Di hari ketiga ini, kami dijadwalkan untuk berkunjung ke Villa Hutan Jati (VHJ) yang merupakan sebuah proyek yang bergerak di bidang pemberdayaan lahan kritis yang diprakarsai oleh Pak Boedi Krisnawan Suhargo. Awalnya saya tidak begitu antusias. Di pikiran saya, ah paling ke hutan jatinya trus dijelasan budidaya jati caranya gimana. Gimana mau antusias, di kampus dan di kampung bapak saya jati bertebaran dimana-mana. heheh.
Kami tiba di lokasi VHJ sekitar pukul 11. Matahari terik bersinar. Kami lalu disambut oleh Pak Boedi dan staffnya, berbincang sebentar sambil ngopi, ngeteh, dan makan singkong rebus, lalu kami diajak berkeliling. Antusiasme saya meningkat setelah dijelaskan bahwa dulunya, lahan ini keseluruhannya adalah bekas tambang batu, pasir, dan tanah merah. Seperti halnya lahan bekas tambang seperti itu, tanah tersebut tandus dan sulit ditumbuhi tanaman lagi. Disaat orang lain masih melihat itu sebagai sebuah kerusakan lingkungan yang patut disayangkan, Pak Boedi malah telah berpikir jauh ke depan. Lahan tersebut masih dapat dikonservasi untuk mengembalikan fungsinya dan disamping itu, berpeluang mendatangkan keuntungan bagi masyarakat sekitar. Selain itu, melalui proyek ini, masyarakat sekitar akan termotivasi untuk kembali bertani.
Ada salah satu tempat di kawasan VHJ yang kami lalui saat berkeliling yang tanahnya benar-benar tandus. Saya jadi teringat dengan kota tampat saya dilahirkan yang juga merupakan lokasinya pertambangan. Tanah seperti itu banyak ditemui disana. Seingat saya, banyak yang telah dihijaukan kembali, walaupun masih belum banyak melibatkan masyarakat karena sistem kontraknya berupa kontrak karya. Sistem kontrak karya membuat perusahaan menguasai seluruh lahan yang tercantum dalam kontrak sehingga masyarakat tidak boleh menggunakannya tanpa seizin perusahaan.
Sambil makan siang bersama, Pak Boedi berbagi pemikiran dan pengalaman dengan kami. Di sinilah rasa nasionalisme saya benar-benar tertampar. Sebelumnya, sejak saya mengetahui saya menjadi 20 besar kompetisi ini, perasaan saya hanya bangga dan bersyukur. Tapi, setelah mendengarkan kuliah singkat dari Pak Boedi, perasaan saya hanya satu: malu. Iya saya malu. Saya malu karena berbangga dengan hanya menulis, tidak berbuat. Bukan mengecilkan arti menulis, tapi lebih ke "kamu baru nulis nasionalisme aja sudah bangga, memangnya kamu sudah berbuat apa?" Kurang lebih seperti itu.
Ada kata-kata Pak Boedi yang tidak bisa saya lupakan, katanya: "Kalian yang masih muda seharusnya khawatir, 20 tahun 30 tahun lagi bumi ini seperti apa. Kalau saya paling 10 tahun lagi bakalan meninggal, 10 tahun lagi perubahan lingkungan tidak akan terlalu drastis. Tapi bagaimana 20-30 tahun mendatang?" Ya, bagaimana 20-30 tahun mendatang? Krisis pangan? Krisis air? Kerusakan lingkungan yang makin parah? Apakah kita mau hidup dengan kondisi demikian? Membesarkan anak dengan lingkungan demikian? Saya jelas tidak mau. Saya yakin kebanyakan dari kita pasti tidak mau.
Hari itu saya berpikir kembali apa yang telah saya lakukan untuk Indonesia dan untuk lingkungan. Saya berpikir dan berpikir, mengingat, dan satu-satunya yang bisa saya ingat adalah: mengajar anak-anak SD di tempat saya KKN beberapa bulan lalu. Saya malu. Benar-benar malu.
Malam harinya kami menuju ke rumah bapak Bambang Darmono untuk berbincang-bincang sekaligus makan malam *asyik*. Pak Bambang Darmono adalah purnawirawan TNI yang saat ini menjabat sebagai Kepala Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B). Sesuai dengan kapasitasnya, Pak Bambang menjelaskan kepada kami mengenai gambaran kondisi Papua saat ini. Sebagai orang Indonesia yang juga berasal dari pulau yang terletak di sebelah timur
Bagi saya, Papua hari ini masih menjadi ironi. Bahwa propinsi dengan sumber daya alam terkaya, penduduknya masih jauh dari perasaan makmur, sejahtera, aman, dan setara.
Pengalaman di hari ketiga benar-benar berkesan buat saya. Hari itu keseluruhan persepsi saya mengenai nasionalisme benar-benar dirombak besar-besaran. Hari itu saya berpikir untuk melakukan sesuatu untuk Indonesia. Entah apa. Tapi di hari itu saya mulai bercita-cita. Semakin berkesan karena miniatur Kapal Phinisi yang saya bawa menjadi souvenir yang diberikan kepada Pak Bambang. Semoga berkesan.
Oh iya, lebih berkesan lagi karena sempat diajak bernyanyi oleh Mas Jay Widjajanto, pendiri sekaligus pelatih kelompok paduan suara The Indonesia Choir. Mas Jay juga sempat menanyakan hal-hal yang bersifat Indonesia seperti: Rasuna Said berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Sungguh, hari itu saya tidak tahu. Tapi hari ini saya tahu, jawabannya: Perempuan, bernama lengkap Hajjah Rangkayo Rasuna Said, orator dan pejuang kemerdekaan RI. Pertanyaan lain dari Mas Jay adalah apa kepanjangan dari GSSJ pada nama pahlawan Dr. G.S.S.J. Sam Ratulangi. Sebagai orang Sulawesi saya jadi malu tidak tahu kepanjangan nama pahlawan nasional dari pulau saya sendiri. Nama Sam Ratulangi diawali singkatan GSSJ saja saya tidak tahu. Karena pertanyaan nyentil itu saya akhirnya mencari tahu dan menemukan bahwa GSSJ adalah singkatan dari Gerungan Saul Samuel Jozias, menurut http://thearoengbinangproject.com dan Gerungan Saul Samuel Jacob dari http://www.tokohindonesia.com. Saya semakin setres, bukti bahwa kita tidak familiar dengan pahlawan sendiri, nama lengkap pahlawan nasional pun muncul 2 versi. Situs lain lebih banyak menuliskan versi Gerungan Saul Samuel Jacob, maka kemungkinan besar itulah yang benar. Tapi saya belum memastikan. Sam Ratulangi terkenal dengan padangan hidup:
“Si tou timou tumou tou” yang berarti: “Manusia hidup untuk memanusiakan manusia”
Ditanya hal-hal demikian membuat saya tertawa miris di dalam hati. Kenapa selama ini saya sibuk-sibuk membaca tokoh-tokoh asing dan tidak memperkaya pengetahuan saya dengan tokoh-tokoh negeri sendri. Kurang pesona? Tidak juga. Kurang sumber? Huuu...dapat salam dari Om Gugel. hahaha. Menurut saya hanya kurang kemasan. Informasi tentu ada, tapi masih belum dikemas baik. Atau saya yang masih belum menemukan? Entahlah. Ah, yang belum mengenal Jay Widjajanto, *seperti saya waktu itu* pasti akan lebih familiar dengan Bang Zaitun si pemimpin orkes melayu di film Sang Pemimpi. Yep, dialah Jay Widjajanto.
Hari ketiga saya dan teman-teman kembali ke apartemen dengan perasaan lelah, badan acem, dan ngantuk luar biasa. Tapi tidak berhenti di situ saja, kami *atau saya paling tidak* pulang dengan persepsi baru, cita-cita baru, dan rasa cinta yang meluap-luap pada negara dan bangsa ini.
Sebuah tugu dengan motto VHJ: Bersama Sembuhkan Bumi
Gambar ini diambil dari situs resmi VHJ
Yang ingin tahu lebih jauh mengenai VHJ bisa klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar