Jumat, 07 September 2012

Menyelamatkan Bahasa yang Terancam Punah

Halo! Nah, akhirnya saya ada kemauan untuk menulis lagi setelah disibukkan dengan urusan ini itu. Heheh. Hari ini saya mau bercerita tentang bahasa-bahasa yang terancam punah. Silahkan menyimak! :)

Pulang kampung pada Idul Fitri kemarin berhasil bikin saya berpikir betapa saya tidak fasih berbahasa asli kampung bapak saya. Selama berada di kampung bapak saya semuanya menggunakan bahasa Duri. Saat ada yang ngajak saya ngobrol, saya hanya bisa mengerti sedikit-sedikit tapi tidak bisa menggunakannya dengan fasih. Istilahnya, saya hanya menguasai bahasa Duri secara pasif. Padahal baik bapak maupun mamak saya fasih berbahasa Duri.

Hal yang sama saya yakini juga terjadi pada sebagian besar kaum urban. Hidup di kota yang berpenduduk heterogen sedikit demi sedikit menjauhkan bahasa daerah dari lidah. Yang digunakan kemudian adalah bahasa Indonesia berdialek kota setempat. Seperti di kota saya, Makassar, yang digunakan adalah bahasa Indonesia dengan dialek Makassar yang menurut kuping teman saya yang berasal dari Jawa, bernada tinggi. Bagi masyarakat kota yang merupakan generasi awal urbanisasi, seperti orang tua saya, berbahasa daerah bukan masalah. Bahasa daerah merupakan bahasa sehari-hari mereka, sedangkan Bahasa Indonesia dipelajari kemudian di bangku sekolah. Bagi kami yang dibesarkan di kota, Bahasa Indonesia digunakan sehari-hari, sedangkan bahasa daerah dipelajari kemudian di sekolah (-sekolah tertentu).

Berkurangnya pengguna bahasa daerah tentu akan berdampak bagi kelangsungan bahasa tersebut. Eksistensi dari berbagai bahasa inilah yang kemudian menjadi problem di seluruh dunia. Banyak bahasa di seluruh dunia yang terancam punah. Penyebabnya? Bisa bermacam-macam. Berikut beberapa di antaranya:

1. Urbanisasi

Peningkatan angka perpindahan penduduk dari desa ke kota berdampak pada penurunan angka pengguna bahasa daerah. Mengapa? Karena dalam interaksi masyarakat urban yang heterogen, bahasa yang digunakan adalah Bahasa Indonesia. Lambat laun bahasa daerah semakin jarang digunakan. Rumah seharusnya dapat menjadi tempat dimana interaksi digunakan dalam bahasa daerah, tapi perkawinan antar etnis kemudian menjadi penghalang. Karena akan timbul dua bahasa daerah yang berbeda. Selain itu banyak orang tua yang memilih mengajarkan anak mereka berbahasa Inggris daripada berbahasa daerah. Alasannya? Untuk mempersiapkan si anak menghadapi era globalisasi.

Dalam data yang dikeluarkan oleh PBB sesuai grafik di atas, dapat dilihat bahwa pertumbuhan populasi urban berlangsung sangat cepat. Populasi masyarakat urban yang meningkat diikuti dengan populasi masyarakat desa yang mengalami penurunan. Menurut data PBB ini pula, proporsi masyarakat urban Indonesia ternyata lebih tinggi dari proporsi masyarakat urban di benua Asia dan Asia Tenggara. 

Tingginya angka urbanisasi yang berdampak pada terancamnya eksistensi bahasa daerah inilah yang membuat Kepala Bidang Peningkatan dan Pengendalian Bahasa Badan Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional, Sugiyono menyatakan bahwa di penghujung abad 21, hanya tinggal 10% bahasa daerah yang akan bertahan. Hal ini dijelaskan pada artikel VOA yang berjudul Jarang Digunakan Ratusan Bahasa Daerah di Indonesia Terancam Punah. Dari 746 bahasa daerah di Indonesia, diperkirakan dalam 100 tahun mendatang akan tersisa hanya 75 bahasa. 

2. Televisi



Televisi mau tidak mau menjadi salah satu faktor yang menyebabkan punahnya bahasa daerah. Program televisi yang merupakan produk nasional tentu saja menggunakan bahasa Indonesia. Banyak tayangan yang menjadi tontonan favorit keluarga bahkan dibawakan dengan bahasa yang lazimnya digunakan di Ibukota Jakarta. Bayangkan anak di desa Baraka yang sehari hari berbahasa Duri menonton tayangan sinetron yang menyapa "saya-kamu" dengan "lu-gue". Televisi telah mengajarkan bahwa ada alternatif lain dari "aku'-iko" yaitu "lu-gue" yang jika dilihat dari penggunanya, jauh lebih menarik dari mereka yang hidup di desa.

Menurut Komisi Penyiaran Indonesia, waktu yang dihabiskan oleh anak untuk menonton TV lebih besar dari waktu yang ia gunakan untuk sekolah. Dalam sehari, seorang anak dapat menghabiskan 4 hingga 5 jam di depan TV, yang berarti sekitar 30 hingga 35 jam sehari atau 1600 jam setahun. Dua kali lipat dari waktu yang dihabiskan di sekolah yaitu sekitar 740 jam setahun.

Besarnya waktu yang dihabiskan anak di depan televisi dianggap turut berdampak pada rendahnya penggunaan bahasa daerah oleh anak. Bahasa yang kemudian menjadi familiar di telinga anak-anak adalah bahasa yang mereka dengar di TV.

3. Kebijakan Pemerintah

Pada sebuah Seminar Nasional bertopik "Pengembangan dan Perlindungan Bahasa, Kebudayaan Etnik Minoritas untuk Penguatan Bangsa" yang diadakan oleh LIPI pada Desember 2011, dikatakan bahwa salah satu yang menjadi penyebab percepatan kepunahan bahasa daerah adalah kebijakan pemerintah. Mengapa kebijakan pemerintah?

Berbagai kebijakan pemerintah dianggap mengancam eksistensi bahasa daerah. Contohnya, kebijakan pendidikan agar sekolah-sekolah beralih dari pelajaran bahasa daerah menjadi bahasa asing semisal bahasa Jerman atau Mandarin. Selain di bidang pendidikan, kebijakan pemerintah berupa pemekaran wilayah juga dianggap sebagai salah satu penyebab punahnya bahasa. Seperti bahasa Tandia di Papua Barat. Bahasa ini dinyatakan punah setelah melalui penelitian di awal tahun 2011 ditemukan bahwa tidak ditemukan lagi penutur bahasa ini. Salah satu faktor penyebabnya adalah lebih dominannya bahasa Wandamen dari suku Wamesa sebagai bahasa sehari-hari. Hal ini disebabkan setelah pemekaran Papua Barat, Teluk Wondama menjadi pusat keramaian daerah tersebut. Mau tidak mau, suku Mbakwar harus menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut dan sedikit demi sedikit meninggalkan bahasa Tandia. 

Menyelamatkan Bahasa yang Terancam Punah

Ancaman punahnya bahasa bukan hanya milik Indonesia. Secara global hal ini telah menjadi perhatian. Gerakan melestarikan bahasa bermunculan dari berbagai pihak. Di dalam negeri, terdapat kamusiana.com yang bersemboyan Kamus Bahasa (di) Indonesia. Situs ini memuat kurang lebih 19 kamus bahasa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia.

Di Amerika Serikat,  para pakar bahasa juga menggunakan media internet sebagai sarana pelestarian bahasa yang terancam punah. Hal ini diungkapkan pada artikel VOA yang berjudul Pakar Bahasa AS Lestarikan yang Hampir Punah dengan Kamus Online. Para pakar bahasa di Amerika Serikat tidak hanya berusaha melestarikan bahasa yang hampir punah, tetapi juga bahasa yang telah benar-benar mati seperti bahasa Indian Algonquian Virginia. Bahasa ini direkonstruksi pada film "The New World" pada tahun 2005. Usaha linguis AS ini diceritakan pada artikel Linguis AS Hidupkan Lagi Bahasa-Bahasa yang Telah Mati. Para linguis sedang berusaha berusaha untuk melestarikan berbagai bahasa tidak hanya untuk tujuan akademis.


Sebagai masyarakat dunia kita juga diajak untuk melestarikan bahasa kita. Melalui situs www.endangeredlanguages.com kita dapat memberi kontribusi dengan menyumbangkan pengetahuan kita mengenai bahasa yang dikategorikan sebagai bahasa yang terancam punah. Situs ini membuka kesempatan bagi siapa saja untuk memasukkan contoh bahasa daerah tersebut atau hal-hal lain yang berhubungan dengan bahasa tersebut. Situs ini bertujuan untuk menginventarisir bahasa-bahasa yang digunakan kaum minoritas di seluruh dunia. Berikut adalah peta persebaran bahasa yang terancam punah di Indonesia menurut www.endangeredlanguages.com.



Kesadaran warga dunia akan pentingnya bahasa membuka mata kita semua bahwa punahnya bahasa dapat membawa kerugian yang besar. Hilangnya bahasa berarti hilangnya potongan sejarah dan budaya yang berharga dari suatu daerah. Jadi, mari melestarikan bahasa daerah kita :).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar