Postingan saya hari ini pastilah tidak jauh-jauh dari peringatan hari ini. Tapi mau berkata-kata putis manis pembangkit nasionalisme kok rasanya aneh yah. Sedang tidak sesuai dengan mood. Heheh. Saya mau cerita dikit aja deh.
Saya ingat pernah memposting sebuah kalimat di twitter: "Kalo Uni Soviet saja bisa bubar, bagaimana dengan Indonesia?" Kalau tidak salah seperti itu redaksinya. Twit itu didasari perasaan kesal karena sering sekali melihat berita tentang kerusuhan di televisi. Mulai dari penyerangan ke masjid Ahmadiyah, jemaat gereja GKI Yasmin, kerusuhan antar kampung, suku, dll. Salah seorang teman menegur saya, jangan menyebarkan pesimisme kata dia. Beberapa teman menanggapi dengan bercanda.
Sebenarnya tujuan saya memposting kalimat itu adalah agar kita sedikit berpikir mengenai kesatuan bangsa ini. Terkadang kita (yang berarti juga saya) lalai menyadari bahwa republik ini tidak menyatu dengan sendirinya. Bahwa kesatuan dari ribuan pulau dari Sabang sampai Merauke tidak datang begitu saja. Berpuluh tahun yang lalu ada yang mati memperjuangkannya. Banyak yang mati. Banyak perundingan yang sengit. Berpuluh tahun perjuangan hingga akhirnya merdeka. Dan tahun-tahun lagi perjuangan mempertahankannya. Menuanya republik ini dapat mengikis rasa kesatuan dari rakyatnya. Padahal seharusnya menuanya republik ini harus mengentalkan rasa cinta untuk bersatu. Rasa mencintai republik ini. Nasionalisme.
Maka harus disadari bahwa kesatuan Republik ini harus diusahakan. Kesatuan republik tidak datang dari sikap-sikap diam nan pasif. Harus ada sikap, harus ada perbuatan. Tidak perlu perbuatan besar, cukup toleransi. Entah mengapa rasanya yang benar kita butuhkan saat ini adalah toleransi. Bersikap toleran menghadapi perbedaan. Karena masyarakat kita masyarakat yang heterogen. Perbedaan sudah menjadi bagian dari kita sejak lama. Maka bukankah seharusnya kita belajar? Belajar dari sejarah yang berdarah bahwa republik ini dibangun dari perbedaan. Jangan sampai ia bubar kembali dikarenakan oleh perbedaan. "Jas Merah" kata Bung Karno. Jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Kesatuan terbukti tidak boleh dipaksakan. Unity by force is a slavery, kata spanduk-spanduk pro kemerdekaan kaum belligerent. Maka, kesatuan itu harus berasal dari dalam diri masyarakat, harus dimiliki secara sadar. Susah juga menuntut rakyat yang diperlakukan sebagai anak tiri untuk terus mencintai negara ini. Karena itu, jika negara menganaktirikan rakyatnya, rakyat tidak boleh memusuhi dan memunggungi sesamanya.
Saya tidak ahli dalam menggugah patriotisme atau menggugah nasionalisme. Bahasa saya berantakan, tulisan saya tidak terstruktur. Saya hanya menyampaikan apa yang ada di pikiran saya. Bahwa Indonesia perlu diusahakan untuk tetap menjadi Indonesia. Kita tidak bisa dengan santainya hari ini berpangku tangan dan kaki lalu berharap besok negara ini masih utuh dengan damainya. Selalu ada alasan memerdekakan diri, maka kita harus mencari dan membuat lebih banyak alasan untuk tetap bersatu seperti saat ini.
Hari ini, sesuai dengan Proklamasi, usia Indonesia genap 67 tahun. Jika usia Indonesia dihitung berdasarkan masa kita benar-benar mengusahakan keberlangsungannya, sudah berapa tahun usia Indonesia di diri kita?
Gambar dipinjam dari fsquarefashion.com |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar