Sabtu, 20 Oktober 2012

Hargai Pendidikan, Belajarlah dari Malala

Malala Yousufzai.

Kenalkah anda dengan nama di atas? Saya tidak akan heran jika anda belum mengenal nama tersebut. Saya pun mungkin tidak akan tahu siapa Malala dan bagaimana kisahnya jika tidak membaca twit dari seseorang yang saya follow di twitter beberapa waktu lalu. Saya lalu mencari tahu lebih banyak tentang Malala melalui mesin pencari di internet, dan menemukan banyak sekali informasi mengenai gadis ini.

Militan Pakistan Tembak Aktivis Remaja Putri Pakistan. Pada tanggal 9 Oktober kemarin, Malala ditembak oleh seseorang bertopeng pada saat pulang sekolah dengan menggunakan bus. Si penyerang menanyakan siapakah diantara para siswa yang bernama Malala dan mengancam akan menembak semua siswa jika tidak ada yang mengaku. Akhirnya Malala mendapat tembakan di kepala dan di leher, sementara dua siswa lain ikut terluka akibat penembakan tersebut. Mengapa Malala ditembak?

Ternyata Malala bukan gadis biasa. Sejak tahun 2009 ia telah memulai pergerakan untuk menuntut haknya yang paling dasar: pendidikan. Pada saat itu, milisi Taliban mengeluarkan peraturan yang melarang televisi, musik, pendidikan bagi anak perempuan, dan berbelanja bagi wanita. Akibat perintah tersebut, banyak sekolah khusus perempuan yang ditutup. Beberapa sekolah yang ditutup bahkan kemudian dihancurkan. Malala mempertanyakan hal ini. Dengan bantuan reporter BBC untuk Pakistan, Malala mulai menulis tentang hidup dibawah tekanan Taliban dengan menggunakan nama samaran "Gul Makai". Tulisan Malala inilah yang pertama kali membuatnya banyak dikenal.

Ia tidak berhenti hanya pada tulisan. Ia kemudian mulai muncul di televisi untuk memperjuangkan pendidikan bagi perempuan. Selain itu, ia juga aktif berpartisipasi pada kegiatan-kegiatan yang mendukung pendidikan di negaranya. Pada puncaknya, ia dinominasikan sebagai penerima International Children's Peace Prize pada Oktober 2011.

Taliban secara terbuka mengklaim serangan tersebut merupakan perbuatan mereka. Malala dicap sebagai pro-Barat, yang maka dari itu harus dibunuh.

Aktivis Remaja Putri Pakistan yang Terluka Dikirim ke Inggris. Saat ini Malala sedang memperoleh perawatan di Inggris, dan dikabarkan kondisinya semakin membaik. Sedangkan di Pakistan sendiri, dukungan bagi remaja pakistan terus mengalir, namun Taliban masih ditakuti. Masyarakat turun ke jalan memprotes penembakan Malala, tapi para politikus tidak berani mengambil langkah lebih jauh karena takut menjadi sasaran Taliban yang berikutnya.



Terlepas dari kondisi politik dan kebijakan nasional Pakistan yang menjadi negara tempat Malala tumbuh, kisah Malala seharusnya dapat mengingatkan kita pada satu hal: Pendidikan itu harganya "mahal".

Bagi sebagian kita yang dapat mengakses pendidikan dengan mudahnya tidak pernah menyadari bahwa pendidikan itu mahal. Dan "mahal" bukanlah semata-mata tentang angka. Mahal dapat berarti sulitnya mencapai sekolah jauh dari rumah. Mahal dapat berarti jembatan yang hampir putus yang harus diseberangi saat ke sekolah. Mahal dapat berarti seragam yang tidak dapat dibeli oleh orang tua. Mahal dapat berarti tidak ada guru datang ke sekolah. Mahal dapat berarti tidak ada pendidikan sama sekali untuk perempuan. Mahal dapat berarti hak mu untuk mendapatkan pendidikan tidak bisa kau miliki. Pendidikan itu mahal.

Maka bersyukurlah saat perjalananmu ke sekolah mudah dan tanpa hambatan. Bersyukurlah jika satu-satunya yang harus kau khawatirkan saat ke sekolah adalah mungkin kau akan akan terlambat. Bersyukurlah saat gurumu masih mau berbagi ilmunya walaupun ia galak. Bersyukurlah kau bisa ke sekolah tidak peduli gender mu apa. Karena di belahan bumi yang lain, ada yang benar-benar memperjuangkan hak mereka untuk memperoleh pendidikan. Malala Yousufzai memperjuangkan hak untuk memperoleh pendidikan dan ia ditembak karena perjuangannya tersebut.

Pendidikan adalah salah satu hak dasar yang wajib dijamin terpenuhinya oleh pemerintah. Rights to a Free Education adalah salah satu hak dasar yang merupakan turunan dari HAM generasi kedua yang diperkuat dengan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights. Sudah sepantasnya lah negara menjamin hak untuk memperoleh pendidikan diperoleh oleh warganya.

Jika dibandingkan dengan Indonesia, sudah sewajarnya jika kita bersyukur bahwa negara membuka pintu bagi masyarakat untuk memperoleh pendidikan. Tapi bukan berarti kita tidak memiliki pekerjaan rumah di bidang pendidikan. Hal yang menjadi perhatian besar pada pendidikan Indonesia saat ini adalah tawuran antar pelajar. Sungguh memalukan jika pelajar kita masih melakukan tawuran yang pada akhirnya memakan korban.

 Bukankah ini sebuah ironi? Di saat seorang Malala hampir saja terbunuh karena berani menyuarakan tuntutannya untuk memperoleh pendidikan, pelajar Indonesia malah menyerang sesamanya hanya karena berbeda sekolah. Mungkin sebaiknya kisah tentang Malala ini disebarluaskan di kalangan pelajar, agar menjadi pelajaran bahwa bagi sebagian orang, pendidikan itu tidak murah. Maka berhentilah memerangi sesama dan bersyukurlah kita tidak memperoleh dua butir peluru hanya karena ingin sekolah.

Kamis, 04 Oktober 2012

When Life Gives You Lemon! ;)

When life gives you lemon, make lemonade.
Inti dari quotes ini adalah saat kau merasakan hal-hal yang tidak menyenangkan dalam hidupmu, buatlah itu jadi menyenangkan. Seperti dari lemon yang asam menjadi lemonade yang manis dan menyegarkan. Itu kata quote.

Beberapa orang memodifikasi quote ini menjadi
When life gives you lemon, make lemonade. 
Or squeeze it in people's eyes. 
Kalimat tambahannya, or squeeze it in people's eyes, kurang lebih berarti "peraslah di mata orang-orang". Sisi jahat diri saya menafsirkan kalimat tersebut sebagai ajakan untuk mengajak orang lain merasakan yang saya rasa, seperti membuat mereka merasakan apa yang saya rasa.

Hidup memang tidak selamanya manis, selalu ada hal yang mengingatkan kita bahwa hidup itu "nyata" bukan mimpi. Beberapa dari kita mungkin tengah bingung menentukan masa depan. Beberapa malah bingung memandang masa lalu. Ada komplikasi yang terus menerus meneror. Judul tugas akhir yang belum bersedia bertamu ke kepala, atau skripsi yang belum bersedia pula berpindah dari kepala ke ujung jari yang lincah. Selalu ada hal merisaukan kita.

Tapi hidup memang tetap berjalan, tidak peduli kau begitu lelah bekerja atau begitu lelah memposkan hal-hal yang tidak penting pada akun twittermu. Hidup masih dengan semangatnya memperlakukanmu sesuai caranya. Kau ditempa dengan kuat, agar kau terbentuk menjadi pribadi yang kuat pula. Masalah datang menamparmu dengan keras, agar berikutnya saat ia datang, pipimu sudah tidak selemah sebelumnya. Saya selalu memotifasi diri saya agar melihat masalah sebagai hal yang akan menguatkan saya.

Tapi kadang memotifasi diri tidak semudah biasanya. Setiap orang punya batas mereka masing-masing, jadi saat lemonmu tidak dapat kau racik menjadi lemonade yang manis, cukup peraskan ia ke mata orang-orang. Beberapa masalah memang tidak untuk ditangani sendiri, mungkin harus ada orang yang ikut merasakannya. Agar kita dapat dewasa bersama. Mata mereka akan pedih karena asam dari lemon, maka menangislah bersama. Beberapa hal terlalu berat untuk ditangisi sendiri.

Ah, akhirnya saya jadi meracau tidak jelas :)

Here, some other advice:
You know, you can always run.

In case lemonade didn't help you much. Hehe


Good advice, the cat's unhappy and full of desire to scratch your face.


The Best One! Sometimes, you just have to get mad and throw all the lemons to your enemies ;)

Jumat, 28 September 2012

Absurditas Jumat Malam

Saya pernah membaca, entah dimana, kalau semakin tua manusia akan merasakan waktu terasa berjalan lebih cepat. Salah satu alasannya adalah, karena kita banyak mengulang rutinitas sehari hari. Cara agar waktu terasa tidak berlalu terlalu cepat adalah dengan berusaha mempelajari hal-hal baru setiap harinya Katanya seperti itu. Saya pribadi juga berpendapat demikian.

Sebagai pengangguran berstatus mahasiswa yang sedang menunggu skripsi diperiksa oleh pembimbing yang sedang ke luar negeri *eh jadi curhat*, hari-hari saya jadi cukup monoton. Sesuai dengan teori di atas, rasanya waktu berjalan cepat. Tanpa terasa sudah weekend lagi, weekdays nya tidak terasa. Inginnya sih tiap hari ada hal tertentu yang bisa jadi pengingat tentang hari itu. Misalnya, saya ingat senin saya habiskan dengan ke kampus lalu rental buku. Kamis, saya ke rental buku dan pegawainya telat datang dan akhirnya saya pulang tanpa bawa buku baru, lalu Jumat, hari ini. Ini dia..

Hari jumat ini biasa-biasa saja rasanya. Rutinitas saya masih seperti hari-hari yang lain. Bangun, bersih-bersih rumah, main sama ponakan, mandi, makan lalu menulis, tidur siang, main sama ponakan lagi, lalu malamnya menulis lagi. Tapi hari ini berbeda. Entah bisikan syaiton darimana, saya tiba-tiba gila mau online pake laptop. Padahal sudah beberapa minggu saya berhasil bertahan tanpa internet, tanpa 9gag, tanpa main-main ke blog orang. Lumayan puas dengan buku dan menulis. Tapi, begitulah penyakit saya jika sedang punya uang, bawaannya mau foya-foya. *istigfar*

Akhirnya dengan semangat 45 saya naik motor ke konter pulsa. Niatnya mau beli perdana smartfren, karena setelah mencoba modem smartfren kakak saya, jaringannya lumayan oke di daerah rumah saya. Tapi saya tidak mau terus-terusan pinjam modem, maunya saya punya smartfren sendiri. Sip lah. Ternyata, kebodohan saya yang pertama adalah tidak tahu kalo smartfren adalah provider CDMA, sementara modem saya GSM. Tapi karena saya sudah capek-capek minjam motor dan sudah kepalang keluar rumah, saya lalu berpikiran untuk beli perdana GSM lain. Saya sudah pernah pake Telkomsel, daaan.. pulsa saya sering ketilep. Lalu saya juga pernah pake IM2, daaaan... isi pulsanya agak ribet. Mau pake XL tapi jaringannya kurang baik di rumah saya. Akhirnya saya beli perdana 3 yang harga 35ribu. Kata kakak penjaga konter, bisa dipake buat setahun, dan seterusnya... dan seterusnya... Termakan bujukan penjaga konter, akhirnya saya beli. Sampai di rumah, ternyata saya syok membaca petunjuk registrasi yang katanya harus didaftarkan oleh penjual resmi. Berhubung saya bukan penjual resmi, kartunya tidak bisa diaktifkan. Atau saya yang terlalu bodoh untuk mengaktifkannya.

Karena malu mau pinjam motor lagi, saya akhirnya memutuskan balik ke konter pulsa naik... SELI alias Sepeda Lipat. Sepeda lipat punya kakak saya yang sudah dihibahkan, dan seringnya dipake ke pasar sama mamak saya. Dan terjadilah gowes tidak jelas saya demi berburu sesuatu yang bisa digunakan untuk mengakses internet.

Untungnya kakak penjaga konter mau-mau saja menerima perdana 3 nya saya kembalikan. Saya awalnya hanya bilang,
"Mbak, ini kartunya ndak bisa." Terus, dia menjawab: "Oh, Ndak bisa Connet?"
Tidak, saya tidak sedang salah tulis. Kakak penjaga konter memang tidak melafalkan Connect dengan "konek" melainkan "konet". Sudahlah, mari kita tinggalkan urusan okkots kakak penjaga konter. Intinya dia baik, karena membolehkan saya mengembalikan perdana 3 yang tidak bisa konet. *aduh*

Karena tidak enak hati, saya membeli kartu perdana smartfren yang seharga 7000, siapa tau tiba tiba modem saya bisa membaca kartu CDMA. Uang saya dikembaikan 28.000. Saya lalu lanjut naik sepeda lagi. Mencari voucher Smartfren 50.000 untuk isi ulang.

Sayangnya, malam ini, cari voucher Smartfren 50.000 seperti mencari jarum di tumpukan jerami yang ditumpuk di kutub utara. SUSAH! Sepanjang Ablam hampir semua toko yang menjual pulsa saya datangi. Hasilnya, HABIS. Sepertinya telah terjadi penimbunan voucher Smartfren 50.000 untuk mengantisipasi kelangkaan voucher menjelang Idul Adha. Saya sudah sampai di ujung Ablam, menimbang-nimbang haruskah saya lanjut ke Pettarani atau balik pulang. Tapi saya tidak mau pulang tanpa voucher. Akhirnya saya lanjut bersepeda di Pettarani. Tetap tidak ada voucher. Saya lalu berbelok ke Maccini sambil berdoa mudah-mudahan preman daerah situ lagi insaf malam ini.

Malihat Alfamart, saya ragu. Mau beli voucher di dalam, tapi takut markir sepeda. Takut hilang. Tapi petugas toko yang lagi istirahat bilang kalo di dalam ada Voucher yang saya cari. Untungnya anak-anak yang  juru parkir depan situ kayaknya baik. Malah rebutan mau menjagakan sepeda saya. Masuklah saya, menunggu di antrian sambil lirik-lirik sepeda saya di parkiran. Sempat lirik cermin dan malu sendiri karena saya dengan santainya belanja dengan baju rumah yang lebih pantas jadi kain lap. Daaaan... ternyata vouchernya tidak ada. Aaaaarghh! Mana pegawai yang tadi bilang ada!

Keluar Alfamart, anak-anak yang jaga sepeda saya secara mengejutkan tidak memita uang parkir krena katanya saya tidak beli apa-apa. Tapi akhirnya saya kasih juga karena terharu.. Atau jangan-jangan mereka sengaja ya? Hehehe.

Akhirnya saya memutuskan pulang. Pencarian voucher nya bisa dilanjutkan besok saja mungkin. Lumayan dingin juga naik sepeda pake baju kaos tua. Sebelum masuk jalan rumah saya, eh ada konter hape. Iseng-iseng saya singgah dan bertanya. Daaaan.... Vouhernya ada! Ah, sialan. tau begitu dari awal saya singgah ke sini dulu. Tidak perlu naik sepeda mutar jauh-jauh. Tapi ya... kalau tidak begitu, Jumat saya jadi tidak berkesan. Jadi, ya alhamduliah saya masih bisa nemu voucher itu. Jadi bisa online dan menulis kegiatan tidak penting seorang pengangguran berstatus mahasiswa yang lagi menunggu skripsinya diperiksa pembimbing yang lagi ke luar negeri.

Oh, iya. jadinya saya tetap pinjam modem smastfren kakak saya. Hehe.

Jumat, 07 September 2012

Menyelamatkan Bahasa yang Terancam Punah

Halo! Nah, akhirnya saya ada kemauan untuk menulis lagi setelah disibukkan dengan urusan ini itu. Heheh. Hari ini saya mau bercerita tentang bahasa-bahasa yang terancam punah. Silahkan menyimak! :)

Pulang kampung pada Idul Fitri kemarin berhasil bikin saya berpikir betapa saya tidak fasih berbahasa asli kampung bapak saya. Selama berada di kampung bapak saya semuanya menggunakan bahasa Duri. Saat ada yang ngajak saya ngobrol, saya hanya bisa mengerti sedikit-sedikit tapi tidak bisa menggunakannya dengan fasih. Istilahnya, saya hanya menguasai bahasa Duri secara pasif. Padahal baik bapak maupun mamak saya fasih berbahasa Duri.

Hal yang sama saya yakini juga terjadi pada sebagian besar kaum urban. Hidup di kota yang berpenduduk heterogen sedikit demi sedikit menjauhkan bahasa daerah dari lidah. Yang digunakan kemudian adalah bahasa Indonesia berdialek kota setempat. Seperti di kota saya, Makassar, yang digunakan adalah bahasa Indonesia dengan dialek Makassar yang menurut kuping teman saya yang berasal dari Jawa, bernada tinggi. Bagi masyarakat kota yang merupakan generasi awal urbanisasi, seperti orang tua saya, berbahasa daerah bukan masalah. Bahasa daerah merupakan bahasa sehari-hari mereka, sedangkan Bahasa Indonesia dipelajari kemudian di bangku sekolah. Bagi kami yang dibesarkan di kota, Bahasa Indonesia digunakan sehari-hari, sedangkan bahasa daerah dipelajari kemudian di sekolah (-sekolah tertentu).

Berkurangnya pengguna bahasa daerah tentu akan berdampak bagi kelangsungan bahasa tersebut. Eksistensi dari berbagai bahasa inilah yang kemudian menjadi problem di seluruh dunia. Banyak bahasa di seluruh dunia yang terancam punah. Penyebabnya? Bisa bermacam-macam. Berikut beberapa di antaranya:

1. Urbanisasi

Peningkatan angka perpindahan penduduk dari desa ke kota berdampak pada penurunan angka pengguna bahasa daerah. Mengapa? Karena dalam interaksi masyarakat urban yang heterogen, bahasa yang digunakan adalah Bahasa Indonesia. Lambat laun bahasa daerah semakin jarang digunakan. Rumah seharusnya dapat menjadi tempat dimana interaksi digunakan dalam bahasa daerah, tapi perkawinan antar etnis kemudian menjadi penghalang. Karena akan timbul dua bahasa daerah yang berbeda. Selain itu banyak orang tua yang memilih mengajarkan anak mereka berbahasa Inggris daripada berbahasa daerah. Alasannya? Untuk mempersiapkan si anak menghadapi era globalisasi.

Dalam data yang dikeluarkan oleh PBB sesuai grafik di atas, dapat dilihat bahwa pertumbuhan populasi urban berlangsung sangat cepat. Populasi masyarakat urban yang meningkat diikuti dengan populasi masyarakat desa yang mengalami penurunan. Menurut data PBB ini pula, proporsi masyarakat urban Indonesia ternyata lebih tinggi dari proporsi masyarakat urban di benua Asia dan Asia Tenggara. 

Tingginya angka urbanisasi yang berdampak pada terancamnya eksistensi bahasa daerah inilah yang membuat Kepala Bidang Peningkatan dan Pengendalian Bahasa Badan Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional, Sugiyono menyatakan bahwa di penghujung abad 21, hanya tinggal 10% bahasa daerah yang akan bertahan. Hal ini dijelaskan pada artikel VOA yang berjudul Jarang Digunakan Ratusan Bahasa Daerah di Indonesia Terancam Punah. Dari 746 bahasa daerah di Indonesia, diperkirakan dalam 100 tahun mendatang akan tersisa hanya 75 bahasa. 

2. Televisi



Televisi mau tidak mau menjadi salah satu faktor yang menyebabkan punahnya bahasa daerah. Program televisi yang merupakan produk nasional tentu saja menggunakan bahasa Indonesia. Banyak tayangan yang menjadi tontonan favorit keluarga bahkan dibawakan dengan bahasa yang lazimnya digunakan di Ibukota Jakarta. Bayangkan anak di desa Baraka yang sehari hari berbahasa Duri menonton tayangan sinetron yang menyapa "saya-kamu" dengan "lu-gue". Televisi telah mengajarkan bahwa ada alternatif lain dari "aku'-iko" yaitu "lu-gue" yang jika dilihat dari penggunanya, jauh lebih menarik dari mereka yang hidup di desa.

Menurut Komisi Penyiaran Indonesia, waktu yang dihabiskan oleh anak untuk menonton TV lebih besar dari waktu yang ia gunakan untuk sekolah. Dalam sehari, seorang anak dapat menghabiskan 4 hingga 5 jam di depan TV, yang berarti sekitar 30 hingga 35 jam sehari atau 1600 jam setahun. Dua kali lipat dari waktu yang dihabiskan di sekolah yaitu sekitar 740 jam setahun.

Besarnya waktu yang dihabiskan anak di depan televisi dianggap turut berdampak pada rendahnya penggunaan bahasa daerah oleh anak. Bahasa yang kemudian menjadi familiar di telinga anak-anak adalah bahasa yang mereka dengar di TV.

3. Kebijakan Pemerintah

Pada sebuah Seminar Nasional bertopik "Pengembangan dan Perlindungan Bahasa, Kebudayaan Etnik Minoritas untuk Penguatan Bangsa" yang diadakan oleh LIPI pada Desember 2011, dikatakan bahwa salah satu yang menjadi penyebab percepatan kepunahan bahasa daerah adalah kebijakan pemerintah. Mengapa kebijakan pemerintah?

Berbagai kebijakan pemerintah dianggap mengancam eksistensi bahasa daerah. Contohnya, kebijakan pendidikan agar sekolah-sekolah beralih dari pelajaran bahasa daerah menjadi bahasa asing semisal bahasa Jerman atau Mandarin. Selain di bidang pendidikan, kebijakan pemerintah berupa pemekaran wilayah juga dianggap sebagai salah satu penyebab punahnya bahasa. Seperti bahasa Tandia di Papua Barat. Bahasa ini dinyatakan punah setelah melalui penelitian di awal tahun 2011 ditemukan bahwa tidak ditemukan lagi penutur bahasa ini. Salah satu faktor penyebabnya adalah lebih dominannya bahasa Wandamen dari suku Wamesa sebagai bahasa sehari-hari. Hal ini disebabkan setelah pemekaran Papua Barat, Teluk Wondama menjadi pusat keramaian daerah tersebut. Mau tidak mau, suku Mbakwar harus menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut dan sedikit demi sedikit meninggalkan bahasa Tandia. 

Menyelamatkan Bahasa yang Terancam Punah

Ancaman punahnya bahasa bukan hanya milik Indonesia. Secara global hal ini telah menjadi perhatian. Gerakan melestarikan bahasa bermunculan dari berbagai pihak. Di dalam negeri, terdapat kamusiana.com yang bersemboyan Kamus Bahasa (di) Indonesia. Situs ini memuat kurang lebih 19 kamus bahasa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia.

Di Amerika Serikat,  para pakar bahasa juga menggunakan media internet sebagai sarana pelestarian bahasa yang terancam punah. Hal ini diungkapkan pada artikel VOA yang berjudul Pakar Bahasa AS Lestarikan yang Hampir Punah dengan Kamus Online. Para pakar bahasa di Amerika Serikat tidak hanya berusaha melestarikan bahasa yang hampir punah, tetapi juga bahasa yang telah benar-benar mati seperti bahasa Indian Algonquian Virginia. Bahasa ini direkonstruksi pada film "The New World" pada tahun 2005. Usaha linguis AS ini diceritakan pada artikel Linguis AS Hidupkan Lagi Bahasa-Bahasa yang Telah Mati. Para linguis sedang berusaha berusaha untuk melestarikan berbagai bahasa tidak hanya untuk tujuan akademis.


Sebagai masyarakat dunia kita juga diajak untuk melestarikan bahasa kita. Melalui situs www.endangeredlanguages.com kita dapat memberi kontribusi dengan menyumbangkan pengetahuan kita mengenai bahasa yang dikategorikan sebagai bahasa yang terancam punah. Situs ini membuka kesempatan bagi siapa saja untuk memasukkan contoh bahasa daerah tersebut atau hal-hal lain yang berhubungan dengan bahasa tersebut. Situs ini bertujuan untuk menginventarisir bahasa-bahasa yang digunakan kaum minoritas di seluruh dunia. Berikut adalah peta persebaran bahasa yang terancam punah di Indonesia menurut www.endangeredlanguages.com.



Kesadaran warga dunia akan pentingnya bahasa membuka mata kita semua bahwa punahnya bahasa dapat membawa kerugian yang besar. Hilangnya bahasa berarti hilangnya potongan sejarah dan budaya yang berharga dari suatu daerah. Jadi, mari melestarikan bahasa daerah kita :).

Jumat, 17 Agustus 2012

Indonesia

Halo! Dirgahayu Republik Indonesia yang Ke-67!!

Postingan saya hari ini pastilah tidak jauh-jauh dari peringatan hari ini. Tapi mau berkata-kata putis manis pembangkit nasionalisme kok rasanya aneh yah. Sedang tidak sesuai dengan mood. Heheh. Saya mau cerita dikit aja deh.

Saya ingat pernah memposting sebuah kalimat di twitter: "Kalo Uni Soviet saja bisa bubar, bagaimana dengan Indonesia?" Kalau tidak salah seperti itu redaksinya. Twit itu didasari perasaan kesal karena sering sekali melihat berita tentang kerusuhan di televisi. Mulai dari penyerangan ke masjid Ahmadiyah, jemaat gereja GKI Yasmin, kerusuhan antar kampung, suku, dll. Salah seorang teman menegur saya, jangan menyebarkan pesimisme kata dia. Beberapa teman menanggapi dengan bercanda.

Sebenarnya tujuan saya memposting kalimat itu adalah agar kita sedikit berpikir mengenai kesatuan bangsa ini. Terkadang kita (yang berarti juga saya) lalai menyadari bahwa republik ini tidak menyatu dengan sendirinya. Bahwa kesatuan dari ribuan pulau dari Sabang sampai Merauke tidak datang begitu saja. Berpuluh tahun yang lalu ada yang mati memperjuangkannya. Banyak yang mati. Banyak perundingan yang sengit. Berpuluh tahun perjuangan hingga akhirnya merdeka. Dan tahun-tahun lagi perjuangan mempertahankannya. Menuanya republik ini dapat mengikis rasa kesatuan dari rakyatnya. Padahal seharusnya menuanya republik ini harus mengentalkan rasa cinta untuk bersatu. Rasa mencintai republik ini. Nasionalisme.

Maka harus disadari bahwa kesatuan Republik ini harus diusahakan. Kesatuan republik tidak datang dari sikap-sikap diam nan pasif. Harus ada sikap, harus ada perbuatan. Tidak perlu perbuatan besar, cukup toleransi. Entah mengapa rasanya yang benar kita butuhkan saat ini adalah toleransi. Bersikap toleran menghadapi perbedaan. Karena masyarakat kita masyarakat yang heterogen. Perbedaan sudah menjadi bagian dari kita sejak lama. Maka bukankah seharusnya kita belajar? Belajar dari sejarah yang berdarah bahwa republik ini dibangun dari perbedaan. Jangan sampai ia bubar kembali dikarenakan oleh perbedaan. "Jas Merah" kata Bung Karno. Jangan sekali-kali melupakan sejarah.

Kesatuan terbukti tidak boleh dipaksakan. Unity by force is a slavery, kata spanduk-spanduk pro kemerdekaan kaum belligerent. Maka, kesatuan itu harus berasal dari dalam diri masyarakat, harus dimiliki secara sadar. Susah juga menuntut rakyat yang diperlakukan sebagai anak tiri untuk terus mencintai negara ini. Karena itu, jika negara menganaktirikan rakyatnya, rakyat tidak boleh memusuhi dan memunggungi sesamanya.

Saya tidak ahli dalam menggugah patriotisme atau menggugah nasionalisme. Bahasa saya berantakan, tulisan saya tidak terstruktur. Saya hanya menyampaikan apa yang ada di pikiran saya. Bahwa Indonesia perlu diusahakan untuk tetap menjadi Indonesia. Kita tidak bisa dengan santainya hari ini berpangku tangan dan kaki lalu berharap besok negara ini masih utuh dengan damainya. Selalu ada alasan memerdekakan diri, maka kita harus mencari dan membuat lebih banyak alasan untuk tetap bersatu seperti saat ini.

Hari ini, sesuai dengan Proklamasi, usia Indonesia genap 67 tahun. Jika usia Indonesia dihitung berdasarkan masa kita benar-benar mengusahakan keberlangsungannya, sudah berapa tahun usia Indonesia di diri kita?

Gambar dipinjam dari fsquarefashion.com

Minggu, 12 Agustus 2012

Aksi Solidaritas yang Menyerang Sesama Saudara

Beberapa waktu yang lalu, kalau tidak salah kemarin, saya menonton tayangan televisi berupa kilasan berita yang berjudul "Aksi Ormas". Saya sudak menebak-nebak, pasti berita ini tentang salah satu organisasi masyarakat (berlabel) Islam yang sedang melakukan razia-menurut mereka-, yang berakhir-atau memang dimaksudkan untuk- ricuh. Dugaan saya ternyata salah.

Ternyata berita tersebut berisi aksi ormas (berlabel) Islam yang sedang berdemo menentang diskriminasi terhadap kaum Rohingya di Myanmar. Saya pikir aksi tersebut dilakukan di depan kedutaan Myanmar di ibukota. Ternyata, saya lagi-lagi salah. Aksi tersebut dilakukan di depan Klenteng Xian Ma, salah satu Klenteng terbesar di kota Makassar. Wah, ternyata di kota ini ya aksinya. Wajah saya lalu memerah malu.

Cuplikan beritanya bisa dilihat di sini. Seketika rasanya saya malu bercampur marah. Kenapa harus ada kejadian seperti ini? Kenapa pemikiran orang-orang bisa sesempit itu? Kenapa masyarakat kita lebih pandai bereaksi daripada memberi solusi?

Klenteng Xian Ma terletak di Jalan Sulawesi kalau saya tidak salah. Salah satu jalan favorit saya. Akhir-akhir ini hampir setiap hari saya melintas di jalan ini selepas mengantar kakak saya ke tempat praktiknya. Saya selaluu melambatkan kendaraan jika melintas di jalan ini. Kenapa? Saya senang mengamati aktivitas masyarakat di daerah sini. Di kiri kanan jalan terdapat setidaknya 3 Klenteng kalau saya tidak salah. Ditambah banyaknya ruko-ruko milik warga keturunan Tionghoa yang menjual aneka barang. Bau dupa, warna merah, dan ornamen khas Tionghoa rasanya selalu menarik bagi saya. Tiap Imlek jalan ini akan dipadati oleh masyarakat yang tertarik melihat rangkaian upacara yang dilaksanakan oleh Klenteng. Mulai dari upacara memandikan benda-benda pusaka milik kelenteng, atraksi barongsai yang ditujukan untuk menghibur warga, hingga pawai budaya Sulawesi Selatan yang diorganisir oleh organisasi masyarakat bergama Budha.

Demonstrasi yang berujung pada pelemparan Klenteng oleh anggota ormas menurut saya benar-benar salah sasaran. Bukannya kita ingin memprotes perakuan pemerintah Myanmar terhadap kaum Rohingya? Lalu mengapa rumah ibadah agama Budha yang menjadi sasaran? Apakah karena mayoritas penduduk Myanmar beragama Budha? Murahan sekali jika argumen tersebutlah yang menjadi dasar. Kenapa pula harus melempari rumah ibadah orang lain? Benarkah tidak ada rasa hormat setitikpun dalam diri mereka terhadap keyakinan orang lain? Ah, kenapa pula saya harus mempertanyakan. Bukannya sudah jelas jika memang hormat dan toleransi itu benar ada maka kejadian ini tidak akan terjadi?

Saya jadi sedih sendiri. Membayangkan bagaimana jika rumah ibadah saya yang dilempari padahal tidak ada dari kami yang beribadah di tempat itu yang pernah menyakiti si pelempar Saya jadi ingat tweet dari Goenawan Mohamad yang sempat saya retweet: "Yang marah bila didzalimi harusnya tidak tinggal diam jika kaumnya mendzalimi." Itu benar. Bukannya yang sedang diprotes adalah perilaku dzalim terhadap suatu kaum? Tetapi mengapa protes dilakukan dengan mendalimi kaum lain? Saya tidak mengerti logikanya. Bah, mungkin memang tidak ada logika sama sekali. Hanya keyakinan sempit yang diusung dengan menggebu-gebu. Saya takut benar hal ini akan merusak kehidupan beragama kota ini. Apalagi, jika melihat sejarah, dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat kota kita masih mudah tersulut emosinya.

Saya ingat masyarakat kita pernah terpicu, untungnya tidak sampai betindak bodoh, saat ada isu seorang pembantu rumah tangga pribumi yang dibunuh, atau diperkosa, saya tidak ingat, oleh majikannya yang keturunan tionghoa. Ada pula peristiwa saat seorang warga pendatang dari Flores menikam beberapa orang di tepi jalan Perintis Kemerdekaan. Masyarakat kita cukup tersulut, yang menyebabkan banyak warga Flores yang harus mengamankan diri di kantor-kantor polisi. Jauh ke belakang lagi saat saya masih SD pernah pula masyarakat kita menjarah toko-toko milik masyarakat keturunan Tionghoa. Saya ingat salah satu kenalan orang tua saya memasak besar-besaran di rumahnya lalu mengirimkan makanan ke rumah-rumah teman Tionghoa nya yang tidak bisa kemana-mana karena takut dirazia.

Kurang apalagi pelajaran dari sejarah kita. Bahwa masyarakat kita pernah-atau jangan jangan masih-bersumbu pendek dan mudah tepicu. Saya bertanya-tanya kapan kita mulai mengidentifikasi diri sebagai Indonesia. Dan agama, suku, ras, bisa setidaknya sedikit dikesampingkan untuk menjadi Indonesia, bersaudara dalam Indonesia. Aksi solidaritas tidak menyerang sesama saudara.

Jumat, 10 Agustus 2012

What's up, Life?

You know, life cannot serves all you want.

Aneh sekali saat kau sadari betapa hidupmu tidak akan pernah normal. Karena hidup yang normal adalah hidup yang sama sekali tidak normal. Hidup mu baru bisa dikatakan normal jika yang terjadi adalah hal-hal diluar kehendakmu, kendalimu, inginmu. Setidaknya itu menurut saya.

Turning 22. Bulan lalu saya tepat 22 tahun. Tidak ada special wish. Karena saya menghitung bukan dari hari saya berubah usia, tetapi hari bumi berubah usia. Tidak ada bedanya sebenarnya, tetapi saya memang jarang bermohon di hari ulang tahun. Tidak pula ber-resolusi atas usia baru saya. Menjadi 22 pun sebenarnya saya tidak mengerti bagaimana harus memaknainya. Kata orang, berharaplah agar bisa menjadi baik. Saya memilih berharap menjadi lebih baik setiap hari. Jika tidak sedang lupa.

Sebenarnya beberapa waktu belakangan ini banyak sekali masalah yang datang. Di dalam dan di luar rumah rasanya sama saja. Tapi saya tidak senang membahas masalah. Rasanya terlalu-kurang-beryukur jika terus menerus mengeluh karena merasa berat karena sebuah, atau beberapa buah, masalah. Saya memilih menyemangati diri. Mensugesti diri dengan kata-kata "what doesn't kill you makes you stronger" yang selalu menjadi kata-kata pamungkas saya jauh sebelum Kelly Clarkson mulai menyanyikan lagu dengan judul sama. Hal lain yang selalu saya percaya adalah "bukan orang yang lemah yang diberi cobaan yang berat". Jadi mulailah saya menghibur diri dengan menganggap diri saya sedikit lebih kuat dengan masalah-masalah yang datang. I should sit and share a cup of tea with problem. Sit like an old friends. Berdamai dengan masalah.

Akhirnya di hari-hari luang ini saya habiskan dengan membaca. Berlompat-lompat dari buku satu ke buku yang lain. Membaca hingga mata saya lelah. Menelusuri jejak seseorang melalui buku. Ini lucu, tapi memang seperti itu. Saya sedang berusaha menelusuri jejak seseorang melalui buku. Membaca buku-buku yang mengingatkan saya kepada orang tersebut. Tentu saja mereka-reka, mengingat kami tidak berkomunikasi secara intens. Well, sebenarnya bahkan tidak ada "kami" sama sekali. Hanya "saya" dan "dia", dua subjek dalam dua kalimat berbeda.

Ada hal bagus yang bisa dipelajari dari cuaca. Bahwa kau selalu bisa berharap akan ada hari yang lebih baik. Setiap badai akan memiliki akhir. Karena keadaan, biasanya, tidak akan bisa lebih buruk lagi saat sudah mencapai titik terburuknya. Maka seperti kata film dengan soundtrack favorit saya Badai Pasti Berlalu. Saya tidak mengatakan bahwa hari yang cerah adalah hari yang lebih baik. Menurut saya bagus tidaknya cuaca adalah milik subjektivitas manusia. Hujan menyenangkan hati para penggemarnya setara dengan cerah yang disambut ceria para pengikutnya. Badaipun bisa dinikmati, saat kita tahu cara mengurung diri dalam rumah dengan tepat. Tarik selimutmu rapat-rapat dan buka buku favoritmu. Atau saksikan petir yang menyambar dan bersiagalah menutup telinga. Besok pasti bisa lebih baik :)