa dari kelas 1-3 boleh ikut. Tempatnya ganti-ganti, tapi hanya terbatas pada 2 tempat: Bumper atau Bumi Perkemahan, yang memang merupakan lokasi yang dikhususkan untuk kegiatan-kegiatan perkemahan. Bumper ini lumayan angker, soalnya di bukit yang terletak di belakangnya terdapat lokasi pekuburan umum untuk warga kota kecil saya, semacam TPU. Tempat yang kedua adalah Enggano Camp, sebuah tempat yang dulunya adalah camp pekerja tambang (kalau saya tidak salah, sekarang difungsikan kembali) yang terdiri dari beberapa bangunan seperti barak-barak dengan kamar. Enggano tidak kalah angkernya. Saya sudah pernah merasakan berkemah di kedua tempat ini. Saya belum pernah mengalami hal-hal mistis, hanya beberapa orang teman yang kesurupan.

Pernah suatu kali, saya diceritakan oleh kakak kelas saya, perkemahan tahunan yang dilaksanakan di Enggano berubah ricuh. Di malam jurit banyak yang bertemu makhluk halus sehingga rute harus dipotong dan jurit diakhiri sebelum waktunya. Malam api unggun pun dipenuhi oleh siswi-siswi yang tiba-tiba kesurupan. Siswa-siswa diinstruksikan tidur di bangunan utama, tidak di tenda untuk mencegah lebih banyak yang kesurupan. Setelah dipulangkan ke rumah ternyata masalah belum selesai. Beberapa siswi ternyata masih mengalami kesurupan di rumah masing masing. Proses belajar mengajar selama seminggu juga tidak efektif. Tiap hari masih saja ada siswi yang jatuh pingsan dan kesurupan. Ck, kalau saya produser atau sutradara, mungkin fenomena ini sudah saya angkat jadi film. Pasti lebih seru dibandingkan hantu-hantuan dengan pemeran wanita berbikini.

Untunglah hal itu terjadi saat saya masih SD kelas 6. Tahun depannya, saat saya kelas 1 SMP, perkemahan diadakan di Bumper. Aman tenteram. Saya beruntung tidak pernah mengalami hal demikian, paling banter setelah pulang berkemah saya hibernasi sehari-semalam (kurang tidur), gatal-gatal (kurang mandi), makan tanpa kendali (kurang makan), dan badan penuh luka (kurang jaga diri). hahaha.

Di kelas 3 (atau 2 saya tidak ingat), sekolah saya membentuk tim marching band. Terpilihlah angkatan saya untuk jadi angkatan pertama team marching sekolah. Saat itu saya ditunjuk menjadi pemain Belyra. Itu loh, alat musik puluk yang memainkan melodi lagi dengan suara ting ting ting. Saya senang sekali bisa jadi pemain Belyra, di angkatan saya, saya pemain belyra satu-satunya. Jadi pemain belyra lumayan susah, harus hapal notasi lagu, harus tahu kapan harus mulai memainkan lagu, harus sesuaikan tempo dengan pemain drum, tapi bagaimanapun, saya senang sekali bisa jadi pemegang belyra pertama di grup marching sekolah saya.

Hal yang paling tidak bisa saya lupakan adalah pencalonan ketua OSIS. Waktu itu saya masih kelas 2 SMP, berarti saatnya angkatan saya yang menjabat kepengurusan OSIS. Dalam pencalonan Bakal Calon Ketua OSIS, ternyata ada yang memilih saya. Walhasil, saya menjadi 1 dari 3 bakal calon ketua OSIS SMP saya. Saya menjadi balon perempuan satu-satunya. Saat itu, sehari semalam saya berpikir keras. Apa untung ruginya jika saya jadi ketua OSIS. Yang jelas kerjaan Ketua OSIS tingkat SMP pasti tidak terlalu banyak. Kegiatan rutin OSIS yang diadakan di sekolah saya saat itu antara lain Lomba Tujuh Belasan, Peringatan Valentine's Day (jangan tanya), Peringatan Hari Olah Raga Nasional dan kadang festival-festival seni antar kelas. Tapi bukan itu yang menjadi fokus utama saya.

Ahirnya saya resmi mengundurkan diri sebelum kampanye dimulai. Kenapa? Saya tidak mau foto saya di poster kampanye jadi korban kebiadaban tangan tangan jahil remaja-remaja tanggung di sekolah saya. Seperti tahun tahun sebelumnya, poster kampanye akan jadi sasaran empuk para seniman kreatif sekolah. Mata dipasangi penutup mata bajak laut, rambut tiba-tiba berubah style menjadi gaya punk, pipi bercodet dan berjerawat, kepala bertanduk, sebut saja. paling apes kalo foto kampanyenya memperlihatkan gigi, tiba-tiba gigi kita hitam-hitam, dari bibir menetes darah, bibir menebal. Belum lagi kalo di atas kepala ditambahi kalimat-kalimat mesum. Ah, beratnya cobaan menjadi pemimpin lembaga intra sekolah. Saya menyimpulkan saya belum siap. Di tahun sebelumnya saya adalah orang pertama yang akan berkeliling mading ke mading menertawai gambar-gambar demikian. Saya belum sanggup menertawakan diri sendiri. hahaha

Selain kegiatan-kegiatan di atas, semasa smp saya juga senang membaca puisi. Saya langganan menjadi pembaca puisi di acara-acara sekolah, seringnya musikalisasi puisi. Sambil menyanyi, bukan main musik. Saya belum bisa main musik. Selain itu saya senang hiking dengan teman-teman. Main tenis di malam hari kalau tidak hujan, yang akhirnya akan berakhir dengan main uji nyali ke tempat-tempat angker.

Masa-masa SMP bisa saya claim sebagai salah satu masa terbaik selama sekolah. Di SMP pula lah saya membentuk geng. Bukan geng nero, bukan. Namanya berganti-ganti, mulai dari Greatiful Dead -yang tidak ada artinya- yang saya ambil dari nama band Grateful Dead (kalo tidak salah) di plesetkan sedikit. Lalu berganti jadi Trixie -lagi lagi tidak ada artinya- yang saya lupa nama itu diambil dari mana. Geng saya masih ada sampai sekarang walaupun personelnya sudah tersebar di mana mana. Saya, Lina, dan Gita di Makassar, Fenty di Jogja, Linda di manado, dan Gina di Bali. Kami berasal dari latar belakang agama yang beragam, Saya islam, Lina dan Gita katolik, Linda dan Fenty protestan, dan Gina hindu. Kami dapat membuktikan bahwa agama tidak pernah jadi hambatan dalam pertemanan. Saat natal, kami ke rumah yang merayakan Natal. Saat Lebaran, mereka ikut berkunjung ke rumah saya, saat Nyepi, kami menghargai Gina dan memberi selamat saat Galungan.

yah...jadi kepanjangan gini. Akhirnya ga muat buat cerita SMU. hehe. Nantilah kalo ada mood lagi. hehehe..

Kamis, 08 Desember 2011

Diskriminasi Diam Diam


Ck...lagi lagi saya akan curhat. Saya ga tau harus menyalahkan siapa. Hujan yang tak kunjung henti kah, sisa sisa memori mengikuti Kemah Menuju Indonesia kah, atau diri saya sendiri yang sepertinya tidak tahan liat hujan dikit aja. Liat hujan dikit aja langsung galau maksudnya. Manusiawi kah? Lebih ke apoloji menurut saya. Hahaha...

Curhatan hari ini tentang diskriminasi. Karena itu judulnya "Diskriminasi Diam Diam". Saya hanya ingin membahas kecendrungan kita untuk diskriminasi terhadap orang lain. Ternyata diskriminasi tidak hanya kita lakukan terhadap orang-orang yang berbeda Ras, Warna kulit, Suku, dll. Tapi juga terhadap orang-orang yang kita anggap berbeda, contohnya terhadap penderita HIV/AIDS. Diskriminasi ini mungkin tidak kita lakukan secara sadar. Mungkin hanya dalam bentuk guyon, atau tulisan pendek sambill lalu, tapi ini benar terjadi. Dan apapun bentuknya, diskriminasi tetap diskriminasi.

Cerita dimulai saat tadi siang buka facebook saya nemu status kakak perempuan saya. Intinya dia merasa sedih, karena menerima Broadcast Massage yang sifatnya mendiskriminasi penderita HIV/AIDS. Bukan hal itu yang membuat saya sedih. Saya sedih membaca komentar seorang facebookers terhadap status tersebut. bunyi komennya kurang lebih seperti ini: "sudah resiko, berani berbuat harus berani bertanggung jawab."

Membaca komentar itu saya sontak sedih bukan main, hampir nangis. Saya tidak mengatakan bahwa komentar tersebut jahat atau bagaimana. Itu hak seseorang dalam ber-media sosial. Saya hanya menyayangkan, harusnya setiap komentar yg dituliskan bisa lebih bijak. Bisa lebih dipikirkan sebelumnya. Bisa lebih simpatik lah setidaknya. Kalau memang tidak setuju, jangan terlalu cepat menghakimi. Toh masih ada pilihan untuk "diam".

Senjata saya mengatakan demikian adalah, tidak semua penderita HIV/AIDS mendapatkan virus tersebut dari perbuatan yang tercela. Tidak semua penderita HIV/AIDS adalah wanita tuna susila, atau orang-orang yang gonta-ganti pasangan, atau pecandu narkoba. Terlepas dari itu, sebenarnya, tidak sepenuhnya salah mereka hingga mereka terinfeksi virus tersebut. Seperti penderita HIV/AIDS yang terinfeksi akibat pemakaian jarum suntik yang berganti-gantian. Banyak alasan seseorang menjadi pecandu narkoba. Beberapa dari mereka berangkat bukan dari kemauan sendiri. Banyak faktor di luar diri seseorang yang dapat menjadikan seseorang pengguna-pecandu narkoba. Entah itu masalah di dalam keluarga, ajakan lingkungan, korban pergaulan, dll. Saya yakin, hampir tidak ada orang yang mau terinfeksi virus HIV/AIDS. Tidak ada orang yang bercita-cita mendapatkan predikat Orang Dengan HIV Aids (ODHA).

Jadi kalimat "berani berbuat berani bertanggung jawab" rasanya kurang etis untuk digunakan. "Terinfeksi virus HIV/AIDS" rasanya bukan bentuk tanggung jawab. Itu mungkin adalah resiko, tapi demi Tuhan, hal itu tidak terdengar sebagai "tanggung jawab".

Saya yakin pendapat seperti si-penulis-komentar di atas masih lazim kita temukan di masyarakat. Memang bukan salah mereka sepenuhnya, pendidikan formal mengenai hal ini masih belum begitu memasyarakat. Tapi saya tetap yakin bahwa selalu ada pilihan untuk lebih bijak menilai suatu masalah. Dan sekali lagi, masih ada pilihan untuk "diam".

Saya ingat dulu saya punya teman yang kakaknya adalah ODHA. Yang membuat saya miris adalah dengan antengnya dia bercerita bahwa keluarganya sudah tidak peduli lagi dengan kakaknya tersebut. Si kakak yang kritis dibiarkan di rumah sakit (masih dibiayai-untungnya) tanpa ada anggota keluarga yang menunggui. Ya Tuhan, kalau mengingat hal itu saya mau menangis (lagi). Hingga hari ini saya tidak berani dan tidak pernah punya nyali untuk menanyakan bagaimana kabar si kakak.

Saya tidak habis pikir, mengapa kita dapat sangat mudah bersifat diskriminan terhadap orang lain. Sifat diskriminan terhadap ODHA tentu saja jarang kita temui dalam bentuk yang terang-terangan. Mengingat mereka cenderung menutup-nutupi dari masyarakat kita yang kejam. Tapi sadar atau tidak, sifat diskriminan masyarakat dapat terlihat pada aspek-aspek lain. Masih belum ada gambaran? Nah, berapa kali kalian mendengan kalimat: "ih sial banget deh hari ini aku se angkot dengan banci" atau "ya ampun, masih pagi udah ketemu banci, bakalan sial nih." Berapa kali? Saya sering. Saya benci kalimat-kalimat seperti itu. Tidak ada relevansinya sama sekali antara ketemu banci dengan nasib sial atau untung. Saya tidak tahu apa dasar mereka berkata demikian.

Hal yang sama akan kita temui saat melihat wanita-wanita dengan cadar atau dengan pakaian serba hitam dari ujung kepala hingga kaki. Saya sering mendengar kata-kata ejekan kepada mereka. Sedih rasanya. Mereka hanya melakukan apa yang mereka yakini. Terlepas dari kita menyetujui atau tidak, apa yang mereka kenakan toh tidak merugikan bagi kita. Jika pun ada yang merasa dirugikan, bersabar selalu lebih baik dari menghujat.

Saya tidak menyangka betapa keras reaksi masyarakat kita terhadap hal hal yang mereka anggap "tidak biasa". Padahal belum tentu yang "tidak biasa" itu "tidak baik". Kita terlalu cepat termakan stereotip. Kita terlalu mudah menghakimi orang lain. Kita terlalu sempit memaknai perbedaan.

Keinginan saya sederhana, jika kita tidak mampu untuk menyetujui, cukup mengerti. Jika kita tidak mampu untuk mengerti cukup bersimpati. Jika kita tidak mampu untuk bersimpati, maka cukuplah kita diam dan simpan pendapat di dalam hati.

if you don't wanna say YES for these questions, do this simple thing: silent. :)
foto ini dipinjam dari www.chip.co.id

Selasa, 06 Desember 2011

Saya dan Kota Itu. Dulu...

Saya dulu senang menonton hujan. Duduk-duduk di tangga rumah, hanya memandang gamang ke tengah hujan. Memandang dengan tatapan kosong namun dengan kepala penuh pikiran. Pikiran berloncatan dari satu hal ke yang lain. Hidup, perasaan, keluarga, Tuhan, teman, negara, apa saja yang bisa terpikirkan. Tidak peduli air hujan mulai bertemperasan membasahi pakaian. Saya siap duduk diam berjam-jam. Tidak perlu ditemani kopi. Cukup hujan. Dan saat hujan mulai reda. Saya merasa lebih bijak beberapa saat. 2 menit mungkin.

Saya dulu senang keluar rumah saat malam cerah. Hanya untuk memandangi bintang. Entah itu di tepi aspal depan rumah saya. Atau atap rumah jika sedang bersama teman saya. Hanya memandang dalam diam. Tidak menghitung, tidak pula mencari-cari satu dari mereka yang tiba-tiba jatuh. Hanya memandang dan lagi-lagi berfikir. Bukan flashback. Hanya berandai andai. Saya akan berhenti jika saya mulai takut. Takut menjadi titik kecil di jagad raya. Pengamatan bintang saya selalu berakhir dengan bergidik memikirkan betapa saya hanya debu kecil alam semesta. Di hari-hari ketika saya lebih pemberani, saya akan berhenti saat bus pengantar karyawan tambang yang shift malam akan melintas. Saya selalu benci diganggu suara kendaraan.

Saya dulu senang berjalan telanjang kaki di pagi hari. Bukan di rumput. Tapi di aspal yang basah karena embun. Siapa bilang embun hanya milik rerumputan? Saya akan berjalan pelan-pelan. Hingga jalan berujung pada tikungan ke kanan. Lalu berbalik. Memandang lama ke arah bukit yang perlahan-lahan ditinggalkan oleh kabutnya. Berpisah diam-diam. Putih, kemudian hijau. Kali ini saya memandang dengan sungguh-sungguh. Tidak berpikir. Membiarkan mata memegang kendali. Saya akan berjalan pulang kembali ke rumah saat bukit tersebut disinari matahari. Perlahan oranye, sedikit keemasan. Saya pulang, saatnya mandi dan ke sekolah.

Saya dulu sering ke tepi danau di subuh yang telah disepakati. Bersama dua orang sahabat. Setelah semalaman menyusun rencana. Bawa kopi, bawa cangkir, bawa air panas. Kami akan berangkat sebelum matahari terbit. Duduk bersila di semacam dermaga. Memandang ke tengah danau, dan berbagi impian. Saya ingin jadi ini, saya ingin jadi itu. Kadang berbaring jika kayu dermaga tidak terlalu basah. Tertawa-tawa bersama. Melihat desa kecil di seberang danau. Melihat lampu-lampu mereka yang perlahan padam. Saat sinar matahari pertama mulai muncul, jika air danau tidak terlalu dingin, kami akan berenang sebentar sebelum pulang. 3 orang berjalan pulang dengan basah kuyup membawa cangkir dan termos.

Saya dulu akan ke halaman rumah di siang yang cerah. Mengangkat sebuah kursi rotan kecil. Mencari tempat yang teduh di bawah bayangan pohon jambu putih, lalu duduk. Memandang ke langit yang biru cerah. Kadang-kadang ada awan yang lewat, berupa-rupa bentuk. Saya hanya akan memandang. Sesekali tersenyum. Saya lupa disaat-saat tersebut memikirkan apa. Mungkin hanya bermimpi bisa terbang. Mungkin hanya mereka-reka bentuk awan. Sesekali ditemani buku. Sesekali memungut bunga jambu putih yang gugur. Warnanya pink cerah. Saat bayangan pohon jambu mulai memanjang dan warna langit semakin memuda, itu tandanya saya harus berhenti. Masuk ke rumah dan mandi.

Saya dulu akan berjalan ke belakang rumah saya di sore hari. Sore yang mending, cerah, tidak masalah. Lagi-lagi bersama dua orang sahabat. Duduk menghadap ke sawah dan danau. Duduk di atas drum yang ditidurkan di atas batang-batang padi tua. Dinaungi entah pohon apa yang jika dilihat dari kejauhan bentuknya menyerupai bebek. Dan pohon bebeklah namanya bagi kami. Bercanda-canda. Memandangi ketinting-ketinting saling silang mengantar petani dari dan ke kebun. Sesekali sampan membelah air danau. Kami bersenang-senang dengan sederhana. Hanya tertawa-tawa lepas mengingat kebodohan diri sendiri atau membangun imajinasi yang sama lucunya.

Saya dulu mudah mendapatkan waktu untuk diri sendiri. Merasa sendiri. Hari ini tidak. Saya tidak tahu harus kemana jika ingin merasa sendiri. Semua tempat terasa ramai. Saya sedikit terhibur oleh angkutan umum. Sesekali saya bisa merasakan benar-benar sendiri di angkutan umum. Cukup duduk, menengok ke luar jendela, dan mengamati. Kadang rasanya saya benar-benar sendiri. Walaupun rasanya masih salah.

Saya hanya bisa merasa sendiri di kota itu. Kota kecil yang indah luar biasa itu. Kota dengan danau yang sangat jernih itu. Kota dengan tempat-tempat ajaib. Kota yang saat saya akan ke sana saya selalu menggunakan kata "pulang". Padahal saya tidak lagi punya rumah di sana. Karena pulang artinya kembali ke tempat yang kau inginkan.

Ini bukan melankoli dan romantisme terhadap seseorang di kota itu. Ini melankoli dan romantisme terhadap "kota itu" itu sendiri. Hari ini saya terpikir untuk membagi kota ini dengan dia. Dia yang mulai menularkan melankoli dan romantisme yang hampir sama walaupun masih kalah. Mungkin suatu hari saya dan dia akan kesana. Menemukan diri masing masing baru kemudian menemukan satu sama lain. Kota itu dan dia harus bersekutu terlebih dahulu. Seperti saya yang telah menjatuhkan cinta pada kota itu. Pada hujannya, pada bukitnya, pada danaunya, pada bintangnya. Mungkin suatu hari.

Saya rindu tempat ini...
Foto ini diambil dari penataanruang.net

Minggu, 04 Desember 2011

Saya lagi Galau. Lalu?

Hari ini saya terserang sesuatu yang kata anak jaman sekarang GALAU. padahal, perasaan galau ini udah dari jaman kapan hinggap di manusia. kenapa baru booming sekarang? saya juga tidak tahu. intinya, rasanya kata galau ini lebih akrab di telinga kita akhir akhir ini. tapi, rasa galau udah berakar di hati kita dari jaman SMP. hahaha

kemarin saya sempat ngutak ngatik FB yang sudah lama tidak saya acuhkan. dan tiba-tiba, ketemulah tulisan berupa notes saya. yang kurang lebih, sangat.......galau. hahaha

simak aja dulu, nanti akan saya bahas sedikit. ini dia:

cerita orang2 yang pergi..


by Radillah Khaerany Tanca on Monday, September 21, 2009



walaupun tulisan ini sama sekali tidak penting.
stidaknya saya akhirnya dapat memulai kebiasaan lama yang dengan "sengaja" dulu saya tinggalkan.

cerita tentang orang2 yang pergi..

pernah merasa ditinggalkan seseorang?
mungkin 'pernah'. 'pasti pernah'.atau tidak ingin mengaku 'pernah'.
yang jelas saya pernah. saya pernah merasa ditinggalkan seseorang. atau beberapa orang.

mengapa hanya merasa? bukankah orang itu memang "pergi"

iya. benar orang itu "pergi". tapi sebenarnya (setidaknya menurut saya) tidak.
orang2 yang saya anggap meninggalkan saya tidak pernah pergi.
mereka masih ada.

mereka hanya memilih untuk tidak memandang ke arah kita,
kita tidak bisa memandang ke arah mereka,
atau pandangan kita dan mereka tidak lagi tertuju ke hal yang sama.

mungkin sedikit absurd (bahkan untuk saya yang notabene penulis note ini).
tapi, saya sering mencermati..pergi atau ketiadakpergian, meninggalkan atau ditinggalkan, semua hanya masalah pandangan.

pandangan ini meniadakan kita dari mereka.
saat kita masih memandang mereka dan mereka memilih untuk tidak memandang kita.
saat itulah kita merasa ditinggalkan.

jadi...saat beberapa teman mengatakan "dia meninggalkan saya"
menurut saya tidak.

dia, orang2 yang kita anggap pergi, hanya melakukan hal kecil.

"mereka memilih untuk tidak lagi memandang ke arah kita..."


setelah saya baca lagi. entah kenapa rasanya lucu bercampur aneh. tulisan ini saya buat di tahun 2009. saya mulai flashback, emang saya ditinggalin sama siapa ya waktu itu? saya tidak berhasil mengingat apapun. hahaha..


selain itu, hal yang lucu buat saya adalah note ini sok filosofis. sok dramatis. padahal waktu saya baca ulang, saya malah ga terlalu bisa menangkap maksudnya. yah... begitulah anak muda yang lagi galau kayaknya. banyakan ngelanturnya daripada mikirnya.


tapi dibalik semua hal-hal kritikal yang nyangkut di kepala saya, tiba-tiba saya tersadar dengan 1 hal. dulu, waktu istilah galau belum se-populer ini, saya rasanya lebih gampang mengungkapkan sesuatu. mau itu melankolis, menye, atau apapun itu, saya merasa dulu saya lebih mudah mengungkapkannya. sekarang? ck, karena adanya istilah galau, sedikit demi sedikit saya mulai menarik diri dari menulis seuatu yang bersifat perasaan. kenapa? takut dikatain galau. ironis. ironis kenapa saya juga ga tau.


karena note ini akhirnya saya sadar. saya bebas mau nulis apa saja selama itu tidak mengganggu orang lain. mau galau, melankolis, dramatis, apapun itu. itu hak saya. hak kalian juga. saya tidak boleh berhenti hanya karena asumsi dan cap orang lain. agak-agak nyambung dengan quotes nya Bill Chosby:

"I dont know what the secret of being success, but i know the secret to not success is trying to pleased everyone."



Kamis, 01 Desember 2011

Belajar dari Transportasi Umum

sebenarnya ngantuk banget, tapi mumpung lagi ada ide di kepala, yah... baiknya ditulis aja dulu deh kayanya. soalnya saya orangnya gampang lupa sih.. *padahal ga ada yang nanya*

nah, hari ini saya mau nulis dikit tentang transportasi umum. sejak kecil sampai sekarang, bisa dikatakan saya cukup familier dengan transportasi umum. maklum, keluarga saya bukan keluarga kaya yang punya kendaraan pribadi. waktu saya kecil, kelarga saya hanya punya motor vespa, baru kemudian saat bapak saya pensiun, beliau memutuskan untuk membeli mobil bekas.

buat orang yang sering menggunakan transportasi umum, pasti banyak suka dukanya deh. ya mulai panas-panasan, desak-desakan, bau yang ga enak, dll. tapi bukan itu yang mau saya ceritakan.

jadi gini, minggu lalu, saya berkesempatan mengikuti kegiatan yang diadakan di Jakarta. lazimnya, kalo ikut kegiatan demikian, panitia akan menyediakan transportasi buat pesertanya, mau itu bus atau mobil. tapi kali ini berbeda. kita harus naik transportasi umum. yep, transportasi umum. hahahaha

masalahnya, transportasi umum di makassar itu simple banget. nyetop pete-pete (angkot), tanya apa jalurnya udah bener, naik, minta diturunin di tempat tujuan, ato tempat yang ada becaknya, beres deh. tapi ini jakarta, transportasi umumnya macam-macam dan membingungkan. dan kadang....menyesatkan.

tapi ada pelajaran besar yang saya ambil dari pengalaman saya ber-busway dan ber-kopaja dan ber-bus beberapa hari ini di Jakarta. waktu itu, saya lagi naik bus yang super padat, yang mengharuskan saya berdiri sepanjang perjalanan. saya tersadar, naik transportasi umum itu membantu saya untuk mengerti rasanya hidup susah. bagaimana panas-panasan, sempit-sempitan, dorong-dorongan. banyak orang yang berbicara tentang penderitaan rakyat, tapi tidak merasakan penderitaan itu sepenuhnya. bukan hanya anggota DPR loh ya. tapi siapa saja. coba deh, yang sehari-hari naik kendaraan pribadi, semiggu aja naik kendaraan umum. pasti bakal dapat pengalaman baru. bukan hanya perasaan yang sifatnya personal tapi juga pengalaman mendengarkan dan menaksikan cerita-cerita sehari-hari orang lain.

saya paling senang kalo lagi di kendaraan umum, trus ketemu ibu-ibu bersama anaknya yang masih balita. entah kenapa, kadang saya rasanya terharu sekali melihat betapa si ibu berusaha membuat anaknya nyaman di dalam angkutan umum. biasanya si anak dikasi snack-snack ber-msg yang banyak dijual di toko-toko. di hari-hari biasanya, si ibu melarang anaknya makan cemilan seperti itu. bukan karena tau msg memiliki pengaruh buruk untuk si anak, tapi karena pengalaman buruk cemilan ber-msg biasanya bikin si anak mudah bisul. tipikal penyakit kalangan bawah. tapi untuk sekali ini, si anak boleh makan semaunya, biar si anak nyaman, tidak merasa terganggu dengan lingkungan penuh orang asing berupa transportasi umum.

pernah juga saya bertemu segerombolan ibu-ibu yang lagi bercerita tentang pendaftaran anaknya di SD tertentu. salah satu ibu dengan menggebu-gebu bercerita kalau anaknya tidak bisa daftar SD tahun itu karena usia si anak belum cukup 7 tahun. padahal, kata dia pendaftar lain banyak yang curang. sama-sama belum cukup 7 tahun, tapi boleh mendaftar karena kebetulan punya kehidupan ekonomi yang lebih baik. si ibu menyesal kenapa kemarin-kemarin dia tidak lebih dulu memajukan bulan kelahiran di akta kelahiran anaknya biar umurnya bisa pas buat daftar sekolah. curi umur lah istilahnya. saya cuma bisa diam. sedikit mengumpati sistem yang diskriminan dan menuntut para orang tua berbuat curang. curang biar anaknya bisa cepat sekolah. cepat pintar.

setelah sedikit flashback ke belakang saya tiba-tiba sadar kalo transportasi umum sudah mengajari saya lebih bayak dari mobil bapak saya. saya ga tau bagaimana dengan orng lain. niat saya menulis ini hanya untukberbagi bahwa transportasi umum bukan hanya sumber kemacetan. transportasi umum juga sumber pelajaran kehidupan.