Saya bermimpi banyak sekali. Bermimpi menulis buku, dan menerbitkannya tentu. Saya bermimpi kuliah di luar negeri. Saya bermimpi menghabiskan masa tua dengan mengurus peternakan, atau pertanian. Saya bermimpi keliling dunia (klise, tapi mengapa tidak?). Saya bermimpi membangun sekolah gratis. Saya bermimpi ini dan itu.
Menurut saya mimpi terbagi atas dua, "to do something" atau "to be someone". Mimpi-mimpi saya yang saya tuliskan di atas adalah mimpi "to do something" atau mimpi melakukan sesuatu. kemarin saya baru saja menamatkan buku berjudul "Imperium" karangan "Robert Harris". Buku ini menceritakan hidup Cicero yang bermimpi menjadi pemengang kekuasaan tertinggi di pemerintahan Romawi. Terlepas dari buku ini yang banyak membahas politik pada masa itu, buku ini banyak mengajarkan saya tentang mimpi. Cicero yang berasal dari keluarga "biasa" non aristokrat yang bermimpi untuk menjadi Konsul. Hampir mustahil, jika tidak bisa dikatakan mustahil sama sekali. Mengingat pada masa itu kalangan aristokrat memiliki kekuatan besar dalam pemerintahan. Kalau mau tau lebih banyak tentang buku ini, resensinya dapat dibaca di sini.
Nah, mimpi Cicero ini menurut saya adalah jenis mimpi "to be someone" atau menjadi seseorang. Menjadi presiden, menjadi diplomat, menjadi CEO, menjadi wanita karir, atau menjadi Konsul dalam kasus Cicero. Pada dasarnya semua orang bermimpi, beberapa mimpi terkabul, beberapa mimpi tidak. Beberapa mimpi bertahan, beberapa mimpi bertransformasi akibat berkompromi. Beberapa mimpi terus dikenang dan beberapa mimpi pada akhirnya dilupakan.
Belakangan ini salah satu mimpi saya hampir terwujud. Saya mendaftar untuk pertukaran pelajar hasil kerja sama antara Fakultas saya dengan Utrecht University di Belanda sana. Awalnya saya bersemangat mengingat saya memang menginginkan kuliah di luar negeri. Tapi semakin jauh semangat saya meredup. Kenapa? Mimpi ini lumayan mahal dan saya tidak sanggup. Mungkin orang tua saya sanggup, tetapi jelaslah saya tidak. Sama halnya jika saya ditanya "kenapa tidak pakai BB?" jawaban saya "Saya tidak mampu beli."
Saya lalu merelakan mimpi yang satu ini. bukan dilepaskan, hanya ditunda dulu sampai saya benar-benar mampu. Saya ingat suatu hari saya bermaksud mendaftarkan beasiswa ke Amerika. Saya lalu memberitahu mamak saya, meminta didoakan agar bisa lulus. Saya masih ingat kata mamak saya, "Amerika? Padahal mamak selama ini doakan supaya kau bisa sekolah di Belanda." kata beliau sambil tersenyum canggung. Aneh kalimat ini terus membekas di benak saya. Mamak saya mendoakan agar mimpi saya terkabul, dan itu luar biasa. Dan saya bertekad sejauh itulah yang bisa saya harapkan dari orang tua saya, doa. Saya tidak boleh mengharapkan lebih, bahkan menuntut lebih. Doa sudah cukup dan harus cukup.
Memang tidak ada mimpi yang murah. Semua harus dibayar mahal. Bayarannya tidak mesti materi. Kerja keras, pengorbanan, semua adalah bayaran yang ditarik untuk menebus mimpi. Tapi menebus mimpi dengan materi yang bukan milik saya, bagi saya bukan menebus mimpi. Saya ingin berusaha dengan kemampuan saya. Di sini mungkin saya terdengar sombong, munafik, dan entahlah apa lagi. Tapi saya sudah berjanji kepada diri saya untuk mengurangi beban orang tua saya. Hal ini pula yang membuat saya giat mengejar gelar sarjana, agar tidak perlu membayar SPP untuk semester depan. Karena, lagi lagi saya tidak punya uang membayar.
Saya dulunya takut menceritakan mimpi saya Takut tidak terwujud dan akhirnya malu. Tapi saya lalu sadar bahwa tidak terkabul pun bukan kegagalan. Bukan hal yang memalukan. Jikalau pada akhirnya saya akan berakhir denegan menjadi PNS atau ibu rumah tangga atau apapun itu yang tidak saya mimpikan hari ini, toh bermimpi tidak merugikan saya.
Kita bermimpi dan mengejar mimpi kita dengan cara, prinsip, dan usaha masing-masing. Untuk saya inilah prinsip dasar saya mengejar mimpi, setiap orang boleh berbeda, setiap orang boleh tidak setuju. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar