Tanggal 26 sebulan yang lalu saya bangun pagi dengan kepala pening. Tidur saya kurang nyenyak karena masih dalam tahap menyesuaikan diri, plus saya sulit tidur dengan lampu menyala. Tapi saya bangun dengan semangat. Pukul 4. Karena masih terbawa zona waktu Makassar yang saat itu sudah pukul 5. Lalu saya mandi dengan riang.
Hari itu, menurut jadwal, adalah hari city games. Dengan catatan: menggunakan transportasi umum. Saya penasaran sekaligus semangat tapi sedikit paranoid. Penyakit lama. Ternyata kami dibagi dalam kelompok yang masing-masing terdiri dari 5 orang. Yang berarti akan ada 4 kelompok. Setelah kelompok dibacakan, ternyata saya sekelompok dengan Rini, Gustin, Eka, dan Didik. Mentor untuk kelompok saya adalah Ka Fando. Hmm... okke. Setelah berbincang-bincang dan saling mengenal, games dimulai.
Kelompok kami akhirnya diberangkatkan ke lokasi yang telah ditentukan dengan berbekal sebuah amplop berisi petunjuk, uang 20.000, dan amplop merah yang harus dibuka saat kita tidak dapat memecahkan clue hingga pukul 12. Di mobil kami sempat bercanda-canda, gimana caranya 5 orang wara-wiri sana sini dengan uang yang hanya 20.000. Karena sebelumnya dompet dan uang harus dikumpulkan di tiap-tiap mentor. Tiba-tiba orang yang paling dirindukan adalah: dukun pengganda uang. hahaha.
Akhirnya games benar-benar dimulai. Pertama kami harus memecahkan clue yang ada di dalam ampolp. Tidak terlalu sulit bagi kami untuk dipechakan. Dan saya yakin begitu pula halnya dengan kelompok lain. Mencari clue kedua sedikit lebih sulit karena membutuhkan ketelitian dan kesabaran. Saya yakin kami sebenarnya teliti, tapi kami memang tidak sabar. Sangking bergerilya dengan semangatnya mencari clue, si Didik sempat ditegur sama manager food court. hahaha, yang sabar ya Dik. Akhirnya clue kedua kami dapatkan dengan kombinasi usaha dan ketidaksanggupan mbak-mbak penjaga food court menahan bibir. hahaha.
Di clue ketiga kami juga tidak mendapatkan hambatan, walaupun Didik *lagi-lagi Didik* sempat tengsin berat karena nanya "cakep" ke orang yang salah. Hahaha, sabar lagi ya Dik... Clue berikutnya mengharuskan kami membuat semacam poster dan ber-orasi di jembatan Busway. Poster pun dibuat dengan buru-buru sambil ngemper di luar Mall *dengan izin satpam* dan berangkatlah kami ke jembatan terdekat. Agak canggung juga harus orasi dengan hanya berlima, di depan umum pula. Tapi, akhirnya, mangsa yang empuk pun datang. Segerombolan remaja tanggung!! Setelah meminta waktu mereka, orasi kecil-kecilan itupun terlaksana. Salah satu dari penonton kami di akhir orasi sempat bertanya sambil bercanda"kak, ga ada minumnya nih?". Yaelah, yang orasi aja pada haus. Hahaha..
Setelah orasi datanglah seorang bapak membawakan kami clue berikutnya. Dan...saudara saudara...clue inilah yang kemudian menyesatkan kelompok saya. Dengan clue yang menyebutkan tentang "patung diponegoro", berputarlah otak kami berpikir dimana letak patung diponegoro. Didik, sebagai satu-satunya lelaki, mulai bertanya ke orang-orang di sekitar kami. Hasilnya nihil, tidak ada yang tahu. Kami pun berinisiatif bertanya ke polisi di seberang jalan. Daaaan...kata Pak Polisi dan seorang pria bertato, "oh, kalo Patung Diponegoro mah di sono dek, deket taman Suropati." Umm...oke, kata si bapak ke sana cuma sekali naik bus. Cukup lah dengan uang 20.ooo, masih ada sisa lagi. Dan berangkatlah kami dengan tanpa perasaan curiga. Tanpa perasaan curiga bahwa yang sebenarnya dimaksud adalah Patung Diponegoro di MONAS.
Di Taman Suropatilah kami berpusing-pusing ria. Mencari arah barat daya, mencari pohon kelapa merah putih, dan mencari sesuatu yang konon adalah harta karun. Sialnya, di arah barat daya patung itu benar-benar pohon kelapa! Kebetulan yang lagi-lagi meyakinkan kami bahwa kami tidak tersesat. Kami sempat bertanya-tanya, apakah kelompok lain juga mendapatkan clue yang sama susahnya dengan kami. Tidak ada sedikitpun keinginan untuk membuka amplop merah yang kami punya. Karena kami bersepakat, petunjuk penggunaan amplop merah tersebut adalah "jika kalian belum berhasil memecahkan sandi hingga pukul 12, amplop ini harus dibuka". Dalam pengertian kami, sandi yang dimaksud adalah sandi di clue pertama. Jadi, karena kami telah memecahkan clue pertama, tidak ada alasan untuk membuka amplop merah.
Kami mencari harta karun tersebut dengan mengelilingi Taman Suropati. Secara harafiah. Benar-benar berjalan berkeliling. Saya kemana, Rini kemana, Didik kemana, Eka dan Gustin kemana. Berpencar, lalu berkumpul kembali. Berpencar lagi, berkumpul lagi. Masih dengan perasaan sesat bahwa kami tidak tersesat. Akhirnya, setelah sejam lebih tidak mendapatkan "harta karun" kami memutuskan untuk membuka si amplop merah dan berharap isinya uang yang lumayan banyak biar bisa langsung balik ke apartemen. Dan, setelah membuka si amplop merah...jeng jeeeeeng... muncullah secarik kertas dengan tulisan "kami tunggu kalian di Monas" bersama uang 25.000. Yaaaah...ternyata kita salah patung teman teman!!
Berangkatlah kami ke Monas masih dengan semangat membara sambil menertawai diri sendiri. Naiklah kami ke bus dgn nomor yang sama dengan yang kami tumpangi saat menuju ke Taman Suropati. Dengan asumsi, saat menuju ke sini bus tersebut melalui Monas, jadi baliknya juga pasti lewat Monas. Dan, akhirnya saya disadarkan bahwa tidak boleh bermain-main dengan kata "pasti". Busnya tidak lewat Monas!! Huuu... Berjibakulah kami menuju Monas, menunggu bus setengah jam, berjalan kaki di terik matahari pukul 3, lari-larian ngejar bus, daaaan... lagi-lagi tidak lewat Monas. Hem... ga jodoh ni saya dengan Monas. Akhirnya kami memutuskan balik ke apartemen. Jalan kaki lagi. Hahaha. Di saat-saat seperti itu, memang paling mudah menertawai kesialan diri dibandingkan mengumpat.
Menulis pengalaman tersebut hari ini, saya jadi berpikir apa yang membuat kami tidak terlalu banyak mengeluh hari itu? Padahal setelah diingat-ingat hari itu kelompok kami apes se apes-apesnya. Mungkin karena kami ingin menjaga perasaan satu sama lain dan menghargai perjuangan masing-masing. Saya pribadi malu kalau harus mengeluh di usia sedewasa ini *ck, sok dewasa*. Tapi hari itu, benar-benar tidak ada tendensi untuk saling menyalahkan. Semuanya menerima dan menjalani games tersebut dengan senang hati dan besar hati. Ck, hari itu saya benar-benar belajar untuk sabar.
Di sesi malam diadakanlah evaluasi atas pelaksanaan game. Well, harusnya sih diadakan setelah games, tapi berhubung kelompok saya mainnya kejauhan, hehe, berantakanlah susunan acara hari itu. Evaluasi games memberikan penjelasan maksud dari diadakannya games city hunter tadi siang. Ternyata game city hunter dimaksudkan untuk mengajari kami tentang kepemimpinan. Dimana di event-event lain kepemimpinan diajarkan secara teori, kali ini kami mendapatkan pelajaran mengenai kepemimpinan langsung di lapangan. Bekerja sama, mendengarkan pendapat, berdiskusi, membagi tugas, menyusun strategi, dilakukan scara langsung melalui games. Saya juga mencermati bahwa dalam pembagian kelompok, kami tidak diinstruksikan untuk memilih ketua kelompok. Kenapa? Spekulasi saya, agar tidak ada yang merasa memimpin dan dipimpin. Agar masing-masing orang menemukan karakter kepemimpinan di diri masing-masing. Agar masing-masing orang mulai menjadi pemimpin dengan memimpin diri sendiri. Itu menurut saya, entah bagaimana pendapat teman-teman yang lain. Rangkaian acara games hari itu di rupanya diselenggarakan oleh panitia bekerja sama dengan kakak-kakak dari INTI, Perhimpunan Indonesia Tionghoa. Wah, saya salut dengan seluruh rangkaian games hari itu. Baik games maupun evaluasinya benar-benar memberi saya banyak pengetahuan tentang kepemimpinan.
Sesi malam itu kemudian dilanjutkan dengan materi kepemimpinan *yang sebenarnya* yang dibawakan oleh Mas Kurnia. Nah, materi ini salah satu favorit saya. Selain mempelajari tentang kepemimpinan yang baik, kami juga diberi kesempatan untuk membaca karakter masing-masing. Yah, saya paling suka yang gini-ginian. hihihi. Setelah mengerjakan semua yang diinstruksikan Mas Kurnia, terbentuklah sebuah grafik yang menggambarkan kepribadian masing-masing orang. Dan, beruntunglah Mas Bimo yang kepribadiannya dibaca saat itu. Ternyata kepribadian Mas Bimo menurut tes tersebut bagus loh! *kenapa kesannya saya kaget ya? ah, sudahlah* heheh. Karakter saya sendiri adalah... "I" sejati. Tipe orang yang hobinya senang-senang *seingat saya*. Ketiga grafik saya menunjukkan demikian. Ketiga grafik saya bahkan hampir identik. Kata Mas Kurnia grafik saya lumayan bagus, tapi saya cenderung keras kepala.
Hari kedua saya mulai merasa nyaman mengikuti kegiatan ini. Apalagi setelah lebih mengenal teman-teman yang lain. Tidak menyelesaikan game tidak lantas membuat saya sakit hati, saya lebih menganggap hal tersebut sebagai pembelajaran yang kocak. Apalagi pulangnya rame-rame ditraktir makan sama Mas Bimo di warung sebelah apartemen. Sengsara membawa nikmat kan! Di hari kedua saya belajar banyak. Bahwa pemimpin tidak berarti harus memimpin suatu organisasi. Memimpin diri sendiri pun tidak kalah pentingnya.
Memimpin diri sendiri menurut saya berarti memaksimalkan potensi diri dalam melakukan sesuatu. Pemimpin tidak dilihat dari jumlah pengikutnya, tapi jumlah perbuatannya yang berguna bagi orang lain. Selama ini saya mendapatkan persepsi yang berbeda mengenai pemimpin. Persepsi bahwa pemimpin itu harus benar-benar mendahulukan kepentingan umum baru kepentingan peribadi. Semacam pertanyaan "saat kegiatan organisasi yg kamu pimpin bentrok dengan kuliah, mana yang kamu pilih?" yang menurut saya mempertanyakan kepemimpinan dan loyalitas secara dangkal. Kepemimpinan yang dapat saya pelajari dari materi Mas Kurnia adalah kepemimpinan efekstif-efisien yang menitik beratkan pada kualitas personal yang harus dimiliki. Sehingga pemimpin dapat berhasil memimpin baik dirinya, maupun orang lain. Yah, jadi muter-muter gini.
Di akhir hari kedua saya kembali ke kamar dengan perasaan sangat bersyukur untuk seluruh kegiatan di hari itu. Untuk semua pelajaran dan pengalaman. Saya juga salut dengan teman-teman kelompok saya. Didik, yang saat kami para wanita duduk beristirahat, masih semangat bertanya sana sini, masih kekeuh berjalan berkeliling taman mencari pohon kelapa. Rini, yang saya tahu semalam kurang tidur karena mengikuti kegiatan kampus, masih semangat dan tidak mengeluh dalam menjalani games yang melelahkan itu. Eka, yang walaupun memakai rok dan mungkin merasa sedikit kesulitan naik-turun bus yang jalan tapi tidak pernah mengeluh dan protes kepada kami. Gustin yang tidak banyak berbicara tapi dengan semangatnya berkeliling food court dan mencari-cari petunjuk di bawah bangku tanpa ragu-ragu. Saya bangga bisa menjadi teman kelompok mereka. Dari mereka saya belajar tidak kalah banyaknya.
inilah dia si patung Pangeran Diponegoro tercinta. Saksi bisu perjuangan kelompok kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar