Beberapa waktu yang lalu, kalau tidak salah kemarin, saya menonton tayangan televisi berupa kilasan berita yang berjudul "Aksi Ormas". Saya sudak menebak-nebak, pasti berita ini tentang salah satu organisasi masyarakat (berlabel) Islam yang sedang melakukan razia-menurut mereka-, yang berakhir-atau memang dimaksudkan untuk- ricuh. Dugaan saya ternyata salah.
Ternyata berita tersebut berisi aksi ormas (berlabel) Islam yang sedang berdemo menentang diskriminasi terhadap kaum Rohingya di Myanmar. Saya pikir aksi tersebut dilakukan di depan kedutaan Myanmar di ibukota. Ternyata, saya lagi-lagi salah. Aksi tersebut dilakukan di depan Klenteng Xian Ma, salah satu Klenteng terbesar di kota Makassar. Wah, ternyata di kota ini ya aksinya. Wajah saya lalu memerah malu.
Cuplikan beritanya bisa dilihat di sini. Seketika rasanya saya malu bercampur marah. Kenapa harus ada kejadian seperti ini? Kenapa pemikiran orang-orang bisa sesempit itu? Kenapa masyarakat kita lebih pandai bereaksi daripada memberi solusi?
Klenteng Xian Ma terletak di Jalan Sulawesi kalau saya tidak salah. Salah satu jalan favorit saya. Akhir-akhir ini hampir setiap hari saya melintas di jalan ini selepas mengantar kakak saya ke tempat praktiknya. Saya selaluu melambatkan kendaraan jika melintas di jalan ini. Kenapa? Saya senang mengamati aktivitas masyarakat di daerah sini. Di kiri kanan jalan terdapat setidaknya 3 Klenteng kalau saya tidak salah. Ditambah banyaknya ruko-ruko milik warga keturunan Tionghoa yang menjual aneka barang. Bau dupa, warna merah, dan ornamen khas Tionghoa rasanya selalu menarik bagi saya. Tiap Imlek jalan ini akan dipadati oleh masyarakat yang tertarik melihat rangkaian upacara yang dilaksanakan oleh Klenteng. Mulai dari upacara memandikan benda-benda pusaka milik kelenteng, atraksi barongsai yang ditujukan untuk menghibur warga, hingga pawai budaya Sulawesi Selatan yang diorganisir oleh organisasi masyarakat bergama Budha.
Demonstrasi yang berujung pada pelemparan Klenteng oleh anggota ormas menurut saya benar-benar salah sasaran. Bukannya kita ingin memprotes perakuan pemerintah Myanmar terhadap kaum Rohingya? Lalu mengapa rumah ibadah agama Budha yang menjadi sasaran? Apakah karena mayoritas penduduk Myanmar beragama Budha? Murahan sekali jika argumen tersebutlah yang menjadi dasar. Kenapa pula harus melempari rumah ibadah orang lain? Benarkah tidak ada rasa hormat setitikpun dalam diri mereka terhadap keyakinan orang lain? Ah, kenapa pula saya harus mempertanyakan. Bukannya sudah jelas jika memang hormat dan toleransi itu benar ada maka kejadian ini tidak akan terjadi?
Saya jadi sedih sendiri. Membayangkan bagaimana jika rumah ibadah saya yang dilempari padahal tidak ada dari kami yang beribadah di tempat itu yang pernah menyakiti si pelempar Saya jadi ingat tweet dari Goenawan Mohamad yang sempat saya retweet: "Yang marah bila didzalimi harusnya tidak tinggal diam jika kaumnya mendzalimi." Itu benar. Bukannya yang sedang diprotes adalah perilaku dzalim terhadap suatu kaum? Tetapi mengapa protes dilakukan dengan mendalimi kaum lain? Saya tidak mengerti logikanya. Bah, mungkin memang tidak ada logika sama sekali. Hanya keyakinan sempit yang diusung dengan menggebu-gebu. Saya takut benar hal ini akan merusak kehidupan beragama kota ini. Apalagi, jika melihat sejarah, dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat kota kita masih mudah tersulut emosinya.
Saya ingat masyarakat kita pernah terpicu, untungnya tidak sampai betindak bodoh, saat ada isu seorang pembantu rumah tangga pribumi yang dibunuh, atau diperkosa, saya tidak ingat, oleh majikannya yang keturunan tionghoa. Ada pula peristiwa saat seorang warga pendatang dari Flores menikam beberapa orang di tepi jalan Perintis Kemerdekaan. Masyarakat kita cukup tersulut, yang menyebabkan banyak warga Flores yang harus mengamankan diri di kantor-kantor polisi. Jauh ke belakang lagi saat saya masih SD pernah pula masyarakat kita menjarah toko-toko milik masyarakat keturunan Tionghoa. Saya ingat salah satu kenalan orang tua saya memasak besar-besaran di rumahnya lalu mengirimkan makanan ke rumah-rumah teman Tionghoa nya yang tidak bisa kemana-mana karena takut dirazia.
Kurang apalagi pelajaran dari sejarah kita. Bahwa masyarakat kita pernah-atau jangan jangan masih-bersumbu pendek dan mudah tepicu. Saya bertanya-tanya kapan kita mulai mengidentifikasi diri sebagai Indonesia. Dan agama, suku, ras, bisa setidaknya sedikit dikesampingkan untuk menjadi Indonesia, bersaudara dalam Indonesia. Aksi solidaritas tidak menyerang sesama saudara.
"Post hoc, ergo propter hoc - Buah pikiran yang keliru"
BalasHapus